part 17.

38 15 26
                                    

"Udah. Lo anterin gue sampe sini aja. Sana balik, kasian adik-adik lo ditinggal sendirian."

"Mereka bukan penakut kayak lo."

"Eh, sekate-kate kalo ngomong." Gabriel berkacak pinggang sambil mendongakan dagu. Suara kendaraan dari jalan di belakangnya seolah tak dihiraukan. "Emang siapa yang tadi ngeyel mau nganterin?"

Hana mencebik, membalik kasar tubuh jangkung cowok itu agar lekas berlalu. Namun tenaganya yang tak seberapa tak mampu membuat Gabriel bergeming barang satu jengkal. "Udah sana, ah! Banyak ngomong."

"Dih, dikira jalan nenek buyut lo, apa. Serah gue si."

Mengentak kecil, Hana berbalik badan. Bukan kembai ke rumah, melainkan ke arah berlawanan di mana Gabriel harusnya pergi. Gabriel yang sadar pun berseru. Mau tak mau Hana berhenti meski enggan mengahap cowok itu. Dia berdiri tepat di bawah lampu jalan, membuat helai rambutnya yang digerai terbawa angin tampak berkilauan. "Apa lagi?" kata Hana keras, membaur di antara derum kendaraan.

"Lo mau ke mana?!"

"Nyari angin!"

"Heh! Adik lo sendirian di rumah, ini malah mau kelayapan nggak jelas!"

Hana mendengkus kecil, mengabaikan ucapan Gabriel lalu melanjutkan kaki. Cowok itu memang tidak tahu sepenuh apa pikirannya hari ini, jadi wajar saja menganggap demikian. Lagi pula jika memang Hana ingin kelayapan, itu bukan urusan Gabriel. Selama ini waktu Hana dihabiskan dengan sekolah dan bekerja, apa salahnya sekali-kali dia memilih membebaskan diri. Toh, tugas dari cowok itu juga cukup membuatnya tertekan. Meski masalah sebenarnya ada di rumah, tetapi Gabriel ikut andil memperumit hidupnya.

Tiba-tiba Hana menoleh ke belakang, kesal sendiri karena lagi-lagi merasa bodoh sudah menerima tawaran Gabriel. Namun alih-alih  tengah menatapnya, cowok itu justru tidak ada. Mungkin jemputannya sudah datang. Hana mengembuskan napas keras-keras sebelum kembali ke tujuan awal. Cewek itu bersedekap, melindungi kedua lengan telanjangnya. Tadi dia terburu-buru mengajak Gabriel pergi sebab takut akan pandangan negatif tetangga, alhasil kardigan hitam yang akan merangkapi kaos putih pendeknya tertinggal di sandaran sofa.

Lalu saat ingin berbelok, seseorang yang familier tertangkap mata. Hana menyipit, guna memastikan jika perempuan berbaju putih yang tengah marah-marah di depan mini market itu adalah Rita.

"Bapak ini gimana sih?!" Bentaknya pada pria paruh baya. Hana kontan beringsut ke bagian gelap—bersembunyi di balik tanaman bunga yang keluar dari pagar perumahan orang. Dia memerhatikan sambil mencuri dengar.

"Nggak cukup saya bayar dua puluh ribu buat markirin mobil saya, hah?!" lanjut Rita, meninggikan intonasi suara.

"Maaf, Bu. Tapi demi Allah, bukan saya yang menggores mobil ibu. Tadi sebelum ditinggal ke belakang keadaanya masih baik-baik saja."

"Terus!" Kasar Rita menyenggol lengan si bapak, berdiri di samping kendaraan roda empatnya dan menunjuk bagian pintu penumpang. "Ini apa? Kamu kira murah?!"

Bapak berbaju hitam lusuh itu tak sekali pun mengkat wajah, berkata maaf berkali-kali yang sukses membuat Hana iba. Entah kesalahan apa yang sudah dilakukam oleh beliau, tetapi perlakuan Rita benar-benar tidak bisa ditoleransi.

Lekas Hana merogoh saku celana, mengeluarkan gawai lalu memfotonya. Urusan ini tidak ada hubungannya dengan Gabriel. Hana murni kesal karena Rita memang tak secantik tampangnya, dan ingin memberi tahu semua orang bagaimana sikap asli perempuan itu. Biarkan saja menjadi viral. Itung-itung membuat si bapak mendapat perhatian dari para dermawan di luar sana.

***

Hana membuka buku catatan. Istirahat kali ini dia tetap di kelas dan menolak saat ada yang memintanya membelikan camilan seperti biasa. Mungkin memang sudah saatnya Hana berhenti menjadi pesuruh kelas dan fokus saja pada tugas dari Gabriel. Lagi pula pak Broto sudah mulai curiga. Hana sering melihat beliau berdiri di ambang pintu kantor pada jam istirahat hanya untuk bertanya mau apa dirinya keluar gerbang, sementara kantin sekolah sudah menyediakan berbagai macam jajanan. Mau tak mau Hana berbohong dan terus penumpuk alasan hingga membuatnya lelah sendiri. Namun rencana untuk benar-benar berhenti baru diangan saja, Hana masih bimbang karena khawatir akan kembali membutuhkan pemasukan tambahan. Dia belum mendapat kerjaan lain setelah tugas dari Gabriel selesai.

Lalu tanpa disadari Hana, Celine duduk menyilangkan kaki di kursi belakang mejanya. Cewek itu menusuk-nusukan telunjuk ke pundak Hana, membuat empunya terkesiap.

"Apaan, si. Kaget tau nggak," kata Hana setelah menoleh.

Celine tersenyum penuh arti, menaikan kedua alis yang tidak Hana pahami. Lantas dia merubah posisi duduk mengahadap Celine, menarik kursi kasar sampai menimbulkan bunyi. Kali ini kelas cukup sepi, para cowok yang biasanya bermain game berbondong-bondong keluar ke lapangan olah raga di belakang sekolah. Katanya ada seleksi penunjukan kapten sepak bola dan voli untuk kelas 11. Sementara para cewek hanya tertinggal lima orang yang semuanya sibuk di depan kaca.

"Lo sama Gabriel ada hubungan apa?" tanya Celine, to the poin. "Jangan kaget gitu mukanya, Hana. Gue nggak mau labrak atau semacamnya, kok."

Berdeham kecil, Hana mengerjap. "Hubungan gimana? Maksudnya, kenapa lo nyimpulin kalo gue punya hubungan? Kenal juga nggak sama tu anak."

Berdecak sebal, Celine menendang main-main kaki Hana di bawah meja. "Nggak kenal tapi jalan berdua. Ke hotel lagi."

"Heh!" Kontan Hana melotot, tak terima maksud implisit ucapan Celine. "Sembarang lo kalo ngomong."

"Hana dengerin dulu." Cewek berambut panjang merah bata itu memutar bola mata. "Bukan konotasi negatif. Jadi, malam itu dari jauh gue lihat Gabriel di lobi hotel, tapi pas disapa, dianya nengok tapi pura-pura nggak ngeh. Terus nggak lama lo keluar, digandeng sama Gabriel dan buru-buru ditarik pergi. Nggak salah dong, gue curiga."

Hana mengerjap-erjap. Kini dia tahu alasan Gabriel terbirit malam itu. Rupanya karena Celine. Namun sekarang apa yang harus dirinya katakan pada Celine? Mengaku sedang mengikuti Rita untuk membuka aibnya? Yang benar saja. Bisa dipastikan temannya itu malah akan mempertanyakan detilnya. Belum lagi kemarahan Gabriel karena membuka rahasia ini. Hana tidak mau menambah masalah lagi.

"Kita nggak ngapa-ngapain, dan nggak punya hubungan apa-apa," jawab Hana dengan satu ayunan lidah.

Celine mengerutkan dahi, masih kurang yakin dengan jawaban Hana. Selain wajahnya yang terlihat gugup, cewek berkuncir tinggi itu juga menghindari kontak matanya. "Yakin, nih?"

"Seribu persen yakin, Celine. Udah, ah." Hana bangkit, menyingsingkan lengan kemeja putihnya sampai siku. "Gue mau ke kamar mandi."

Kemudian begitu saja dia berlalu keluar, berpapasan dengan dua cowok yang saling berangkulan di ampang pintu. Sambil melangkah ke tempat tujuan, Hana merutuk dan meremat jari. Bisa-bisanya Gabriel seceroboh itu dengan berkeliaran di lobi alih-alih di dalam mobil. Bukankah cowok itu bilang alasannya tidak bisa ikut ke dalam karena takut dikenali salah satu staf hotel, mengingat papinya yang sering mengajak dia ke sana? Mengembuskan napas panjang, Hana memutar kran. Membasuh wajahnya berkali-kali hingga sejuk dirasa menyerap ke pori. Setelahnya dia menegakan badan, kedua tangannya bertumpu di pinggiran wastafel. Ujung dagu dan anak rambut yang menempel di kedua pelipis masih meneteskan air.

Tiba-tiba sang gawai berdering nyaring, menantul ke atap rendah ruangan berbau kapur barus ini. Suasana yang sepi membuat Hana tak segan mengangkatnya di sini. Gabriel Prananta, nama si pemanggil.

"Halo," kata Hana, malas. Membalik badan dan bersandar di pinggiran wastafel. Bayangan punggung sampai belakang kepalanya memantul di kaca.

Dari seberang, Gabriel tertawa. Menjawab seruan sang teman sebelum berujar, "Hebat, Hana. Gue speechless pas liat berita pagi tadi."

"Gab ...."

Dan panggilan diputuskan tanpa aba-aba. Hana mendengkus keras-keras, mengentakan kaki sambil menatap jengkel layar HP.

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang