part 3.

81 23 15
                                    

"Ibu sudah bilang, nggak perlu kuliah-kuliahan. Percuma. Perempuan itu kerjanya di dapur, ngelayanin suami sama anak!"

Terpantik emosi, Hana menarik paksa kaleng tabungan di tangan ibunya kemudian dipeluk erat. Dia menatap wanita berdaster hitam itu kesal. Tadi Hana memergoki sang ibu sedang mengacak-acak kamarnya dan mengambil kaleng pink bergembok tempat Hana menyimpan uang di bawah dipan. Lalu dengan enteng meninta kunci, mengatakan jika sedang butuh uang. Entah apa yang terjadi, tetapi jelas ini berhubungan dengan dua orang itu. Hana pernah dengar jika modal untuk usaha restoran kedua orangtuanya berasal dari seorang juragan minyak, berbunga sebesar 5% setiap kali telat membayar tagihan. Namun sekarang restoran yang dikelola gulung tikar, membuat sang bapak lantas terbang ke Kalimantan untuk bekerja di perkebunan sawit meski akhirnya di PHK. Hana tahu ekonomi keluarga sedang sangat sulit, tetapi uang kuliah bukan jalan satu-satunya. Lagi pula selama ini dia tidak pernah meminta uang lebih pada kedua orangtuanya, jadi rasanya sah-sah saja Hana menolak permintaan sang ibu untuk membuka tabungan.

"Aku nggak mau jadi kaya ibu! Aku pengen bisa sukses!" teriak Hana, mengundang perhatian dua adiknya yang langsung keluar dari kamar. Mereka saling lempar pandang, memerhatikan agak jauh di samping kanan Hana yang berdiri di depan pintu kamar.

"Sukses itu takdir, Hana. Mau kamu jadi anak durhaka?!"

"Kenapa harus aku!" Hana mengentakan kaki, perasaan jengkelnya membumbung sampai ubun-ubun. Andai bisa digambarkan, mungkin sudah ada asap pekat yang menguar. Ibunya keterluan, pak Broto menyebalkan dan pak Ginanjar mengesalkan. Hari ini benar-benar penuh sial.

"Kamu udah besar, Hana. Udah bisa nyari uang. Sekali-kali bantu orangtua, dong."

"Bukan sekali-kali. Tapi sering. Dan kenapa bukan ibu aja yang nyari kerja, si? Di toko atau apa gitu."

"Kamu nyuruh ibu?! Nggak liat Gio masih kecil." Ibunya berkacak pinggang, menggeleng kecil. "Mau kamu ngurus kedua adikmu?"

Mendesah frustrasi, Hana masuk ke kamar. Sedikit menabrak lengan kiri ibunya lalu menutup pintu. Dia mengempaskan badan ke atas kasur yang tak lagi berseprai. Kain merah itu sudah ada di lantai bersama dengan bantal dan buku-buku yang baru pagi tadi Hana bereskan ke kardus agar sedikit memberi lengang di ruangan sempit bercat abu-abu ini. Lemari baju kecil dan meja belajar bersisian, ranjang singgle bed menepi di pojok kamar.

Hana mengeluarkan debas, merasakan kaki serta pundaknya pegal bukan main. Dia merogoh saku celana jeansnya, mengeluarkan amplop gajian yang bahkan belum genap satu bulan. Kali ini Hana akan benar-benar kehilangan pemasukan utama, melamar di tempat lain pun susah karena statusnya yang sudah kelas tiga. Ya, memang seharusnya dia fokus saja belajar, tetapi keadaan tidak mengizinkan. Meski dibebaskan uang gedung, tetapi SPP bulanan sudah dibebankan pada Hana saat memasuki kelas tiga. Ibunya angkat tangan, bahkan cenderung tak acuh sebab selama ini dia hampir tak mengeluarkan uang untuk biaya SMA Hana. Mungkin jika pihak sekolah tahu tentang apa masalahnya, sudah pasti pencabutan beasiswa prestasinya akan diganti dengan memberi beasiswa untuk murid tidak mampu. Namun baru memikirkanya saja Hana sudah jengah. Bukan, bukan karena dia yang selama ini berlagak sok kaya, tetapi menegaskan kemiskinan di tengah lingkungan anak-anak berada itu benar-benar menyedihkan. Hana tak suka dikasihani.

"Hana, heh! Buka pintunya!" teriak ibunya sambil menggedor pintu kayu usang kamar Hana. "Hana!"

"Enggak mau, ibu!" Terduduk kesal, Hana meraih bantal di bawah menggunakan kaki untuk menutup telinga. Suara sang ibu masih terdengar.

"Ibu mau ngambil HP, Hana!!"

