Ibu pulang beberapa jam lalu. Namun bukan oleh-oleh yang dibawa, melainkan keributan karena uang dari hasil meminjam saudara hilang dari saku celananya. Wanita gemuk itu terus mengomel sambil mengacak-acak tas berisi baju ganti di karpet depan TV. Rambut tanggungnya tergerai berantakan, persis seperti wanita stres di pinggir jalan. Hana yang menyaksikan itu pun menggeleng pelan. Antara ingin tertawa, kesal juga sedih di satu waktu. Entah apa yang akan dikatakan pada penagih hutang nanti. Dua pria berbadan tinggi besar suruhan juragan jelas tidak mau tahu apa masalahnya. Mereka melaksanakan tugas, mengambil barang berharga sebagai jaminan. Yang berarti antara TV dan HP milik Hana. Padahal benda pipih itu dirinya dapat dari upah dua bulan bekerja di warung soto tiga tahun lalu. Namun tetap saja, tak ada yang peduli kecuali bapak. Bahkan ibu sempat meminta Hana untuk menjualnya lagi dulu. Katanya buang-buang uang, lebih baik digunakan untuk hal yang lebih penting. Hana lelah menjelaskan jika smartphone sangat diperlukan untuk menunjang belajarnya di SMA. Jadi dia memilih abai dan tetap mempertahankannya sampai hari ini. Atau mungkin tidak?
Hana menghela napas, beringsut dari bibir pintu kamar menuju dapur. Dia mengambil gelas lalu mengisinya dengan air meneral di dalam kulkas. Tiba-tiba dia berpikir untuk menenyerahkan saja lemari pendingin ini. Selain kosong, keberadaanya juga cukup memakan banyak ruang di dapurnya yang kecil. Namun bagaimana tanggapan terangga nanti? Pasti akan menjadi berita besar yang selalu dibicarakan saat membeli sayuran. Hana sebenarnya tak terlalu acuh, hanya saja Sarah dan Gio ... mendadak tenggorokannya lebih kering dari sebelumnya. Lekas dia menutup pintu kulkas, bersandar di pinggiran pantri sambil memegang gelas di tangan. Helaan napasnya dalam, diembuskan panjang melalui mulut. Dia tidak suka kedua adiknya dikasihani.
Dan seperti perkiraan, gedoran pintu depan terdengar menyusul teriakan. Ibu menyahut kesal, setelahnya suara bariton ikut terdengar. Ada percekcokan kecil.
Hana meletakan gelas ke meja, melipir keluar dapur. Di depan TV sudah ada Gio dan Sarah yang sedang memerhatikan.Palan, Hana memanggil mereka. Dua bocah itu menoleh secara bersamaan. "Masuk kamar, gih," katanya, tersenyum.
Lalu tanpa bicara sepatah kata Sarah menuruti petintah Hana pun mengajak Gio serta. Barulah setelahnya Hana ikut maju menghadapi dua pria itu.
"Tolong beri tambahan waktu, Bang." Hana berusaha setenang mungkin. "Kami baru aja kecopetan."
"Nggak bisa, Neng," kata salah satu pria. "Masalahnya minggu lalu juga udah begitu. Janji-janji doang Emaknya."
"Tapi gimana, uangnya emang bener-bener nggak ada."
"Ya, itu masalah kalian. Intinya mah, kita datang dan harus ada hasil buat dibawa pulang ke rumah juragan."
"Bang ...."
"Hana." Potong ibunya sambil menarik tangan Hana. Wanita itu memberi kode dengan matanya yang membola. "Permisi dulu," sambungnya pada kedua pria di ambang pintu. Tatapan dari orang-orang yang berlalu di depan gerbang membuat wanita itu malu. Jangan sampai karena sikap putri sulungnya ini keributan kembali terjadi.
"Apa si, Bu," kata Hana tak habis pikir. "Biarin aku ngomong sama mereka."
"Nggak ada gunanya! Emangnya apa yang bisa kamu lakuin, Hana?! Mohon-mohon sama dua laki-laki itu?"
"Tapi ...."
"Tabunganmu mana. Kalo kamu mau bantu ibu, bantu pake uang, bukan cuma omongan!" Lagi sang ibu menyela. Kali ini ucapan wanita berdaster hitam bunga-bunga itu berhasil membuat Hana diam seribu bahasa. Dia seolah kehilangan semua kosakata di dalam kepala, menyisakan pembenaran atas apa yang ibunya lontarkan. Namun meski demikian, dirinya masih merasa enggan untuk mengalah. Bagaimana pun Hana berhak mempertahankan keinginannya terlepas dari kondisi ini.
"Mana? Buruan!"
"Nggak," tukasnya, menarik napas sambil mengepalkan tangan di samping badan. "Aku nggak mau. Plis ibu ngerti."
"Apa!" Menukikan alis, ibunya menggelengkan kepala. Menelisik Hana dari kaki sampai ujung kepala. "Kamu nggak tahu terima kasih banget jadi anak. Udah besar bukannya bantu orangtua malah egois kaya gini. Kamu pernah mikir nggak si, seberapa capeknya ibu sama bapak ngebesarin kamu, hah? Banting tulang buat anak, tapi giliran butuh kaya gini nggak bisa diandelin sama sekali!"
"Kok Ibu ngomongnya gitu, si? Waktu itu uang buat bayar buku Sarah dari aku, Bu."
"Terus kenapa? Mau diungkit? Biaya hidup kamu bagaimana? Lagian, buat apa selama ini kamu kerja kalo nggak bisa ...."
"Oke, fine!" Hana berteriak frustrasi. Dia mengentak masuk ke kamar, mengambil celengan di bawah dipan lalu mengeluarkan lima lembar ratusan ribu sebelum kembali menghampiri ibu. "Nih! Lima ratus ribu."
Setelahnya wanita itu berlalu, tak mengatakan apa pun pada Hana. Hana membuang napas dalam, menggaruk belakang kepalanya kasar sambil menggeram kesal pun masuk ke kamar. Dia merosot di belakang pintu, meluruskan kaki dan mendongakan wajah. Matanya terpejam, cairan yang sejak tadi tak diperlihatkan mulai meluruh perlahan menyusuri pelipis sampai telinga. Hana tidak ingin menangis, sungguh. Namun sesuatu seperti sedang menghimpit dadanya, menyumbat pernapasan hingga terasa sesak. Banyak kalimat yang ingin meledak dari sana, menyemburkan keras-keras hal yang selama ini sudah Hana redam. Namun semuanya seolah hanya bergulung di tenggorokan. Selalu seperti ini. Setiap kali sedang susah, ibunya akan memojokan Hana, melimpahkan resiko atas apa yang tidak dia ketahui.
"Ibu nggak ada biaya, dan aku nggak sepinter Kakak yang bisa dapet beasiswa! Aku pusing denger Ibu ngeluh terus. Aku bingung karena nggak bisa bantu apa-apa selain jadi beban!"
"Aku takut sama orang yang suka marah-marah nagih hutang! Kakak nggak pernah ada saat mereka datang gedor-gedor pintu!"
"Gue juga nggak tahu harus apa, Sar." Hana menundukan wajah, membenamkannya di atas dengkul.
***
"Halo," kata Hana pelan. Dia menunduk, menumpukan dagu di atas dengkul. Duduk sendirian di undakan teras rumah meski panas menyambar kepala pun pundak. Satu tangannya meraih ranting yang tergeletak, menggambar abstrak di permukaan tanah kering hingga menimbulkan habu.
"Kamu lagi ngapain, Han?" Seseorang dari seberang menyahut berat. Susahnya sinyal membuat sambungan telepon sering tiba-tiba senyap.
"Lagi duduk, Pak. Bapak udah makan siang?"
"Sudah. Kamu?"
"Em."
"Adek-adek gimana? Pada sehat?"
Menarik napas dalam, Hana mengembuskannya perlahan. Tak ingin bapaknya menyadari kegubdahan yang tengah dia rasakan. Lalu dengan gumaman Hana merespon pertanyaan. Dia diam sejenak, begitu pun sang bapak.
"Bapak ...." Hana membasahi bibir. "Udah dapet kerjaan belum?"
Bapak tak langsung menjawab. Keheningan yang mendeja membuat Hana menghentikan gerak tangannya. Cewek berkaos hitam itu berdiri, beringsut ke bangku kayu yang terlindungi atap. Tatapannya lurus mengarah keluar gerbang, menembus kelengan jalanan kompleks. Barulah beberapa detik selanjutnya sang bapak kembali bersuara.
"Belum, Han." Kekehan terdengar hambar. "Mungkin besok sudah ada."
Yang berarti hari ini, kemarin dan kemarinnya lagi, bapak bertahan dengan harapan semu di kota orang. Bisa jadi "jawaban sudah makannya" adalah dusta belaka, atau mungkin memang benar tetapi hasil dari belas kasihan warga. Bapak tak memiliki teman sedaerah saat berangkat ke sana, bisa dikata beliau nekat menyeberang karena terhimpit keadaan. Membayangkan bagaimana kondisi bapaknya membuat Hana tak bisa berkata-kata. Dia memilih menyudahi panggilan dengan tenang, setelahnya menutup wajah menggunakan satu tangan pun menundukan wajah. Rambut pedeknya yang digerai jatuh ke depan, terayun kecil saat embusan angin hangat menyapa sekitar.
Tbc ...