part 26.

30 10 5
                                    

Alih-alih menerima tawaran dari Gabriel untuk membayar upah di muka, Hana malah bertekad menyelesaikan tugasnya secepat mungkin. Dia meminta Gabriel untuk diam dan menunggu, jangan ikut ambil bagian lagi agar menyingkat waktu. Katanya akan lebih luwes jika hanya Hana yang bertindak. Jelas Gabriel tak terima. Menganggap jika cewek itu meremehkannya. Namun setelah diberi penjelasan lengkap dengan alasan, dia akhirnya menggangguk senang pun berpesan; Hana harus memberitahunya apabila ada kesulitan. Lalu begitu saja kesepakatan baru dibuat. Dua remaja itu menghabisan sisa hari bersama di kafe mall, membicarakan seputar ujian dan ke mana akan melanjutkan kuliah. Gabriel antusias bercerita tentang PT incarannya, sementara Hana hanya menyimak sambil sesekali berpendapat.

"Lo sendiri gimana? Udah ada target dong pastinya?" tanya Gabriel sambil menyuapkan es cream ke mulut. Hawa gerah Jakarta memang tak kenal waktu. Tak peduli malam atau pagi, ber AC atau tidak.

Menghela napas, Hana menggeleng kecil. Memberi jawaban semu yang kontan membuat alis cowok itu bertaut.

"Buat gue, apa pun jurusannya, yang penting bisa cepet dapet kerja pas lulus."

"What?!" Gabriel berseru. Sadar jika tanggapannya sedikit berlebihan, dia lantas berdeham. "Sorry. Tapi serius? Lo ...."

"Yah, kenapa nggak?"

"No no no." Menggeleng kecil, Gabriel menggeser mangkuk es cream ke samping. Dia tak setuju anggapan Hana. Akan sangat disayangkan jika keenceran otak cewek itu hanya digunakan untuk mencari uang. Memang hal utama yang orang lakukan setelah lulus adalah mencari pekerjaan, tetapi untuk masalah tujuan hidup ke depannya, Gabriel rasa akan sangat membenani apabila dijalani tak sesuai passion. Dia sering melihat seseorang akhirnya memilih profesi yang berseberangan dari jurusan. Itulah sebabnya riset dan penentuan minat sangat penting dilakukan sejak awal. Jangan sampai berhenti di tengah jalan. "Lo beneran nggak tahu mau ngambil apa?" tanya Gabriel mencondongkan badan. Kedua tangannya bertumpu di atas meja.

"Kalo pun gue punya pilihan, apa iya keadaan bakal ngedukung? Biayanya aja gue nggak punya."

Seketika Gabriel terbungkam. Pernyataan Hana terdengar seperti, "hidup lo sama gue tuh beda, Gabriel. Lo dan anak-anak Nusa punya akses mulus buat ngeraih impian, nggak kaya gue yang bahkan harus mati-matian cuma buat ngeyakinin nyokap kalo hal yang gue inginkan itu benar."

Sejenak suasana menjadi tidak enak. Namun dengan cepat Hana memperbaikinya dengan mulai membahas soal Rita. Mereka berdua pun mutuskan pulang tepat pukul 09.00 malam. Gabriel hanya mengatar Hana sampai di depan gang.

"Makasih," kata Hana, berbalik badan. Melangkah lebar, sesekali menoleh ke belakang. Cowok itu masih di sana. "Lo bisa pergi. Gue biasa jalan sendiri."

Setelah itu Hana melanjutkan kaki. Suasana rumah yang sepi menyambutnya di ambang pintu. Agak bingung sebenarnya, mengingat kebiasaan menonton TV sampai larut yang hampir tak pernah absen. Namun karena ada hal penting yang harus dilakukan, Hana memilih langsung masuk kamar. Pertama-tama dia berganti pakaian yang lebih santai, menyiapkan air putih di meja lalu menempatkan diri di kursi belajar. Layar sang gawai terus dijajah jari, keluar-masuk ke laman pencarian, kemudian menyalin apa-apa saja yang diperlukan ke buku catatan.

Rita Andriani pernah menjadi pelaku bullying pada teman sekelasnya saat SMA. Rumor ini mencuat setelah salah seorang warga net mengunggah foto nostalgianya di akun instagram.

Diduga mangkir membayar pajak, kediaman Rita Andriani disambangi petugas berwenang.

Dan lain sebagainya. Hana berencana mengumpulkan semua hal minus perempuan cantik itu, digabungkan menjadi satu lalu dikirimkan ke akun gosip seperti biasa. Kali ini dia benar-benar ingin membuat beritanya menjadi trending topik sesuai yang Gabriel inginkan. Entah karena mulai terbiasa atau dorongan keadaan, Hana tak lagi merasa bersalah dan segan. Buruk, memang. Namun sekali lagi, money is number one, termasuk untuk dirinya.

"Rita, gue minta maaf. Lo nggak punya salah sama gue, tapi iming-iming dari Gabriel berhasil buat gue jadi manusia semenjijikan ini," gumam Hana, menatap foto Rita di layar ponselnya. "Lo tau, gue pun sebenernya ogah, tapi ya gimana, udah terlanjur nyemplung, jadi nyelem sekalian."

Lalu tak lama ketukan dari pintu utama terdengar. Hana lekas bangkit, keluar kamar sambil celingukan. Barang kali sang ibu yang ingin membukanya. Namun sampai ketukan ke sekian, belum ada sahutan. Penasaran, Hana melipir ke kamar ibunya yang berada di samping kanan pintu dapur.

"Bu, ada tamu. Boleh dibuka apa nggak?" tanyanya pelan. Dia hanya khawatir jika orang yang berada di depan sana adalah si penagih hutang. "Bu?"

Hana menukikan alis, membuka pintu di hadapannya perlahan. Ruangan sempit tanpa ranjang ini kosong, yang berarti kesenyepan rumah terjadi karena mereka sedang keluar.

"Permisi!" seruan dari depan menginterupsi lantang.

Tak ada pilhan, Hana memilih menyahut sambil mendekat. Ditariknya gagang pintu untuk memastikan siapa sang tamu.

"Maaf, bapaknya mau cari sipa?" tanyanya ramah.

"Ini rumahnya Hanaya Salsabila?"

"Iya, saya sendiri. Ada apa, yah?"

Pria berkumis di depannya memutar kepala, memberi kode pada seseorang di dalam sedan hitam yang berhenti di depan gerbang. Kemudian tak terduga, sosok Rita muncul dari sana. Membuat Hana tertegun dengan detak jantung tak beraturan.

"Bisa ikut saya?" sambung sang pria.

***

Di ruang tamu bercat merah muda ini Hana didudukan di sofa putih sendirian. Langit-langitnya cembung ke atas seperti kubah, lalu di tengahnya terdapat lampu besar berkerangka seperti mahkota. Pot bunga mawar putih segar ada di setiap pojok, memberi aroma tersendiri saat angin dari taman berkolam renang di belakang Hana masuk melalui fentilasi jendela. Di sana terdapat tiang lampu super besar, berada di dekat saung beratap daun padi kering di sisi kolam.

Sejak tadi Hana masih enggan buka suara. Selama perjalan dari rumahnya pun dia terus diam meski ditatap penuh intimidasi oleh Rita di kursi samping kemudi. Dirinya benar-benar merasa ciut, sadar dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Entah dari mana Rita tahu jika Hana adalah pelaku penyebar gosip-gosip itu.

"Ha-na." Ketukan sepatu hak Rita terdengar lebih menakutkan dari panggilan itu sendiri. "Hei! Nggak usah sok polos begitu. Angkat wajahmu!"

Pelan-pelan Hana mengalihkan pandang dari ubin, menelan ludah menatap wajah Rita yang sedang menyeringai. Berdiri menjulang sambil bersedekap di hadapan.

"Ck ck ck." Rita menggelengkan kepala, meremehkan. Duduk di sofa singgle pun menyilangkan kaki angkuh. "Apa kamu terlalu bodoh untuk menyadari perbuatan apa yang sudah kamu lakukan?"

Setelahnya perempuan itu tertawa sumbang. "Kayaknya sekolahan jaman sekarang cuma ngasih PR saja, ya. Sampai-sampai muridnya jadi generasi rusak kaya kamu. Memalukan. Entah bagaimana tanggapan SMA Nusa jika tahu soal ini."

"Jangan," kata Hana cepat. Mengatupkan tangan memohon. "Tolong, jangan kasih tahu pihak sekolah. Aku sadar aku salah. Aku bener-bener nyesel. Aku minta maaf, Rita."

"Maaf?" Rita memasang wajah muak. "Bulsyit!" Dia membanting gelas di atas meja, membuat Hana refleks berteriak menutup telinga.

"Setelah ketauan kamu baru sadar, hah?! Selama ini apa? Tuli, buta sampai nggak bisa liat berita?"

Menundukan wajah, Hana menyembunyikan kedua tangannya yang bergetar di pangkuan. Dia tidak menyangka jika perempuan itu bisa sekasar ini. Oke, di sini Hana memang salah, tetapi bukan sepenuhnya. Ada Gabriel ... tidak. Cowok itu jelas bersih dari tuduhan. Mau seperti apa pun Hana membela, tetap saja dia yang kena getahnya.

"Baik." Rita bangkit sambil mengentakan kaki. "Masalah ini akan aku bawa ke pihak berwajib. Kamu siap-siap saja, Hana."

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang