part 23.

27 10 0
                                    

Gabriel merasa dijebak. Alih-alih ke Bogor menemu nini, sang papi justru membawa dia ke pesta perayaan atas peluncuran film terbarunya. Di sebuah hotel di daerah Kemang bersama orang-orang kenalan papi. Mereka asyik membicarakan hal-hal yang tidak Gabriel mengerti. Maka tak heran jika sedari tadi cowok berkos putih lengan pendek itu enggan bangkit dari kursi yang diduduki. Makanan dan minuman di atas meja pun tak disentuh sama sekali, memilih tetap mengunci bibir meski dahaga menghampiri.

Pelan Gabriel mengembuskan napas, menegakan punggung sambil menatap malas papinya yang tengah berbincang dengan pria tinggi di atas panggung rendah. Layar proyektor yang sedang menampilkan cuplikan film membias ke tubuh enam manusia berbusana rapi--dua perempuan dan empat laki-laki di sana. Alunan backsound yang diputar sejak tadi sesekali diintrupsi tepuk tangan.

Lalu tak lama Rita mendekat, duduk menyilangkan kaki di samping Gabriel. Gabriel tak acuh meski menyadari, terlalu lelah untuk sekadar meliriknya. Setengah jam berada di sini hampir membuatnya gila, jangan sampai dirinya lepas kendali dan berakhir mempermalukan diri sendiri. Salahnya memang karena tak berani memberontak saat sang papi menyeretnya masuk, menyeruak di antara orang-orang yang sangat tidak ingin Gabriel temui, terutama para sutradara ngeyel itu. Mereka seperti tak kenal lelah memberikan tawaran padanya untuk terjun ke dunia hiburan meski ditolak puluhan kali.

Lagi, tepuk tangan terdengar keras, memantul ke langit-langit berhias bunga pun ke semua sudut ruangan luas bercat crema ini. Papi dan sederet rekannya menghentikan acara promosi, kembali ke meja yang memang sudah diberi nama seperti yang sedang Gabriel tempati.

Tak terduga, seorang pria menghampiri. Berbisik sesuatu pada sang papi sebelum ikut bergabung ke mari.

"Hai, Gab," sapanya sambil menarik kursi di seberanng. "Apa kabar? Kayaknya lama banget deh baru ikut lagi ke acara papi."

Tersenyum culas, Gabriel tak menanggapi. Dia melirik papinya yang tengah menenggak botol air mineral. "Udah, 'kan? Aku mau pulang."

Menandaskan isi, Anjas menarik tisu dari kotak merah di tengah hidangan. Diusapkan ke sekitar mulut, diremas dan dibuang ke tong sampah di bawah meja yang tertutupi kain taplak panjang sampai menyentuh ubin.

"Sebentar lagi acaranya selesai," jawabnya datar, mengundang decakan sebal dari sang putra. Ajas tak acuh lalu mengalihkan atensi pada pria tambun tadi. "Jadi, bagaimana menurutmu, Sam. Apa harus mulai dicari sekarang?"

"Sejauh yang gue pantau nih." Sam berdeham, mungkin sadar jika suaranya terdengar serak. "Ini emang konsisten banget. Bukan cuma iseng-iseng, tapi memang direncanain."

"Aku juga mikirnya gitu." Rita menyambung. Memperbaiki posisi duduk pun menumpukan kedua siku di atas meja. Jam emas di lengan kirinya sedikit turun dari pergelangan tangan. AC di ruangan ini ternyata tak membuat kedua lengan dan kakinya yang terekspos merasa kedinginan. "Bener-bener meresahkan banget, si. Akun IG sampe sekarang masih aku kunci."

Gabriel mendengkus kecil, tak tertarik dengan hal yang mereka bicarakan. Keinginannya saat ini hanya pulang atau pergi ke mana pun mengajak Erwin dan Odi. Bila perlu menginap saja di rumah salah satunya. Toh, sang papi pasti tidak akan pulang malam ini. Memprioritaskan pekerjaan di atas dirinya sudah biasa terjadi, bahkan saat ada moment penting seperti ulang tahun Gabriel. Miris memang, tetapi mau bagaimana lagi. Merenget seperti bocah, atau memaksa ikut bersama mami? Tidak, itu bukan pilihan tepat.
Kemudian saat pembicaraan mulai mereda, Gabriel putuskan bangkit dari kursi.

"Aku mau ada acara, Pi. Harus balik sekarang."

"Gab." Anjas ikut berdiri, menatap putra semata wayangnya penuh perintah. "Batalin dulu acaranya, kita mau adain makan malam bersama."

"Nggak bisa, pi." Pelan dia menjawab, berusaha tersenyum meski sebenarnya gondok setengah mati. Enak saja sang papi terus mengurungnya di tempat ini. Meski terbilang minim orang, tetapi tetap saja terasa pengap. "Aku udah janji, nggak mungkin tiba-tiba nggak jadi."

Membuang napas dalam, sang papi mengeluarkan gawai dari saku dalam jas hitam yang merangkapi kemeja navi. Terlalu formal untuk acara seperti ini. "Papi telpon pak Karma dulu buat jemput kamu."

"Nggak usah." Gabriel menukas tepat saat jempol Anjas akan mengklik icon panggil. "Aku naik taxi aja."

Berinisiatif mencari peran, Rita pun memberikan tawaran untuk mengantar remaja jangkung itu pergi. Anjas langsung menyetujui, sementara Gabriel merutuk dalam hati. Tak mungkin dia terus membangkang dan menciptakan keributan. Hidupnya sudah terlalu menjadi sorotan, hal kecil pun akan menjadi berita besar. Di sini beberapa wartawan tak henti-hentinya menagkap gambar. Lampu flash dari kamera mereka nampak seperti kilat petir di dalam ruangan. Maka dengan setengah hati, cowok itu kembali mengenakan denim hitamnya dan mengikuti Rita keluar. Berjalan beriringan selayaknya anak dan calon ibu tirinya yang saling menyayangi. Barulah saat berada di mobil Gabriel menggerutu keras-keras, kukuh menolak duduk di kursi samping kemudi.

"Kamu nggak cape, Gab, terus-terusan kayak gini?" Rita melirik remaja jangkung itu lewat spion depan, tersenyum miring karena mendapat dengkusan sebagai respon. "Udah, lah. Kamu tuh tinggal ikutin aja kemauan papi, apa repotnya si? Lagian nih ya, mami sama papimu nggak mungkun rujuk lagi."

"Heh!" Gabriel terpantik emosi. Dia menegakan badan, menatap tajam punggung wanita berambut panjang itu. "Sebarangan banget kalo ngomong. Sampe kapan pun gue nggak bakal sudi nerima lo. Camkan kata-kata gue!"

"Yah, itu si masalah kamu, Gab. Aku mah nggak peduli. Intinya, papi kamu udah cinta mati sama aku," katanya sambil menarik tuas rem. Mobil berdenyut pelan sebelum berhenti, berbaris di antara kendaraan lain menunggu lampu merah berganti. Suara klakson dan derum mesin menyahuti seruan beberapa penjual kaki lima yang perlahan berdatangan menawarkan dagangan. Satu pengendara motor di samping kirinya nampak sedang membeli. Lagi, Rita melirik ke belakang. "Jadi, pilihan mau enak apa nggak sepenuhnya ada di tangan kamu."

"Lo liat aja!" Gabriel mengepalkan tangan, tersenyum setengah. "Semua nggak bakal ada yang berjalan sesuai keinginan lo."

Tertawa kecil, Rita kembali melajukan mobil. Beberapa motor menyalipnya dari celah kanan-kiri. "Iya, kah? Nggak sabar pengen liat."

Gabriel berdecak frustrasi. Berdebat dengan perempuan itu sama saja menyiksa otaknya sendiri. Cowok berparas bule itu mengeluarkan gawai dari saku denim, menyetel musik keras-keras lalu mengalihkan pandang ke samping kiri. Tak lupa kedua tangan dilipat pun kaki bersepatunya dinaikan ke bagian atas jok samping kemudi. Matanya menyorot datar kesibukan malam yang tersaji. Tak disangka, kata-kata Rita barusan terus terngiang di telinga. Jika mami papinya sungguh ingin hidup sendiri-sendi, berarti usahanya dan Hana selama ini hanya membuang wakti saja. Lalu sekarang bagaimana? Haruskah berhenti, atau apa?

Tak lama, mobil merah itu masuk ke halaman rumah bercat putih dengan pilar besar di kanan kiri itu. Lampu depan mobil yang sejak tadi menyapu jalan dimatikan, bebarengan dengan bantingan pintu dari kursi penumpang.

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang