Hana datang sepuluh menit lebih awal sebelum mini market dibuka. Terlalu semangat di hari pertama. Dia mengenakan jeans hitam ketat, kemeja putih juga menguncir rambut sebahunya tinggi. Bibir yang biasanya kering kini nampak kemerahan. Bedak tipis tak luput mengisi wajah setiap inci.
Hana menoleh saat suara klakson terdengar. Tersenyum lebar menyambut Pak Sutra turun dari kendaraan roda empat warna hitam mengkilap. Laki-laki gembul itu menautkan alis sambil menahan senyum, menghampiri Hana setelah mengunci pintu mobil.
"Selamat pagi, Pak," sapa Hana, sedikit menyingkir dari depan pintu kaca mini market.
"Pagi."
Menganggukkan kepala, Pak Sutra merogoh saku jeans panjang berwarna pudar yang dikenakan. Membuka pintu mini market dan mempersilakan Hana masuk. Hana mengedarkan mata, memindai rak-rak tinggi berisi penuh bahan pangan juga wangi-wangian. Meski kemarin sore pun Hana melakukan interview di sini, tetapi masuk sebagai pegawai resmi jelas beda situasi.
"Seragam ada di gudang, Hana. Kamu bisa ganti di sana." Pak Sutra menunjuk pintu besi berukuran langsing di pojok ruang. Berada di area peralatan make up.
"Baik, Pak. Saya permisi dulu."
Setelahnya Hana melipir, menarik pintu besinya kuat karena sedikit tersendat. Suasana di dalam lumayan terang oleh neon besar di atas kepala. Dua loker tinggi berderet di tembok. Sapu, alat pel juga skop terpajang manis di sampingnya dengan paku sebagai cantelan. Hana membuka salah satu loker bertuliskan namanya, mengambil baju kuning lengan pendek, dipakai merangkapi kemeja putih panjang. Tak lupa ikatan rambut dieratkan sebelum keluar, kembali menghampiri pak Sutra yang sedang berkeliling etalase. Beliau menoleh ketika sadar ketukan sepatu lusuh Hana berhenti tepat di belakangnya.
"Han, nanti selain jaga di kasir, kamu juga harus ngecek satu persatu tanggal kadaluarsa di masing-masing produk secara berkala. Semisal ada yang udah deket tanggalnya, kamu pindahin ke rak paling depan."
Hana mengikuti arah tangan pak Sutra, rak diskonan yang berada tepat di depan pintu. Lalu mengangguk paham.
"Kalo semisal nggak habis juga, sekitar satu atau dua hari sebelum kadaluarsa, kamu makan aja. Bawa pulang juga nggak pa-pa. Oke?"
"Siap, Pak."
"Sama kebersihan juga jangan lupa, ya?"
"Baik."
"Ya udah. Saya pulang dulu. Hati-hati, ya."
"Iya, Pak."
Pak Sutra berjalan keluar, membuat Hana lekas duduk di depan meja kasir sendirian. Tak lama segerombolan anak SMA masuk. Cekikikan dan mengobrol sepanjang langkah menyusuri lorong makanan. Cewek berjumlah empat itu mendekati Hana, meletakan belanjaan di meja. Dari logo jas almamater yang dikenakan, Hana tahu jika mereka berasal dari sekolahnya. Kelas 10 IPA IV, berlokasi di lantai satu gedung barat. Ah, itu juga kelasnya tiga tahun lalu.
"Ada tambahan, Kak?" tanya Hana, tersenyum. Berusaha mengenyampingkan emosi negatif yang menyelusup hati. Tak ada gunanya merasa iri. Sekarang fokus saja bekerja dan mendapat gaji.
"Lo mau ada tambahan, nggak?" Salah satunya menoleh ke arah tiga temannya yang menunggu di belakang.
"Nggak ada. Udah ayo, ah. Nanti telat."
"Nggak ada."
Hana mengangguki ucapan si pembayar, memasukan sejumlah camilan ke kresek lalu menyerahkannya setelah menerima pembayaran.
"Terima kasih." Hana berkata sopan, hendak duduk lagi ke kursi saat cowok tinggi bertopi hitam masuk, berpapasan bersama cewek-cewek tadi. Cowok itu tersenyum pada Hana sambil lalu. Membuat Hana mengernyit tak tahu.
Beberapa menit berselang, dia datang ke kasir. Membawa satu kaleng soda dan satu botol air mineral.
"Kamu baru ya, di sini?" tanyanya, masih tersenyum.
"Eh?" Hana cengo sesaat. Mengangguk kikuk kemudian. "Iya. Kamu kenal sama pegawai yang dulu?"
"Enggak. Cuma tahu aja."
"Oh."
"Jadi berapa?" Cowok itu merogoh saku celana abu-abunya.
"9.500."
Uang puluhan ribu diletakkan. Tak usah kembalian, katanya lalu keluar. Hana memerhatikan punggungnya menjauh lewat pintu kaca. Wajah bule cowok tadi mengingatkan Hana pada Gabriel. Entah sedang apa dia sekarang? Sakit hati kah karena ucapan Hana malam itu? Pelan, Hana mengembuskan napas. Rasa sesal tak ayal membuatnya gusar.
•••
Tepat pukul 17.00 sore pak Sutra datang ke mini market. Menggantikan pegawai sift malam yang suka datang telat. Hana berpamitan begitu selesai melepas seragam, berjalan melewati pak Sutra di meja kasir yang berpesan agar Hana berhati-hati di jalan.
Hana menghirup udara sore di luar, dikeluarkan lewat mulut sambil mengeluarkan debas panjang. Panas yang masih setia menemani hari tak menghentikan niatnya berjalan sampai rumah. Jarak yang lumayan dekat juga cuaca bagus sayang jika dilewatkan dengan menaiki kendaraan.
Langkah Hana benar-benar terayun ringan, seringan udara memainkan ujung rambutnya di belakang. Para pedangan kaki lima di sepanjang trotoar tak luput dari mata Hana yang mengedar. Mereka nampak sibuk meladeni pembeli, sedikit kewalahan sebab hanya sendirian. Hana berhenti di dekat tiang listrik begitu menangkap brosur tentang program sekolah susulan setara SMA, atau paket C. Dia membacanya cermat, berulang-ulang sebelum fokus pada jumlah nominal biaya yang dikeluarkan. Di sini tertera jika ingin mengambil paket komplit tiga tahun, calon peserta hanya perlu mengeluarkan uang sebesar 4jt dengan cicilan tiga tahun. Namun itu belum termasuk buku dan keperluan yang menunjang pembelajaran. Dan jika mengambil per tahun saja, cukup berkisar 1-2jt. Lokasi pertemuan di salah satu gedung yang Hana tahu dekat sekolahan, atau bisa juga secara online berdasarkan waktu yang sudah disepakati.
Sejenak Hana bergeming. Pikirnya, paket C bisa menjadi solusi untuk dirinya yang tak punya biaya. Belum lagi pelaksanaannya yang terbilang fleksibel hingga masih bisa bekerja. Lantas Hana mengeluarkan gawai, memotret brosur itu agar bisa dipertimbangkan lagi di rumah. Sekarang dia sudah harus cepat pulang, memasak makan malam sebelum magrib berkumandang. Sarah dan Gio tak bisa dia lupakan. Lauk yang Hana tinggalkan pagi tadi pasti sudah habis untuk makan siang.
Lima belas menit berjalan, Hana sampai di depan rumah. Membuka lalu menutup pintu.
"Gio, Sarah," panggil Hana, bergerak.
Kedua adiknya keluar dari kamar Gio. Gio berlari menghampiri Hana. Tersenyum lebar. "Kak Sarah abis ngajarin Gio gambar rumah."
Hana balas tersenyum, melirik Sarah. Meminta Gio menunggu di depan TV sementara dirinya memasak. Tak seperti biasa, Sarah langsung ikut membantu tanpa diminta. Anak itu meraih pisau dan talenan, duduk di depan meja makan lalu memotong bawang. Membuat Hana diam-diam mengulum bibir penuh bangga. Lantas Hana meraih baskom di pantri, mencuci ikan di bawah air mengalir.
"Kak," panggil Sarah disela ketukan pisau dan kucuran air jatuh ke wastafel.
"Ehm."
"Kakak baik-baik aja?"
"Iya. Kenapa?"
Sarah tak langsung menjawab. Mau tak mau Hana membalik badan untuk memastikan. Punggung sang adik naik turun seiring embusan napasnya.
"Tadi aku dipanggil ke ruang guru, ditanyain soal gosip-gosip di tv."
Hana menarik napas dalam, dikeluarkan kasar lalu beringsut ke arah Sarah. Duduk di depannya. Entah apa tujuan orang-orang yang suka sekali penasaran. Jika sudah tahu, kenapa pula harus dipastikan segala? Lewat adiknya pula, yang notabennya tak tahu apa-apa. Belum lagi di lingkungan sekolah.
"Mereka tanya apa itu bener. Terus aku jawab bener." Lanjut Sarah.
"Guru-guru itu nggak ngomong apa lagi sama kamu?"
Pelan, Sarah menggeleng.
"Kamu nggak dibully karena kakak, 'kan?"
"Enggak. Kalo ditanyain temen-temen aku milih diem aja."
Nyatanya, apa yang terjadi berdampak bagi semua orang di sekitar Hana. Untunglah Sarah sudah lebih dewasa sekarang. Sudah bisa memproses hal tak terduga, dan menerima keadaan keluarga yang tak seberuntung orang-orang.
Tbc ...