part 9.

36 17 2
                                    

Hana mendengkus sambil bangkit dari posisi duduk menggantung kaki di sebuah saung. Matanya tajam menatap kesibukan jalan raya di ujung sana.

Penerangan bohlam kecil di batang pohon nangka yang menaunginya membiaskan cahaya remang, membuat Hana kerap kali tak sadar dengan kedatangan seseorang dari jalan setapak menuju kebun di belakang. Alhasil beberapa kali dia terkesiap saat tiba-tiba ada suara menginterupsi di antara kebisingan jalan. Bahkan, sampai menoleh telalu cepat dan bersikap waspada hingga mengundang tatapan penuh tanya—mungkin selain seragam yang melekat, keberadaan Hana di jam delapan malam ini juga mengundang pikiran negatif di benak mereka. Beranggapan jika Hana sedang menunggu teman-temannya untuk berpesta pora menghabiskan uang orangtua. Yah, salahnya memang, memilih menunggu Gabriel di sini dari pada pulang ke rumah. Namun tindakan tersebut juga bukan tanpa alasan Hana lakukan. Cewek berkuncir tinggi itu hanya tidak mau repot menyiapkan alasan jika sang ibu bertanya kenapa tidak langsung ke tempat kerja.

Jadi, biarkan semua berjalan seperti ini, toh dia memang sudah terbiasa pulang malam karena bekerja. Dan, saat Gabriel mengajaknya siang tadi agar ikut serta, Hana tegas menolak. Meski cowok jangkung itu bilang rumahnya sepi penghuni, tetapi Hana yakin jika sepi yang dimaksud bukanlah benar-benar kosong. Intinya, Hana tak mau menambah masalah dengan masuk terlalu jauh ke kehidupan Gabriel. Cukup selesaikan tugas dan mendapat upah. Setelahnya, Hana akan angkat tangan, juga kembali tak saling kenal. Namun sebelum itu, rencana malam ini harus berjalan dulu, kan?

"Mana, si?" gerutu Hana, mengentakan kaki. Semua kendaraan yang melintas tak lepas dari harapan Hana jika salah satunya akan berbelok ke gang ini menghampirinya. Entah apa yang sedang Gabriel lakukan hingga mulur setengah jam dari perjanjian. Nomor teleponnya pun tidak aktif. "Ini kalau sepuluh menit lagi nggak dateng, gue bakal pulang. Titik," sambung Hana penuh kejengkelan, kembali duduk sambil mengibaskan tangan mengusir nyamuk.

Kemudian tak berselang lama, sebuah mobil berwarna merah mendekat. Lampu depannya menyorot terang ke sekitar sebelum mesin dimatikan tepat di depan Hana. Hana berdiri, bertepatan dengan cowok berhoodie hitam yang keluar dari kursi pengemudi. Itu Gabriel.

"Han!" Sapanya, melambaikan tangan. Memutarari mobilnya dari depan. "Udah lama nunggu?"

"Nggak, kok. Baru setengah jam lebih. Sekawanan nyamuk juga belum kenyang gigitin badan gue." Sarkas Hana, melipat tangan di bawah dada.

Mendengar itu, Gabriel tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuk. Dia benar-benar tidak bermaksud datang terlambat, hanya saja mobil yang dikendarainya malam ini dia pinjam dari rental kepunyaan kerabat Odi dengan negosiasi cukup panjang. Bukan masalah harga, melainkan pertanyaan dari sang teman lah yang mengulur waktu. Belum lagi untuk menyiapkan beberapa hal, seperti, mencari tahu ke mana Rita pergi, bersama siapa dan baju ganti. Ya, dia tidak mungkin membiarkan Hana tetap berseragam selama melancarkan aksi.

"Berangkat sekarang?" tanya Hana, menggendong tas yang semula terdampar mengenaskan di dalam saung.

Gabriel mengangguk, membuka pintu samping kemudi lalu mengangsurkan paper bag pada Hana. "Nggak tau kegedean apa nggak, tapi itu ukuran paling kecil yang gue punya."

"Gue nggak perlu," tolak Hana, mendorong tangan Gabriel. Cukup paham maksud dari cowok di depannya.

Berdecap lidah, Gabriel mengeluarkan sweeater hijau di dalamnya. Membuka lebar-lebar bagian kerah, maju dua langkah dan nekat memakaikan langsung pada Hana. Cewek itu mendorongnya kasar.

"Lo apa-apaan, si?!"

"Nurut aja si, Han," kata Gabriel gemas. "Kalo sampai ada yang lihat lo berkeliaran masih pakai seragam, bisa nambah urusan."

Berpikir sejenak, Hana mengangguk. "Ah, iya. Masuk akal."

"Nah, makanya cepetan, ayok. Keburu target balik ntar."

"Sabar!" Dengkus Hana.

***

Di restoran yang cukup mewah, Rita duduk di sofa kepungan bersama empat temannya. Dua laki-laki dan tiga perempuan termasuk Rita. Satu botol besar soft drink tersedia di meja tinggi itu, lengkap bersama gelas berisi cairan merah pun hidangan lain. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu, tetapi kebisingan sekitar membuat suaranya tak terdengar sampai ke meja Gabriel. Malam ini semua tempat penuh diisi orang, dentuman musik jaz dari mini teater di depan beradu dengan roda troli pengantar pesanan yang tanpa henti berseliweran. Mengganggu pemandangan dan semakin membuat sesak.

"Lo sering ke tempat ini?" bisik Hana, duduk tepat di samping Gabriel dengan perasaan tidak nyaman. Di sini terlalu terang, bising dan menyilaukan karena semua pengunjunnya merupakan orang-orang terpandang. Aksesoris yang dikenakan benar-benar sanggup membuat Hana menelan ludah.

"Cuma beberapa kali," jawab Gabriel acuh tak acuh. Cowok itu mengaduk kopi di mug keramik bagiannya dengan sendok sambil memfokuskan mata menghadap ke meja depan. "Menurut lo, apa yang lagi mereka omongin, Han?"

"Ehm ...." Mengikuti arah telunjuk Gabriel, Hana mengerutkan dahi. Mengedikan kedua bahu setelahnya, tepat saat cowok itu menoleh meminta pendapat. "Mungkin kerjaan."

Gabriel berdecak. "Lempeng amat si, pikiran lo."

"Lho, kenapa?"

"Orang-orang kaya mereka, terutama Rita itu, pasti punya borok besar."

"Nggak semuanya ya, Gabriel. Banyak kok public figure yang punya dampak positif. Kaya ...."

"Heh!"

Gabriel dan Hana terkejut bersamaan. Memutar pandang ke sumber teriakan. Di depannya, seorang wanita berbaju merah sedang berdiri angkuh menjinjing tas mini putih berharga milyaran yang basah. Sementara sang pelayan hanya bisa menunduk sambil meminta maaf.

"Kamu tahu harga tas saya?!" Lagi, wanita itu berteriak. Tatapan semua orang langsung tertuju padanya. "Satu tahun gajimu nggak akan mampu buat ganti!"

"Maaf, bu. Sekali lagi saya minta maaf."

"Maaf maaf! Lain kali punya mata tu dipake, ya! Dasar pelayan nggak becus."

Menyaksikan itu, Gabriel menggeleng jengah. Sudut bibirnya terangkat lalu mengalihkan mata ke arah Hana. Cewek itu bergeming dengan embusan napas cepat. Kedua tangan terkepal erat.

"Kenapa, lo?" tanya Gabriel, menelengkan wajah bingung.

Tak merespon, Hana justru menggeram tertahan. Dia ikut marah, membayangkan dirinya sendiri berada di posisi tersebut. Menurutnya kelakuan wanita itu keterlaluan. Kemudian saat hendak bangkit dari kursi, tangannya ditahan Gabriel.

"Mampus," kata cowok itu sebelum menarik Hana untuk merunduk di bawah meja. "Ck, pake segala drama pula."

"Gab ..."

"Sstt!" Gabriel meletakan telunjuk di depan bibir Hana, mengintip dari balik kain traplak meja. "Kita ketauan."

Hana menautkan alis, kekesalannya menguap berganti perasaan cemas. "Ketahuan? Maksud lo?"

"Ya ..."

Belum tuntas berbicara, tiba-tiba ponsel di saku jeans hitamnya berbunyi. Gabriel berdecak kesal dan lekas mematikan panggilan. Namun tak berselang lama dering sang gawai kembali terdengar.

"Kita harus keluar sekarang," katanya, menggenggam tangan Hana. Berjalan sambil jongkok sampai ke pintu samping. Hana yang belum sepenuhnya mencerna situasi hanya bisa diam, mengekori Gabriel saat di parkiran menuju mobil.

Gabriel mengacak rambut. Menendang udara kesal. Wajahnya terlihat jengkel, mengetuk layar ponselnya kasar sambil berkacak pinggang dengan satu tangan.

"Ada apa?" sembur Gabriel pada seseorang dari sambungan. "Gue lagi sibuk. Nggak ada waktu ngeladenin lo, oke!"

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang