Hana memacu langkah, diliriknya jam hitam kecil yang melingkar di tangan kiri guna memastikan jika hari ini dia tak terlambat lagi ke tempat kerja. Hukuman dari pak Broto memakan waktu lebih dari setengah jam, luasnya halaman dan embusan angin menyapu dedaunan membuat Hana kerepotan. Alhasil dia harus tancap gas begitu keluar gerbang sekolahan. Sesekali tergesa hingga tersandung tak sengaja.
"Shit." Dia mengumpat lirih sambil mengentak bumi, mengomel tak jelas karena tahu akan kena semprot bosnya yang super duper pelit. Pak Ginanjar namanya, tinggal satu kompleks dengan rumah Hana tetapi beda RT.
Hana sampai di warung soto sambil terengah-engah, pelipisnya lembab oleh keringat. Dia masuk lewat pintu belakang, sedikit mengendap agar tak ketahuan. Suasana dapur sedang sibuk, hawa panas dari kompor yang sedang digunakan menggodok kuah ayam di panci besar, juga aroma bumbu pekat mengisi ruangan sempit bercat crem lapuk ini. Bak cuci piring nampak penuh, memberi sinyal jika akan ada waktu lembur sampai dini hari.
Setelahnya Hana asuk ke ruang ganti, langsung merangkapi kemeja putihnya dengan kaos kuning bertuliskan Soto Pak Ginanjar di bagian dada. Celana jeans yang sudah dia kenakan sejak di sekolah membuatnya cukup menanggalkan rok sebelum mulai bekerja.
"Biar gue aja," katanya pada sesama pelayan begitu keluar, mengambil alih nampan berisi dua mangkuk soto yang masih mengepulkan asap tipis. "Ini pesanan meja nomer berapa?"
"Nomer sepuluh," jawab perempuan berjilbab putih instan.
Hana mengangguk, berjalan perlahan agar kuah kekuningan itu tak bergejolak dan berakhir tumpah. Dia tersenyum menghampiri meja pasangan pasutri, meletakan satu persatu penuh hati-hati.
"Silakan," katanya sebelum berbalik badan. Namun belum genap lima jengkal, seruan dari meja lain mengiterupsi. Hana mendekat.
"Tolong dilap dong, mejanya." Perempuan paruh baya itu menunjuk meja, mendorong kursinya ke belakang memberi ruang. "Anak saya nggak sengaja numpahin tadi."
"Baik, Buk."
Hana mengambil serbet dari saku belakang celana, membersihkan meja--membuat kain putih di tangannya berubah kuning--lalu pamit dengan mengangguk sopan. Dia langsung menuju wastafel, mencuci serbet dan tangannya kemudian membereskan prabot kotor di sana. Busa dari spon yang digunakan melimpah, membalur sampai pergelangan tangan Hana dan gelas digenggaman hingga menetes ke kubangan air di dalam wajan.
Lalu seruan jumlah pesanan terdengar, memaksa Hana menunda kegiatannya dan lekas mengambil nampan berisi pesanan setelah membilas dan mengeringkan tangan. Kesibukan di warung ini luar biasa, apalagi di jam sore seperti sekarang. Banyak pekerja kantoran datang sampai kadang kehabisan tempat duduk, lalu sekitar pukul 22.00 malam giliran membersihkan lantai, meja dan dapur sebelum tutup. Bekerja di sini memang bukan hal mudah, terlebih bagi Hana yang masih sekolah. Dia hampir tak memiliki waktu untuk istirahat, makanya tak jarang tugas pun keteteran. Jadilah nilai turun dengan sangat signifikan. Kendati keenceran otaknya tak diragukan, tetapi menjadi siswa penerima beasiswa berarti harus siap selalu berlomba bersama angka.
"Han! Kamu ke meja nomer empat," suruh salah satu cowok--rekannya. "Abis itu bersihin meja nomer sembilan."
"Iya, Bang."
Semua pelayan sibuk keluar-masuk dapur membawa pesanan. Celotehan dari beberapa orang yang baru datang bersahutan memanggil-manggil mereka. Hana kewalahan, kedua tangannya bekerja ekstra mengangkut wadah bekas di satu nampan lebar. Rasa pegal sampai pundak dihiraukan, pinggang encok dan kaki linu menjadi temannya saat tidur. Hana harus kebal, cukup koyo dan balsam sebagai penawar. Kata ibunya, anak orang tidak punya jangan manja. Iya, Hana tahu. Makanya dia bertekad agar tak hidup seperti orangtuanya. Dia ingin kuliah, bekerja di kantor besar ber-AC dan memiliki gaji tinggi.