"Ih!" Hana melempar bantal ke pintu, bangkit sambil mengentak kemudian menyingkirkan barang di lantai menggunakan kaki. Ada beberapa pulpen yang menggelinding masuk ke kolong ranjang. Hana tak peduli, terus mengaisnya sampai HP jadul warna hitam terlihat di balik buku. Dia meraihnya, membuka pintu dan menyerahkan pada sang ibu. "Nih!"

Dengan kasar wanita gempal itu menariknya, bergumam, "Dasar anak tidak bisa diandalkan." Lalu masuk ke dapur.

Hana membuang napas dalam, berniat kembali mengurung diri di kamar sebelum fokusnya tertuju pada kedua adiknya yang duduk bersila di karpet depan TV. Dia bergerak ke sana, ikut duduk menselonjorkan kaki di samping mereka sambil bersandar di pinggiran sofa. Ujung kaki menyentuh kaki rak di mana TV diletakan.

"Sarah, kamu udah belajar?" tanya Hana. "Bentar lagi UTS, lho."

Gadis berambut panjang itu mengangguk tanpa mengalihkan pandang dari TV. Acara sinetron yang biasa ibunya tonton kini mendistraksi mereka hingga sering tidur larut. Hana beralih ke arah Gio, menggeleng kecil karena adik bungsunya nampak terkantuk-kantuk. Dia lantas bangkit, mengulurkan tangan pada bocah laki-laki kelas tiga SD itu. "Udah, ayok tidur," katanya. "Besok kan sekolah, nanti telat bangun."

Menguap lebar sampai menimbulkan suara, Gio mengangguk sambil mengucek sebelah mata. Caranya berdiri sudah sempoyongan, membuat Hana sigap meraih tubuh mungilnya lalu dituntun masuk kamar.

"Matiin lampunya jangan?" Hana mengusak rambut legam Gio, dibalas gumaman empunya yang langsung menyelusup di balik selimut. "Ya udah, Kakak tinggal keluar, ya?" Lanjut Hana.

"E'em. Jangan ditutup pintunya ya, Kak."

"Enggak." Hana mengutipi mobil mainan Gio di karpet depan ranjang, diletakan di atas nakas dan menutup gorden jendela kecil di pojok kamar sebelum keluar. Dia kembali ke karpet depan bersama Sarah, iklan yang mengisi layar cembung 24 inci itu tak diacuhkan oleh adik keduanya.

"Kakak kok tumben pulang cepet?" tanya Sarah, datar. Biasanya sang Kakak baru akan pulang dari tempat kerja pukul 11.00 malam, atau malah sampai dini hari. Makanya jarang sekali mereka bertiga berkumpul selain di pagi hari saat sarapan.

Menipiskan bibir, Hana berkedip dua kali. Rasanya tidak mungkin dia jujur jika baru saja dipecat.

"Warung lagi sepi," jawab Hana.

"Tumben."

"Iya." Hana berdeham, mengganti topik obrolan. "Ngomong-ngomong, gimana sekolah kamu? Belajar apa hari ini?"

Sarah mengacungkan remot untuk mengganti saluran, mengedikan bahu. Tidak ada hal menarik dari kehidupan SMP-nya, dia tidak sepintar Hana yang selalu dibanggakan guru. Sarah malu karena sering dibandingkan. "Biasa aja."

Hana menghela napas, sikap cuek dan tertutup Sarah kadang membuatnya bertanya-tanya, ada salah apa Hana pada sang adik. Memang hubungannya tidak semanis kakak-beradik lain, tetapi sebagai yang tertua, Hana ingin bisa diandalkan, setidaknya oleh adik-adiknya. Dulu, sebelum bapak merantau, beliau lah yang sering mengakrabkan mereka. Beliau juga sering menjemput Hana di tempat kerja saat harus lembur. Hana memang memutuskan untuk tidak membantu di restoran sang bapak, alasanya karena terlalu merasa segan jika harus menerima upah dari orangtuanya sendiri. Namun kebutuhan pun tidak bisa diabaikan dengan hanya berpangku tangan dan meminta, Hana cukup tahu diri karena petuah ibu yang hampir setiap hari. Mengingat itu Hana jadi kesal, sadar jika mungkin perkatan ibu ada benarnya. Dia sudah besar, sudah saatnya membantu orangtua. Jangan egois. Namun di sisi lain kuliah juga masih menempati urutan pertama keinginan terbesar Hana.

"Tadi ada dua laki-laki datang. Ngebentak-bentak Ibu karena belum bisa bayar hutang. Ibu janji bakal secepetnya ngasih, tapi sampai sekarang bapak belum dapat kerjaan di Kalimantan. Mau pulang juga nggak punya ongkos," kata Sarah tiba-tiba.

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang