Di restoran lantai tiga sebuah mall di Jakarta, Gabriel dan kedua temannya berkumpul bersama. Para remaja itu asyik menghabiskan separuh malam dengan saling bertukar cerita hingga sesekali tergelak tawa, membaur bersama suara pengunjung yang semakin berdatangan. Tiga gelas kopi pekat ada di meja, menemani kentang goreng di piring yang hampir tak bersisa.
Gabriel sengaja mengajak Erwin dan Odi, mencari pelipur karena lagi-lagi disuguhi sepi. Papi menginap di apartemen lagi dan maminya sibuk pulang-pergi mengurus bisnis di luar negeri. Kadang dia bingung sendiri dengan tujuan kedua orangtuanya mencari uang sampai lupa pulang. Maksudnya, sebanyak apa pun materi yang mereka berikan, Gabriel tak pernah merasa benar-benar senang. Rasa kosong dan hampa selalu ada, berada di tengah keramaian seperti ini pun tak sepenuhnya bisa mendistraksi isi kepalanya.
"Jadi lo udah yakin mau masuk ke UI?" tanya Gabriel pada Erwin.
Erwin menggangguk. Cowok berambut cepak itu mencomot sisa kentang goreng di hadapan, dilempakan ke udara lalu ditangkap menggunakan mulutnya. "Lo sendiri gimana?"
"Gue?" Gabriel menunjuk wajahnya sendiri, berpikir sejenak sebelum mengedikan bahu tak tahu. Mungkin setelah hal-hal yang mengganggu pikirannya beres, dia akan benar-benar fokus ke arah sana. Meski Gabriel tergolong anak yang bebas, tetapi urusan masa depan tetap dia persiapkan matang-matang. Dia tidak mau terjun ke dunia hiburan seperti papi, atau pun bisnis seperti mami. "Tau nanti. Tapi gue udah mantep si mau ambil jurusan Kesejahteraan Sosial. Mungkin nanti nyari PT di luar Jawa aja biar peluangnya besar."
"Widih." Erwin bersorak sambil menggeleng takjub, memukul-mukul pundak Odi sebagai pelampiasan hingga sang empunya mendengkus kesal lalu menghindar. "Lurus bener tujuan lo, Gab. Mantap mantap," sambung Erwin.
Tersenyum congkak, Gabriel menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Membuang pandang ke dinding kaca sebelah mejanya. Kesibukan lintasan aspal ibu kota terlihat jelas. Lampu-lampu yang dihasilkan dari ratusan kendaraan membentuk kerlip memanjang, melengkapi banyaknya orang yang berlalu lalang di trotoar, juga keluar-masuk ke pertokoan. Asap dari beberapa tenda kedai makanan di bahu jalan terus menguar, kerumunan pembeli pun tak bisa dihindarkan. Tiba-tiba Gabriel terperenyak, teringat isi kulkas di rumah Hana yang kosong—hanya ada dua botol minuman berukuran satu liter berisi air putih. Gabriel mengeluarkan gawai dari saku hoodie abu-abunya, mengerjap bingung menatap layar kemudian menggaruk sebelah alis. Lekas cowok itu melirik sang kawan, menarik kursi ke depan dan menumpukan ke dua tangan di atas meja.
"Eh, kalo mau belanja keperluan dapur tuh di mana, ya?" tanyanya, menatap satu persatu dua orang di depannya. "Yang lewat online gitu."
"Buat apaan?" Odi menukikan alis, menurunkan kentang goreng terakhir dari depan mulut kembali ke piring. "Rumah lo kehabisan bahan makanan?"
"Kayaknya nggak mungkin," sela Erwin. "Kecuali kalo semua mbaknya mendadak pada amnesia."
"Atau makan apel beracunnya Snow White." Odi menyambung.
Setelahnya kedua remaja itu tertawa, membuat Gabriel berdecak sebal, dan akhirnya menendang main-main kaki mereka di bawah meja.
"Serius, ogeb!" katanya. "Gue lagi butuh cepet, nih!"
Erwin berdeham sambil menyenggol lengan Odi. Sisa tawa masih ada di air wajahnya. Erwin memandang Gabriel yang agaknya sedang tak ingin main-main. Meski penasaran dengan apa yang sedang sang teman lakukan di luar lingkup pertemanan mereka bertiga, tetapi Erwin cukup paham jika Gabriel tak suka urusan pribadinya dicampuri tanpa izin. Selama ini kehidupannya sudah banyak menjadi konsumsi publik. "Kalo bunda biasanya lewat aplikasi belanja online biasa, sekarang banyak yang udah nyediain fitur pesan-antar kebutuhan sehari-hari."
***
Pagi-pagi sekali Gabriel dibuat ternganga di depan bangkunya. Tiga plastik kresek warna putih sudah bertengger manis di atas meja. Dari logo, isi di dalam dan jumlahnya, Gabriel tahu jika ini kerjaan Hana. Cewek itu mengembalikan semua bahan pangan yang dirinya belikan. Padahal maksud Gabriel hanya ingin mengganti traktiran sebagai ucapan terima kasih yang gagal kemarin, tak ada maksud lebih. Namun agaknya Hana menangkap dari sudut pandang yang berbeda.
Gabriel mengembuskan napas keras-keras, menyimpan platsik itu ke bawah meja. Meletakan tas di sandaran kursi lalu mengernyit karena secarik kertas yang menjembul dari laci. Lekas dia mendudukan diri, membuka lipatannya sebelum membaca tulisan yang tertera.
GUE NGGAK BUTUH SUMBANGAN LO, GABRIEL! TERIMA KASIH.
"Astaga!" Cowok itu bangkit dengan kasar. Melangkah lebar menyusuri selasar yang masih lengang. Dua kelas lain malah baru dibuka oleh pak satpam. Pria itu menyapa Gabriel, dibalas sekadarnya oleh sang empu sambil menuruni anak tangga. Gabriel berbelok ke arah belakang, masih tergesa hingga dasi navi di kerah kemeja ikut bergoyang-goyang seperti rambutnya. Dia ingin menjelaskan pada Hana, dan tempat paling mungkin selain di kelas 12 IPA adalah taman ini. Dan benar, cewek itu sedang duduk bersila di bawah pohon kersen sambil mencatat sesuatu. Wajahnya menunduk, membuat dua anak rambut di samping kiri-kanannya jatuh di depan mata.
Pelan Gabriel mendekat, berdeham kecil setelah duduk di samping Hana.
"Mau apa?" tanya Hana, tanpa mengalihkan mata. Satu tangannya bergerak menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Kalo mau ngomongin tugas lanjutan, lewat WA aja."
"Lo marah sama gue?" tebak Gabriel. Nada ketus cewek itu yang kali ini berlipat ganda benar-benar terdengar tak nyaman di telinga. "Demi Tuhan, Hana, gue nggak bermaksud ...."
"Gue nggak suka!" Potong Hana, menutup kasar bukunya. Dia menoleh, menyorot tajam ke arah Gabriel. Cowok jangkung itu mengerjap sambil menelan ludah. "Apa-apaan lo, tiba-tiba ngirimi kek gituan. Gara-gara kemaren nggak disuguhi makanan?!" lanjutnya, mendengkus keras.
Gabriel menggeleng bak orang bodoh. Tenggorokannya seperti tersangkut sesuatu. Hana mode marah cukup membuatnya menciut.
"Terus apa?!" Lagi, Hana menukas dengan nada tinggi. Jujur dirinya tersinggung. Atau lebih tepatnya malu karena tahu Gabriel menyadari kondisinya yang menyedihkan. Untung saja sang ibu sedang belum pulang, jadi Hana bisa langsung mengembalikannya.
"Sorry." Hanya kata itu yang meluncur ringan dari bibir Gabriel. Sepanjang apa pun penjelasan yang ingin dilontarkan, getar aneh dari sorot mata Hana berhasil melesapkannya di ujung lidah. "I'm so sorry, Hana."
Hana mengembuskan napas dalam keras-keras. Kembali mengalihkan pandang ke tembok samping ruang perpustakaan di hadapan. Deknya menyentuh ujung ranting pohon kersen, tumpukan daun kering yang berserakaan di sana sesekali berjatuhan tersapu angin.
Untuk sesaat dua remaja itu tak bergeming, ditingkahi seokan pohon, juga suara gaduh dari jauh. Lalu tiba-tiba Hana berdiri, menepuk-nepuk bagian belakang roknya.
"Gue mau balik kelas."
Gabriel bangkit, menghela napas kemudian mengangguk. "Oke."
Namun belum genap Hana berlalu dua langkah, Gabriel buru-buru memanggilnya. Cewek itu bergumam keras sebagai pengganti kalimat tanya.
"Malam ini nggak ada tugas. Lo bisa istirahat dulu."
Kontan Hana membalik badan, perlahan matanya berbinar. "Jangan bohong lho, ya."
"Nggak." Gabriel mengusap tenggkuk. "Anggep aja konpensasi karena kejadian pagi ini."
Hana menarik sebelah bibir. "Berarti impas?"
Tbc ...