Hana menanggalkan sandal pingnya, membuka pintu rumah sambil menghela napas dalam. Plastik putih berisi minyak goreng satu kilo ada di lengan kanan. Dia bergerak, mengedarkan pandang sebelum meletakan bawaan ke atas meja. Tadi ibu yang menyuruhnya ke mini market depan, berpesan agar jangan lama-lama karena sebentar lagi makan malam. Hana mengangguk mengiyakan, tetapi panjangnya antrian membuat dia harus menunggu lebih dari setengah jam. Kini keadaan rumah malah jadi sepi, sayuran yang tadi dipetiki ibu teronggok di sofa depan TV. Ke mana ibu, Gio dan Sarah?
Lekas Hana melepaslan kardigan hitam, menyampirkannya ke sandaran kursi jati meja makan. Lengan kaos abu-abu yang dikenakan dilipat sampai siku, beringsut mengutip sayur untuk dibawa ke dapur. Dia melewati kamar Sarah, tak sengaja melihat gadis itu melalui pintunya yang terbuka secelah. Kontan Hana mengetuk sekali, menarik atensi sang adik.
"Lagi ngapain?" tanya Hana.
"Belajar." Sarah bangkit dari posisi tengkurap menjadi bersila, mengangkat buku cetak tinggi-tinggi. "Biologi."
Mengangguk kecil, Hana tersenyum. Sedikit menjembulkan wajah guna mencari Gio yang biasanya suka bermain di sini. Namun bocah laki-laki itu tidak ada.
"Gio sama Ibu pergi ke mana?"
Sarah mengedikan kedua bahu. "Nggak tahu. Tadi diajak dua temen Kakak entah ke mana."
"Temen?" Hana mendorong agak lebar lempengan kayu usang di hadapan sambil menukikan alis tajam. "Temen siapa?"
"Gabriel sama Celine."
Kontan wajah Hana menegang. Berbalik badan masuk ke kamarnya di sebelah. Bantal, sparay dan selimut ditarik dari atas dipan, mencari gawai yang lupa diletakan.
"Ah, mana si!" gerutunya kesal, membuka kotak pensil pun mengobrak abrik laci meja belajar. Di antara tumpukan buku yang tersusun rapi, HP-nya terselip. Lekas Hana meraihnya, mendudukan diri di kursi sambil menjamah layar mencari kontak Gabriel. Satu panggilan terlewat, mencoba lagi berkali-kali tetap tak dijawab. Panik, Hana mulai menggigit kuku jari, mengirim pesan pada Celine dengan tangan bergetar.
Anda
Cel, lo di mana?Anda
Plis jawab gue, penting!Anda
Celine?Centang satu, tak ada harapan melakukan panggilan.
Hana membuang benda pipih itu ke atas bantal kasar, menutup wajah menggunakan kedua tangan pun menundukan badan. Gabriel tidak bisa dipercaya. Cowok itu bergerak tanpa izin dan tak memikirkan resiko yang akan diterimanya. Bertahun-tahun dipaksa menjadi panutan, dididik keras layaknya seorang laki-laki, pun tak pernah merengek seperti anak-anak lain membuat Hana benar-benar enggan melibatkan orangtua untuk masalahnya. Dia tak mau dianggap payah lebih dari yang sudah-sudah oleh sang ibu.
Waktu berjalan begitu saja. Jam sudah menujukan pukul 00.00 pagi dan ibu belum juga pulang. Hana gelisah, bergerak lasak di atas kasur sambil tak henti-hentinya mendesah kesal. Sarah di kamar sebelah sudah tenang. Lalu tak terasa Hana tertidur kelelahan, bagun pagi-pagi sekali dan langsung memastikan. Ibu ada di dapur, memasak sarapan tanpa menanggil Hana meminta bantuan. Saat sarapan pun demikian. Wanita itu hanya berbicara sekadarnya, bersikap lain dari biasa.
Diam-diam Hana menghela napas, mengaduk nasi bagiannya sambil menundukan kepala. Sarah di kursi samping pamit, mengajak Gio pula yang selalu makan di depan TV.
"Ibu, Gio berangkat," katanya, melambaikan tangan di ambang pintu.
"Aku berangkat." Sarah melompat bangun dari undakan teras setelah mengenakan sepatu, mengentak bumi menyamankan posisi kaki. "Ayo, Gio. Nanti terlambat."
"Hati-hati!" Setelah berseru sang ibu berdiri, membawa piring kotor ke dapur meninggalkan Hana yang masih terpekur.
Pasti ibu marah banget sama gue, gumamnya, meletakan sendok meski belum satu suap pun masuk ke mulut. Hana menarik tas di bawah kaki, digendong lesu lalu mendorong kursi.
•••
Di sekolah, Hana menarik diri. Duduk menelungkupkan wajah di balik lipatan tangan yang bertumpu di meja saat bel istirahat berbunyi. Selama jam pelajaran berlangsung pun dia diam dan tak mencermati. Pikirannya terlalu runyam untuk bisa memproses materi. Namun di tengah sunyi, suara Celine kembali terdengar setelah beberapa menit lalu berisik mengajaknya ke kantin yang sama sekali tak ditanggapi. Hana mengangkat wajah malas, mendapati cewek itu sedang berdiri di depan meja dengan raut tak terbaca. Sementara di koridor banyak anak-anak berlalu lalang sambil memusatkan pandang.
"Ada apa?" Hana menegakan punggung. Menghela napas tak terlalu peduli dengan apa yang akan Celine katakan.
"Lo dipanggil ke ruang BK."
Sejenak Hana bergeming menatap mata Celine yang mulai berkaca-kaca. Celine maju, menepuk pundak Hana lalu memajukan bibir dramatis. "Nasib lo gini banget si, Han. Udah melarat, nggak disetujui ortu buat raih cita-cita, dipecat kerja, diancam ke penjara, terus sekarang lo dikeluarin dari sekolahan. Nggak adil banget nggak, sih?"
Hana menundukkan pandang, meremat kedua tangan di pangkuan. Kendati sudah menduganya, tetapi terjadi secara nyata benar-benar lain cerita. Lantas dia menarik napas panjang, mengangkat wajah beberapa detik kemudian sambil tersenyum lebar. Dia bangkit, melepaskan tangan Celine dan mengangguk seolah tegar.
"Thanks udah mau manggilin gue."
Berlalu keluar, Hana mengepalkan kedua tangan. Bukan sebab marah atau tak terima dengan keadaan, melainkan menahan diri agar tak berlari menghindari mata anak-anak di sepanjang koridor yang mengintimidasi. Berita itu pasti sudah tersebar seantero SMA. Atau bahkan seluruh Indonesia. Lalu ketika sampai di ambang pintu ruang BK, wali kelasnya langsung memintanya masuk. Di dalam sudah ada pak kepala sekolah juga guru-guru lain yang mungkin akan menghakimi.
Hana didudukan di kursi kayu, terpisah dari kepungan sofa hijau toska yang sudah pas ditempati di depannya. Hana menunduk tak berdaya, menunggu penegasan jika dia memang akan ditendang keluar dari sekolahan yang tiga tahun menaunginya.
Pak Broto membuka suara setelah berdeham beberapa kali. Memanggil Hana, memaksa cewek berkuncir itu mengangkat kepala.
"Sebelumnya Bapak minta maaf, Hana, terkait berita yang bocor ke beberapa siswi sampai ke seluruh kelas." Pak Broto menjeda, nampak ragu. Beliau menoleh ke arah guru-guru sebelum kembali berdeham. Memperbaiki duduk sambil menarik bagian bawah seragam PNS yang dikenakan. Perutnya yang buncit menonjol hingga tiga kancing terakhirnya akan lepas dari tempatnya. "Dan mengenai kasus itu, pihak sekolahan sudah mengambil tindakan. Bahwa kamu, Hanaya Salsabila, akan dikeluarkan dari SMA Nusa. Namun percayalah, kami semua bangga sekali pernah memiliki murid sepintar kamu. Tetap semangat ya, Hana. Bapak yakin ada jalan lain untuk kamu di luar sana."
Hana mengangguk kecil. Air matanya turun tanpa diminta. Dia berusaha menerima dan tersenyum meski rasanya ingin memohon agar diberi kesempatan.
"Kalau begitu, saya pamit, Pak, Bu." Pelan Hana bersuara. Bangkit, membungkuk sopan lalu melanjutkan, "Terima kasih untuk ilmu dan jasanya selama ini, pak, Bu. Maaf karena sudah membuat kalian kecewa juga mencoreng nama baik sekolahan."
Bu Sinta berdiri, menghampiri Hana kemudian memeluknya. Diikuti guru perempuan lain yang ikut memberi tepukkan penyemangat lengkap dengan kata-kata motivasi yang justru membuat Hana tak bisa menahan diri. Dia terisak. Lekas menarik langkah setelah bu Sinta mengurai tangannya.
Tbc ...