part 34.

28 5 0
                                    

Hana terlonjak saat dering ponsel di meja makan mengintrupsi. Dia segera membasuh tangannya yang penuh dengan busa cuci piring sebelum mengangkat panggilan dari nomor tak dikenal.

"Halo, selamat siang," sapa seseorang di seberang. Laki-laki bersuara berat dan sedikit serak.

"Siang."

"Bisa bicara sama Hanaya Salsabila?"

"Iya, saya sendiri. Ada apa ya, Pak?" Hana duduk di kursi, melipat satu tangan di atas meja. Menunggu orang itu kembali buka suara.

"Perkenalkan, saya Sutra Widjaya, pemilik mini market yang beberapa bulan lalu menerima surat lamaran kamu sebagai kasir."

Samar, Hana menautkan alis. Tak yakin mini market mana yang dimaksud. "Iya, Pak. Mini market apa ya, kalau boleh tahu."

"Mini market heaven. Maksud dan tujuan saya menghubungi Hana adalah untuk menawarkan pekerjaan seperti yang Hana tulis di surat lamaran. Karena kebetulan salah satu pegawai saya keluar, jadi saya butuh secepatnya. Nanti sore Hana bisa datang untuk interview?"

Hana tak langsung mengiyakan atau menolak. Maksudnya, lamaran itu sudah sangat lama. Jika pun pemilik berniat mempekerjakannya, kenapa baru hari ini dia memanggil Hana? Atau, apa hanya Hana yang melamar setelah pegawai yang keluar itu, hingga pilihan terakhir ketika posisi kasir kosong adalah dirinya? Hana tak ingin langsung senang lalu percaya. Meski apa yang ditawarkan orang di seberang adalah apa yang Hana butuhkan. Bisa jadi, ini salah satu trik penipuan.

Lalu seperti tahu isi kepala Hana, penelepon kembali bersuara, "kalau Hana tak percaya, saya bisa kirimkan alamat juga kartu nama saya lewat WA. Nanti Hana cek sendiri di google maps untuk memastikan lokasinya."

"Em ..." Hana menggigit bibir bawah. Masih ragu. Akan tetapi tak ada salahnya mencoba. Lagipula jika ada yang mencurigakan Hana bisa langsung memblokir nomornya. Hana juga bisa benar-benar mencari tahu dulu terkait mini market dan orang tersebut. "Baik, Pak. Tapi sebelumnya saya ingin bertanya sesuatu dulu pada bapak."

"Tentu. Silakan."

Dalam, Hana menarik napas. Dikeluarkan lewat mulut secara perlahan. "Bapak tak keberatan dengan pemberitaan di TV? Nama saya Hanaya Salsabila, orang yang menyebarkan cuitan profokatif di media sosial terkait aktris Rita Andriani."

Tak terduga, pak Sutra meresponnya dengan tawa. Beliau kemudian meminta maaf, berkata, "kamu anak yang jujur, Hana. Tak percuma saya menelpon kamu. Dan ya, saya sudah lihat berita, dan meras tak masalah. Asal kamu tak melakukan hal yang sama pada saya."

Seketika senyum Hana mengembang lebar. Menganggukkan kepala antusias. Keraguannya menguap terbawa suhu panas rumah. Setidaknya ada seseorang yang tak keberatan atas apa yang menimpanya. "Baik, Pak Sutra. Terima kasih banyak. Sore nanti, sekitar jam empat saya akan datang."

"Saya tunggu. Oh, ya, jangan lupa bawa CV, juga cek alamat yang saya kirim."

"Siap, Pak. Sekali lagi terima kasih."

"Ya sudah, saya tutup telponnya."

Begitu panggilan diakhiri, Hana menjerit girang. Dia bangkit, melompat kecil pun memeluk gawai. Lalu dering memecah euforia Hana. Dia mengangkatnya, masih dengan wajah bahagia.

"Iya, Sar. Apa? Udah di stasiun mau pulang? Sampai jam dua siang? Oke oke. Nanti kakak jemput."

•••

Hana mengedarkan mata, mencari adik-adiknya di antara puluhan orang menggendong ransel. Kereta jurusan Bogor ke Jakarta sudah datang lima menit lalu, tetapi Sarah juga Gio tak kunjung keluar dari dalam. Sarah yang tak memiliki hp menyulitkan Hana di situasi sulit seperti ini. Mereka berdua pulang tanpa ibu karena ibu sudah dibayar untuk mengurus salah satu keluarganya yang sakit selama satu minggu. Melainkan dititipkan bersama kenalan Ibu.

"Duh, ke mana si?" gumam Hana, bergerak maju. Belum sampai satu meter, suara Gio menghentikan kaki Hana. Dia menoleh ke kanan, bertepatan dengan Gio yang memeluk dari belakang. Spontan Hana memutar badan, tersenyum lega. "Ya Tuhan. Kalian ke mana aja? Ditungguin nggak nongol-nongol."

"Gio kebelet tadi," jawab Sarah.

Hana mengangguk, mengambil alih ransel hitam Gio sebelum mentunnya erat. Berjalan ke arah gerbang bersama Sarah yang mengikutinya.

"Mau pada beli bakso dulu buat makan siang, nggak?" tanya Hana, berhenti di pinggir jalan. Awas memerhatikan kendaraan lalu menyeberang.

"Emang Kak Hana ada uang?" Sarah menempatkan diri di samping Gio. Melirik Hana.

"Ada, kok. Ayo."

Tak ragu, Hana mendorong punggung adiknya masuk ke sebuah tenda penjual bakso. Duduk di salah satu meja panjang yang dilengkapi bangku kayu tanpa senderan. Berhadapan dengan dua pasutri yang tak lama setelahnya pergi. Pelayan perempuan datang menghampiri Hana sekaligus membereskan mangkuk. Bertanya ingin pesan apa.

"Gio, Sarah. Kalian mau bakso urat, telur, atau yang jumbo?"

"Em ... Aku urat aja."

"Gio juga."

Mengangguk, Hana menyampaikannya pada pelayan. Tak lupa menyamakan miliknya.

"Gimana di Bogor, seneng?" tanya Hana disela menunggu makanan.

"Seneng banget, Kak. Gio diajak jalan-jalan ke bukit sama Ewak."

"Oh, ya? Wah, sayang banget kakak nggak ikut." Hana pura-pura cemberut, beralih ke Sarah di samping kirinya. "Kalo Sarah, gimana?"

"Nggak gimana-gimana." Sarah mengedikkan bahu. Pandangannya jatuh di atas meja berlapis banner pilkada. "Aku di rumah saudara nemenin ibu."

"Emang orang yang Ibu urus itu sakit apa, si? Sampai anak-anaknya nggak mau ngurusin sendiri?"

"Struk total. Buang air besar sama pipisnya udah di kasur. Mana mau anak-anaknya bersihin."

Hana terdiam. Tak bisa membayangkan. Ibu pasti sangat terpaksa melakukan itu karena kebutuhan. Bapak masih belum kerja, dan dirinya pun sedang tidak memiliki pemasukan. Untung saja besok hari Hana sudah mulai bekerja hingga sedikit-sedikit bisa membantu keuangan seperti dulu.

"Kak," panggil Sarah, menarik pikiran Hana kembali ke raga.

"Iya, Sar."

"Maaf, ya, aku pernah benci sama kakak. Iri karena guru-guru di sekolahan yang suka muji kakak."

"Nggak perlu minta maaf. Kakak ngerti, kok."

"Aku sedih liat kakak diomongin banyak orang dan dikeluarin dari sekolah."

Tersenyum, Hana merangkul Sarah. Sarah mengalihkan mata ke wajah Hana. Berkaca-kaca. "Makasih udah mau ngambil peran berat di keluarga kita, Kak Hana. Aku janji, aku bakal belajar giat biar pinter dan dapat beasiswa buat lanjut SMA. Jadi, kak Hana nggak usah lagi kerja terlalu keras buat biayain aku."

"Kamu, Gio, adalah tanggung jawab kakak juga." Satu tangan Hana merengkuh pundak Gio. Dia yang berada di tengah kini semakin hangat oleh hawa tubuh adik-adiknya. "Nggak masalah kalo kakak harus kerja keras demi kalian berdua."

Tak lama kemudian pesanan datang. Dihidangkan di meja dalam keadaan panas. Asap yang mengepul tipis ikut serta menggiring aroma segar dari kuah bakso beningnya. Hana, Sarah juga Gio lantas menarik bagian masing-masing, ditambahi saus-kecap sesuai selera. Siang itu Hana mendapatkan lagi semangatnya. Dia bertekad untuk tak menyerah atas mimpinya, juga akan tak acuh terhadap pandangan semua orang, bahkan seluruh dunia sekali pun. Hidup harus terus berjalan. Berat atau ringan tantangan yang menghadang adalah bagian dari alur yang Tuhan ciptakan.

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang