"Gue yougurt low fat."
"Snak kentang kaya biasa."
"Permen karet rasa rasberry."
"Kopi less sugar buat gue."
"Gue tisu."
"Es crem coklat."
"Minuman soda empat kaleng, Han. GPL."
Hana bangkit dari kursi sambil mengeratkan ikat tali di rambut pendeknya yang dikuncir kuda. Dia mengutipi uang di atas meja, menghitung jumlahnya lalu mengangguk paham pada beberapa anak yang mengerumini bangkunya.
"Berarti udah nih, nggak ada tambahan lagi?!" tanya Hana sedikit berteriak, menyapu pandang ke seluruh kelas guna memastikan tidak ada titipan susulan. Para cowok ada di bagian belakang, asyik bermain game di gawai dengan heboh. Sementara cewek-ceweknya sedang sibuk memoleskan bedak dan lipstik di bangkunya masing-masing.
Tak mendapat balasan, Hana menghela napas. Satu cowok di dekatnya menepuk pundak Hana, memberi kode dengan mengelus leher agar dia lekas bergegas. Hana mengangguk kecil, melepas jas navy almamater kemudian disampirkan ke sandaran kursi sebelum keluar. Dia memilin lengan kemeja putihnya sampai batas siku sambil berjalan, lalu saat akan menuruni tangga, tiba-tiba namanya dipanggil dari belakang. Suaranya kecil melengking, intonasi manja, juga ketukan sepatu berhak yang menjadi ciri khas Celine--salah satu pelanggan tetapnya--terdengar rusuh. Mau tak mau Hana menoleh, menyambut cewek tinggi langsing berambut merah bata itu dengan tatapan malas.
"Mau nitip apa?" tanya Hana.
Celine mengentikan kaki, cengengesan. Sadar jika orang di depannya sebal sebab tadi tak diacuhkan. Dia mengeluarkan uang lima puluh ribu dari saku rok navy di atas dengkul, diserahkan pada Hana lalu berbisik, "Pembalut tanpa sayap."
"Bukannya bulan ini udah, ya?"
"Makanya!" Menghentakan kaki, Celine cemberut. "Gue juga kesel banget. Sama, lo tahu Han, BB gue nambah. Astaga!"
Hana menghela napas. Memutar bola mata. Menerima uluran Celine dan lekas berbalik menuruni tangga. Menyebalkan sekali saat mendengar masalah dari teman-temannya yang hanya sebatas berat badan naik, jerawatan, putus cinta, followers turun, kehabisan barang brandit atau soal make up. Sedangkan dirinya harus pontang-panting bekerja untuk bisa sekolah dan melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Terdampar di sekolah elit sekelas SMA Nusa karena beasiswa tidak bisa menjamin masa depan Hana akan gemilang. Setidaknya setelah nilainya mendadak jeblok hingga beasiswa pun dicabut semester lalu. Jadi, satu-satunya harapan Hana untuk bertahan sampai lulus hanyalah uang tabungan sejak SMP dari hasil keringatnya bekerja paruh waktu di warung soto, dan menjadi pesuruh anak-anak bernasib mujur itu akhir-akhir ini. Yah, tidak ada pilihan di hidup Hana. Lahir di keluarga pas-pasan membuatnya terbiasa dengan drama uang saku yang kurang. Menjadi anak pertama dengan dua adik sering kali dijadikan sang ibu untuk memaksa dia menghalah dan mandiri agar bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Termasuk biaya sekolah, tentu saja.
"Terima kasih, Hana. I love you!" seru Celine, melongok dari pagar teralis. "Kaya biasa ya, taruh langsung di tas!"
Hana mengacungkan jempol tanpa berbalik badan, melangkah lebar di tengah halaman luas bermatrial paving yang perlahan ramai sebelum keluar gerbang besi bercat putih setinggi tiga meter itu.
Dia menengok kanan-kiri, merentangkan satu tangan lalu mulai menyebrang di zebra cros saat jalan agak lengang. Suasana minimarket sedang ramai, kursi dan meja yang disediakan di terasnya penuh diisi para mahasiswa yang sepertinya sedang mengerjakan tugas. Ketikan keybord laptop, suara notifikasi pun lembar buku yang dibuka terdengar pelan diantara obrolan mereka. Hanaya mendorong pintu kaca itu, hawa dingin AC langsung menyambut tengkuknya yang terekspos sempurna. Dia mengambil keranjang di dekat meja kasir, melipir ke bagian makanan ringan dan minuman dingin. Hana mengambil semua yang dipesan hingga penuh mengisi keranjang. Tiba-tiba gawai di saku rok navi yang dikenakan bergetar. Hana merogohnya dengan satu tangan. Panggilan dari Celine.