part 4.

60 19 6
                                    

Angin yang berembus dari punggung menghempas rambut hitam sebahu Hana yang digerai lurus hingga mengganggu penglihatan. Lantas diselipkan ke belakang telinga. Cewek itu berjalan tanpa tujuan, mengusap kedua lengan atas sambil sesekali menghirup rakus hawa dingin sang malam, berharap mampu sedikit melegakan.

Kini permasalahannya semakin pelik. Ada keluarga dan impian yang berjalan berseberangan. Hana berat memilih antara keduanya. Ditambah dengan kenyataan bahwa tidak ada yang bekerja untuk menyokong biaya hidup saat ini. Jadi, mau tak mau Hana harus segera mencari pemasukan lagi, tidak bisa hanya mengandalkan upah membelikan jajan teman-teman sekelasnya. Namun di mana dan bagaimana, Hana tidak tahu. Surat lamaran yang dia kirim ke beberapa mini market untuk mengisi sift malam belum ada kejelasan, ke warung atau restoran pun selalu mendapat penolakan sebelumnya.

Ya, selama ini Hana sudah mengantisipasi jika hal tak terduga terjadi. Itung-itung juga mencari gaji yang lebih besar agar bisa keluar dari warung soto pak Ginanjar. Sayangnya tidak ada yang berjalan sesuai keinginan, fakta jika menunda kuliah untuk bekerja terlebih dulu patut dipertimbangkan meski segan. Maksudnya, Hana khawatir jika opsi itu malah akan berujung dengan batalnya rencana kuliah. Dia sudah banyak melihat kasus serupa dari jaman SMP. Teman-temannya yang berniat mandeg satu tahun akhirnya benar-benar tak melanjutkan sekolah, memilih menikah dan hidup susah. Hana sungguh tidak mau ikut terjebak di lingkaran itu, dia ingin membuktikan jika perempuan pun layak mendapatkan pendidikan tinggi. Pemikiran kolot ibunya dan para orangtua lain jangan sampai berkelanjutan hingga generasi Sarah.

"Tapi apa?" monolog Hana lirih, merasa bodoh karena nyatanya dia tak bisa berbuat apa-apa. Jangankan merubah stigma orang lain tentang pendidikan perempuan, untuk dirinya sendiri saja entah. Lalu gawai di saku kardigan abu-abu yang merangkapi seragam kerjanya bergetar, membuat Hana menghentikan langkah tepat di depan gerbang rumah seseorang. Suasana kompleks sangat sepi. Beberapa jendela nampak sudah gelap, menandakan penghuninya sudah terlelap. Hanya bunyi derum kendaraan dari jalanan besar yang meningkahi tanpa henti.

"Ih." Hana mengentakan kaki kecil, berdecap kecewa saat mendapati nama sang ibu lah yang tertera. Terpaksa dia mengangkat panggilan.

"Ada apa?" tanyanya malas. "Aku cuma keluar bentar."

"Beliin ibu nasi goreng di depan."

"Aku nggak bawa uang."

"Kalo gitu utangin dulu. Ibu laper, lauk udah abis semua."

"Bu ...." Belum sempat tuntas menyuarakan protesan, sambungan sudah diputus sepihak.

Menjerit tertahan, Hana mengacak-acak rambut sambil ngedumel. Gampang sekali ibu menyuruhnya berhutang satu bungkus nasi goreng. Ya Tuhan! Padahal jika pun suatu hari nanti Hana kelaparan, dia bersumpah tidak akan melakukannya. Memalukan. Namun sekarang beda cerita. Jika nanti dia pulang dan tak membawa pesanan, bisa dipastikan sang ibu akan mengomel. Menambah beban pikiran yang sedang runyam saja. Jadi, mau tak mau Hana harus memakai uang gajian dari pak Ginanjar. Menyebalkan!

Hana membuang napas keras-keras, menendang udara sebagai pelampiasan sampai sandal jepit merah mudanya melayang dan ....

"Woy!" Mengenai seseorang di pinggir jalan besar. Wajahnya terlihat remang. Memakai tudung hoodie juga berpostur jakung. Mungkin tingginya sekitar 180 cm. Sosok itu memangkas jarak, membuat Hana mengerjap di tempat sambil merutuk dalam hati. Detak jantung Hana selip. Khawatir bukan main akan nasibnya setelah ini. Bisa jadi orang itu adalah salah satu begajul yang sedang nongkrong di sekitar sini.

Semakin dia mendekat, semakin pias pula raut Hana. Pencahayaan teras rumah ini terlalu redup untuk bisa menunjukan seberapa gemetarnya telapak tangan cewek itu.

"Ma-maaf, nggak sengaja," katanya, menelan ludah. Hana mengangkat jari telunjuk dan tengah di samping wajah. "Suer, deh."

Namun tak disangka, suara tawa justru menyembur keras dari sang lawan bicara. Sosok tadi membuka tudung, menggeleng kecil dan berdecap mulut. Hana mendengkus, tetapi merasa lega. Kenal betul siapa dia. Gabriel Prananta, anak salah satu aktor yang sedang naik daun plus teman seangkatannya. Baru beberapa hari lalu Hana bertemu dia di tempat kerja.

"Ma-aaf, nggak sengaja." Gabriel membeo, mengubah intonasi suaranya sampai terdengar menggelikan. Hana memutar bola mata. "Nggak nyangka lo bisa ciut kaya gitu," sambung Gabriel.

"Lo mau apa ke sini?!" kata Hana, jutek. Hampir saja dia pipis di celana saking takutnya. Dulu pernah ada kasus pemerkosaan di daerah sini, meski sekarang satpam sudah gencar berpatroli, tetapi tetap saja Hana khawatir. "Jangan-jangan lo emang bener nguntitin gue, ya?" Hana menyambung, menyipit penuh curiga.

"Uwo!" Gabriel berkacak pinggang dengan satu tangan, manik coklatnya yang kali ini terlihat sangat terang di bawah sorot lampu redup kekuningan dari teras meneilisik Hana dari ujung kaki sampai kepala. "Nggak waras banget kalo gue nguntit lo, Han."

"Terus?"

"Gue mau ngomong sesuatu."

"Enggak. Terima kasih."

Hana merebut sandalnya kasar. Dibanting ke tanah sampai tengkurap lalu memakainya dan lekas berbalik haluan. Masalah nasi goreng bisa dia siasati dengan dalih kehabisan. Yang terpenting sekarang, dia harus segera pergi dari sana. Pikirannya sudah terlalu penuh untuk menambah urusan bersama Gabriel. Lagipula selama ini mereka tak pernah bertegur sapa. Selain beda kelas dan jurusan, Hana memang tak berniat mengenal Gabriel lebih jauh. Berita di TV sudah cukup dia lahap kadang kali.

Melihat itu, Gabriel berseru memanggil Hana. Cewek berambut pendek itu tak acuh, terus melangkah sambil melipat tangan. Gabriel lantas menyusul, menghalangi jalan Hana hingga dia mendengkus keras, juga menatap sengit.

"Gue tadi sampai ke tempat kerja lo, tapi lo malah nggak ada," kata Gabriel. "Makanya gue nyusul lo ke rumah."

"Gue nggak ada urusan sama lo, Gabriel."

"Gue yang punya urusan."

"Nggak tertarik." Hana bergeser, pergi begitu saja tanpa mau mendengarkan maksud pun tujuan Gabriel sebenarnya.

"Gue punya kerjaan buat, lo!" teriak Gabriel. Hana berhenti, masih belum memutar badan. Tersenyum senang, cowok berparas bule itu melanjutkan, "Yang jelas gajinya lebih besar dari gaji di warung soto."

"Apa?" Hana menghadap Gabriel, berjarak tiga meter. "Nggak usah becanda, deh."

"Serius." Gabriel menekan intonasi suaranya, mendekat sebelum kembali berucap. "Lo harus ...."

"Jadi kacung lo?" Sela Hana, tersenyum miring. "Ogah! Lo kira gue cewek FTV apa?"

"Ya ampun, Hana! Dengerin dulu." Decak Gabriel. "Ini ada hubungannya sama kejadian di warung."

Mengernyitkan dahi, Hana tak bisa menangkap apa pun maksud Gabriel.

"Oke, lo pasti bakal mikir gue lagi drama, atau apalah. Yang jelas gue serius."

"Nggak usah berbelit, Gabriel. Gue nggak bisa lama-lama ngeladenin elo."

Gabriel mengangkat kedua telapak tangan, menengkan. Tak disangka akan jadi sepanjang ini. Niatnnya tadi hanya akan to the poin, tetapi berhadapan langsung tak semudah diangan. Dia gugup bukan main, sadar jika kehidupannya memang penuh drama. Namun bagaimana lagi, Gabriel tidak bisa tinggal diam membiarkan kedua orantuanya benar-benar melanjutkan hidup masing-masing.

"Gini." Gabriel menelan ludah, sesuatu di tenggorokannya mencekat kata-kata yang akan terlontar. Dia berdeham lalu melanjutkan, "Lo bantuin gue ngikutin Rita Andriani, aktris baru yang lagi jadi sorotan itu."

Seketika Hana menukikkan alis. Menahan diri agar tak bertanya. Gabriel sadar dan lekas menuntaskan, "Lo pasti udah tahu gosip tentang keluarga gue selama ini, jadi rasanya gue nggak perlu jelasin detilnya."

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang