part 22.

26 9 0
                                    

Gabriel dan Hana berjalan lamban di belakang Rita pun kawan-kawannya. Sesekali dua remaja itu membaur dengan pengunjung mall guna menyamarkan diri. Entah, Rita seperti sadar dengan keberadaan Gabriel di sini. Terbukti dari seringnya perempuan berbaju kuning itu menoleh ke belakang, membuat Gabriel harus ekstra hati-hati.

"Dia udah naik ke lantai tiga," bisik Hana sambil berpura-pura memilah baju. Ekor matanya sempat mengikuti ke arah mana Rita pergi.

"Ya udah, ayok." Tanpa basa basi, Gabriel menarik tangan Hana agar keluar dari toko ini menuju eskalator, bergabung bersama ibu-ibu muda yang semuanya menenteng banyak plastik di lengan.

Sampai di tempat tujuan, Gabriel tak lepas mengedarkan pandang, memindai satu-satu pengunjung yang berlalu lalang. Sore cerah di waktu weekend memang favorite semua orang. Bahkan jalanan sempat macet panjang tadi siang. Untung Gabriel tak harus terjebak sebab menggunakan motor untuk datang ke mall ini, menunggu Hana dengan segelas es kopi di kafe lantai dasar. Cewek itu datang telat lima menit dari perjanjian, berdalih karena harus jalan kaki. Gabriel tak mempermasalahkan hal tersebut. Toh, Rita baru datang ke mari pukul 16.00 sore bersama tiga orang teman, persis seperti yang diinformasikan asisten pribadinya. Kadang sedikit berbohong atas nama papi bisa memudahkannya mengorek informasi.

"Eh, mana ya?" tanyanya, masih erat menggenggam tangan Hana.

Hana yang merasa risi pun berdeham keras berniat memberi tanda. Namun karena terlalu fokus mencari Rita, Gabriel sama sekali tak menyadarinya. Barulah ketika Hana menarik paksa, cowok berjaket denim itu terkesiap dan langsung minta maaf.

"Beneran, nggak ada maksud," katanya kikuk sambil mengusap tengkuk.

"Gue juga nggak berpikir apa-apa," jawab Hana acuh tak acuh, melangkah lebih dulu seolah tak terjadi apa-apa. Ujung rambutnya yang dikuncir tinggi terayun seiring langkah jenjang. Sweater hitam dengan jeans warna senada nampak pas membalu tubuh kurus cewek itu.

Tanpa sadar sudut bibir Gabriel tertarik tipis. Meski sering bersikap menyebalkan--seperti hari yang kukuh menolak bergerak pagi-pagi, tetapi Hana type cewek yang asyik diajak berteman. Tidak ada kata manja dari raut wajahnya, pekerja keras dan gigih dalam meraih apa pun keinginannya. Tiba-tiba cewek itu berbalik badan, melambaikan tangan pun menggerakan bibir lamban.
Gabriel menganguk, paham apa yang Hana maksud; Rita ada di sini. Lekas dia mendekat. "Di mana?"

Meletakan telunjuk di bibir, Hana memberikan kode dengan jarinya. Dia memutar badan pun kembali berjalan, masuk ke toko aksesoris yang lumayan lengang.

"Ngapain ke sini?" Gabriel celingukan. Seluas mata memandang, tidak ada siluet Rita dan teman-temannya. Berbagai macam kalung mutiara imitasi menghiasi leher patung sebatas dada, dipajang di atas rak kaca bertingkat empat. Sementara untuk gelang dan cincin diletakan di kotak perhiasan di dalam lemari kaca penuh lampu, membuatnya nampak berkilauan menarik mata.

Berdecak pelan, Hana menarik ujung jaket denim Gabriel. Memintanya memerhatikan kaca lebar yang ternyata memantulkan toko sepatu di mana Rita berada. Perempuan itu sedang mencoba selop hitam berhak tinggi, di lengan kanannya sudah ada beberapa paper bag dari merk terkenal. Benar-benar pemborosan.
Gabriel menggelengkan kepala melihat itu, teringat dengan berita penggalangan dana untuk korban bencana. Rita hanya menyumbang sekian juta, terbilang sangat kecil jika dibandingkan dengan rekan sesama artis. Memang kegiatan amal tersebut dilakukan tanpa mematok atau memaksa, tetapi bukankah memalukan jika uang yang dipunya malah digunakan untuk foya-foya?

Begitu saja ide brilian terbesit. Cowok jangkung berwajah bule itu mengeluarkan gawai dari saku jeans putih, menggunakan kamera depan untuk memotret Rita di toko seberang. Dia akan meminta Hana mengirimnya lengkap dengan caption profokatif yang ada di kepala.

Sayang, ekspresi antusias Gabriel masih tak dimengerti Hana. Dia mengalihkan tatap dari kaca ke wajah cowok itu sambil melipat kening. Pikirannya dipenuhi tanda tanya pun praduga. Gabriel tak tertebak, dan seringnya berhasil membuat Hana menghela napas karena rencananya. Namun setelah kejadian di depan mini market malam itu, Hana tak lagi terlalu peduli dengan nasib Rita. Pikirnya, uang yang dimiliki perempuan cantik itu pasti bisa membantunya. Money is number one.

"Lihat Han." Gabriel sedikit merundukan badan, menunjukan hasil jepretan. "Cucok marucok nggak?" Di akhir kata dia menoleh ke arah Hana, membuat mata keduanya bersitobrok pada jarak sangat dekat selama beberapa saat. Embusan napas mereka saling beradu hangat, menyambar lembut pori-pori wajah yang mendadak meremang. Lalu dering gawai di tangan Gabriel mengembalikan waktu yang seolah terjeda, keriuhan sekitar kembali terdengar bising bersahutan.

Gabriel dan Hana mengerjap, sama-sama berdeham pun meluruskan pandang. Rita masih terlihat dari pantulan kaca.

"Celine," kata Gabriel. "Duh, si ember ngapain si telpon gue."

"Angkat aja. Siapa tahu penting."

"Ogah." Gabriel mendiamkan ponsel, memasukannya ke dalam saku. Tak lama setelahnya, gawai Hana yang menggantikan deringnya.

"Dia nelpon gue."

"Jang ...."

"Halo," sapa Hana, mengangkat telepon. Ucapan Gabriel yang belum lolos sepenuhnya langsung menguap terbawa langkah kaki pengunjung. "Ada apa, Cel?" lanjut Hana.

"Lo di mana, Han, kok berisik? Lagi sama Gabriel, ya?"

"A ...." Bingung harus menjawab apa, Hana menggantung ucapannya. Dia melirik ke arah Gabriel meminta bantuan.

"Gue kan udah bilang nggak usah diangkat," bisik Gabriel kesal.

"Ih, lo ...."

"Hana? Halooo, Hanaya Salsabila?"

"Em, anu." Hana menggaruk rambut. Pertanyaan simple Celine mendadak lebih memusingkan dari soal matematika. "Gue lagi di luar. Kenapa?"

Terdengar decakan dari seberang. "Gue udah ada di rumah Gabriel, tapi anaknya nggak ada. Buruan gih, lo ke sini. Hari ini jadwal kita belajar bareng."

Hana menjauhkan ponsel dari telinga sebelum meneruskan ucapan Celine pada Gabriel. Cowok itu kontan mengembuskan napas panjang, bergumam, "Cukupin aja hari ini. Kita balik sekarang."

***

"Han." Celine memecah hening di ruang tamu luas rumah Gabriel. Eksterior bangunan dua lantai berlangit-langit tinggi ini begitu mewah. Meski tak banyak barang diletakan, tetapi lampu kristal pun guci besar di dekat lemari kaca cukup menarik perhatian. Foto keluarga berukuran 20 R di tembok seberang menemani beberapa lukisan abstrak berharga jutaan. "Lo kok bisa sih, dapat nilai A di hampir semua ulangan matematika?" lanjutnya tanpa mengalihkan pandang dari buku cetak di atas meja. Cewek itu duduk bersila di karpet depan sofa kulit warna hitam.

"Ya bisa. Siapa pun juga bisa kalo beneran mau."

"Dih, enteng banget kalo ngomong." Celine mengangkat wajah. "Gue udah belajar sampe gadang aja nih ya, paling tinggi tuh C+."

Bergumam pelan, Hana meringis. Jujur saja dia tak nyaman terus berbohong pada Celine. Dua hari lalu kegiatan belajar bersama masih berjalan baik, tetapi hari ini buku yang sejak tadi dipegang bahkan tak ingin dia baca sama sekali. Fokus Hana sedang tertuju pada foto kiriman Gabriel. Entah bagaimana dia mengirimkan ke akun gosip jika HP-nya mati kehabisan batrai. Di sini tidak ada carger yang pas, powerbank miliknya pun tertinggal di kamar. Semoga Gabriel mau memberi waktu sampai besok. Jadi saat pulang pukul 08.00 malam nanti dirinya hanya perlu menemani Gio belajar, membereskan kekacauan rumah yang pasti terjadi, lalu tidur. Karena sungguh, membuat akun palsu dan menghapus jejaknya tak semudah yang dikira. Namun harapannya ambruk seketika. Gabriel tiba-tiba menjembul dari ujung tangga bersama laptop di tangan, memberi kode dengan ekor mata agar Hana sedikit menjauh dari Celine.
Menghela napas, Hana beringsut, menyandarkan punggung ke pinggiran sofa sambil bersila.

"Nih, lo pakai ini," kata Gabriel tersenyum penuh arti. Mengulurkan laptop yang langsung diraih oleh Hana. "Kerjain yang bener ya, Hanaya."

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang