part 21.

30 10 6
                                    

Dua hari ini Gabriel harus tahan dengan berbagai macam berita tentang papi dan Rita. Dia belum bisa kembali bergerak gara-gara Celine yang terus saja menempel seperti lintah. Ke mana pun Hana pergi, cewek bermulut ember itu ada di sampingnya. Gabriel sering diam-diam memerhatikan dari gedung kelasnya yang beseberangan dengan gedung kelas 12 IPA. Padahal dia ingin sekali mendiskusikan sesuatu pada Hana di taman samping sekolah. Waktu terus berjalan, tetapi rencana belum juga ada progres, malah bisa dibilang kalah telak dari sang papi. Pagi tadi Rita datang ke rumah untuk sarapan bersama. Lalu tak terduga, papinya membuka obrolan dengan topik pertunangan. Jelas, Gabriel menukikan alis, bahkan urung menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Maksud papi apa?" tanyanya, menajamkan intonasi suara. Dia menatap geram pun mengepalkan tangan di atas meja.

"Papi sama Rita akan mengadakan acara pertunangan satu bulan lagi, Gabriel." Tenang papinya berujar, masih tak mengalihkan pandang sambil memotong ayam di piringnya dengan santai. "Kamu harus dateng."

"Pi!" Mendesah frustrasi, Gabriel mengusak rambut kasar. "Sudah berapa kali aku bilang, aku nggak setuju sama hubungan papi."

"Papi nggak minta restu kamu, Gabriel." Anjas menatap lekat putra semata wayangnya. Manik legam yang dimiliki pria berusia 43 tahun ini menyorot dingin. "Yang papi mau, kamu datang ke acara itu."

"Nggak! Aku nggak akan datang. Titik."

"Gab ...."

"Sudah, nggak baik ribut di meja makan." Pelan Rita merai, memotong ucapan Anjas yang belum tuntas. Dia mengusap pundak pria itu lalu tersenyum ke arah Gabriel yang justru memasang raut jengkel. "Ayo, Gab, dilanjut sarapannya. Nanti kamu telat, lho."

"Nggak usah muna lo!" Sentak Gabriel, bangkit dari kursinya dengan kasar. Cowok jangkung itu menyeret tas sambil berlalu keluar. Pikirnya, cepat pergi ke sekolah akan membuatnya merasa lebih baik. Namun ternyata malah sebaliknya. Dia terus terbayang wajah gatel Rita hingga kehilangan fokus. Padahal demi Tuhan, Gabriel sudah harus mulai mempersiapkan beberapa hal menjelang ujian. Mami juga masih di Amerika, jarang bisa dihubungi untuk sekadar menyuarakan keresahannya. Mungkin tiga bulan lagi wanita itu baru akan kembali ke tanah air, itu pun hanya beberapa hari. Bisa dikatakan, Gabriel lah alasannya bersedia wira-wiri. Gabriel sadar hal tersebut, makanya dia kukuh menolak kuliah di Amerika.

Tak disangka Erwin menyadari kegelisahannya. Cowok berambut cepak itu mendekat ke besi teralis--tempat Gabriel menumpukan tangan sambil termenung--menyodorkan setu kaleng minuman soda dingin. Di bawah sana anak-anak paskibra sedang diberi arahan oleh pak Satya.

"Heran gue sama lo, Gab," kata Erwin, menarik atensi Gabriel. "Kalo nggak sibuk sendiri, pasti ngelamun di mari. Ada apa, si. Cerita sama Bambang, dong."

Cerita? Gabriel tersenyum miring, merebut kaleng soda lalu membukanya. Menciptakan bunyi khas sebelum ditenggak rakus. Andai bisa Gabriel pun ingin bercerita. Namun kehidupan kedua temannya itu terlalu sempurna untuk bisa paham bagaimana perasaan Gabriel. Keluarga mereka lengkap juga harmonis. Lagi pula dia tidak mau dianggap cengeng hanya karena mengeluhkan hal itu. Cowok identik dengan bebas dan liar, 'kan? Meski di hati yang paling dalam, Gabriel tak setuju anggapan tersebut. Semua orang terlahir dengan kodrat yang sama. Perkara bagaimana seseorang tumbuh menjadi baik atau buruk, tergantung dari lingkungan itu sendiri. Banyak anak di luar sana melakukan kriminal sebagai bentuk pemberontakan terhadap sikap orangtua yang toxic, otoriter, acuh tak acuh dan lain sebagainya. Gabriel muak, miris juga jengah menyadari dirinya ada di salah satu kategori tak beruntung itu. Namun dia tak mau menjadi rusak, justru ingin membantu mereka dengan memilih jurusan Kesejahteraan Sosial. Menghabiskan umur melakukan kajian pun mengembangkan metode dan pemikiran untuk meningkatkan kwalitas hidup masyarakat jelas lebih keren ketimbang menjadi sorotan seperti papi, atau menimbun uang seperti sang mami.

"Odi di mana?" tanya Gabriel setelah menandaskan isi kaleng. "Tumben nggak ngintil."

Erwin menghela napas. Gabriel tetaplah Gabriel, orang yang anti membagi masalahnya. Padahal selama ini, baik Erwin atau Odi, sering berkeluh kesah pada cowok itu.

"Lagi berak."

Mengangguk kecil, Gabriel kembali menatap ke depan. Suara ribut dari sekitar tak mampu membuyarkan pikirannya yang runyam. Erwin berdecap lidah pun mendengkus kecil. Jawaban barusan padahal cuma asal-asalan, bukan untuk dipercayai begitu saja. Setelahnya agak lama terjadi lengang. Penasaran, Erwin mengikuti arah mata sang teman, menyeringai sambil menggeleng pelan saat sadar siapa yang tengah diperhatikan.

"Lo lagi naksir anak IPA, ya?" selorohnya enteng. "Siapa tuh? Hana, atau Celine?"

Gabriel seketika mememutar kepala, menautkan kedua alis tak paham. "Ngomong apa si, lo?"

"Alah." Erwin merangkul Gabriel, menaik turunkan alis menggoda. "Nggak papa, Gab. Kalemin aja, lah. Lagian udah agak lama juga lo jadi kaum jones."

"Nggak usah ngaco!" Gabriel menyentak tangan Erwin, berbalik pergi sabil melempar kaleng kosong minumannya ke tong sampah di samping pintu kelas.

"Cie yang malu-malu dugong!"

***

Hana terkesiap saat suara gawai di saku roknya terdengar. Dia melipir dari korodor ke dalam kelas, duduk di bangkunya sambil menyilangkan satu kaki. Dibukanya notifikasi dari Gabriel.

Gabriel Prananta.
Besok kita mulai bergerak lagi.

Menukikan alis, Hana mengerjap. Ini entah Gabriel yang labil, atau memang ada sesuatu yang mendesak? Beberapa hari lalu cowok itu kukuh menyembunyikannya dari Celine, tetapi sekarang malah berubah haluan. Lekas Hana mengirim respon, menanyakan kejelasan. Dia sudah senang bisa berhenti sejenak dari tugas konyol mengikuti orang yang jelas-jelas menjadi sorotan.

Tak lama Gabriel kembali mengirim pesan.

Gabriel Prananta
Ada hal nggak terduga. Kita bergerak di belakang Celine. Pokoknya jangan sampe ember bocor itu tahu.

Anda
Nggak terduga gimana?

Gabriel Prananta
Nggak usah kepo. Lakuin aja tugas lo, Hana.

Hana menyemburkan napas, meletakan gawai tipisnya ke atas meja. Selain bossy, Gabriel juga sangat sulit diajak terbuka. Padahal jika sesuatu itu berhubungan dengan tugas ini, Hana wajib mengetahuinya agar bisa mengantisipasi. Kejadian Celine sudah membuatnya repot, jadi jangan sampai terulang kedua kali. Tiba-tiba HP-nya berbunyi lagi. Malas, Hana mengambilnya. Nama Gabriel Prananta berada diurutan pertama pada notifikasi.

Gabriel Prantanta.
Kita mulainya pagi-pagi. Cek google maps yang gue kirim. Kita ketemuan di lokasi.

Tepat saat Hana ingin mengetikan protesan sebab pagi hari dirinya harus mengurus rumah, Pak Broto dan teman-teman sekelasnya masuk. Mau tak mau Hana mengantongi ponsel, mengeluarkan buku dari laci meja. Tempat duduknya yang memang sendiri-sendiri membuat kapasitas kelas hanya diisi sepuluh siswa dan dua belas siswi. Barulah setelah lima menit pelajaran dimulai, salon kecil di pojok kelas berbunyi tanda jam istirahat usai. Suara riuh dari koridor perlahan sepi.

"Hanaya Salsabila!" Panggil pak Broto tiba-tiba. "Kamu maju."

Lalu semua atensi tertuju pada Hana dengan sorot tak terbaca.

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang