"Diminum, Gab." Om Sutra kembali duduk di sofa seberang setelah meletakan gelas teh di meja. Menautkan jari besarnya di atas paha sambil memerhatikan Gabriel.
Gabriel berterima kasih, tak menggeser barang satu inci pun gelas di hadapan. Dia mengeluarkan gawai, mencari kontak Hana lalu didorong pelan menyusuri meja sampai ke ujung. Om Sutra meraihnya, menaikan kedua alis penuh tanya. "Itu nomor temen Gabriel. Gabriel mau Om Sutra nerima dia kerja di mini market milik Om."
"Tapi Om lagi nggak buka lowongan, Gab. Mana bisa Om tiba-tiba manggil temenmu buat kerja? Nanti malah Om dikira punya maksud lain."
"Dia nggak bakal ngeh. Udah banyak banget surat lamaran yang dia kirim, dan belum ada panggilan satu pun. Sekarang dia lagi butuh banget kerjaan."
Om Sutra nampak menimang. "Gimana ya, Gab. Bukan Om nggak mau bantu kamu, cuma ya, Om emang nggak butuh orang."
"Om, plis." Gabriel menautkan tangan di depan dada, memasang raut penuh permohonan. "Demi aku. Yah?"
Dalam, om Sutra mengembuskan napas. Pasrah dengan tingkah keponakannya yang tak terduga. Kendati jarang datang berkunjung, tetapi Gabriel tak pernah lupa menghubunginya sekadar bertukar kabar. Membuat om Sutra merasa masih dianggap seperti semestinya. Terlepas dari sang kakak---papi Gabriel---yang agaknya terlalu sibuk untuk melakukan hal serupa. Jadi tak heran jika rumah tangganya pun ikut kandas di tengah jalan karena kesibukan yang menyita seluruh waktunya.
"Emang sepenting itu anak ini buat kamu, Gab?"
Menurunkan tangan, Gabriel terdiam. Dia tak tahu posisi Hana di hatinya. Dikatakan penting, tidak juga. Namun dianggap sebatas teman satu sekolahan, Hana terlalu istimewa. Istimewa dalam artian sikap dan cerita hidupnya di SMA yang tak kalah drama. Gabriel ingat jika saat masa orientasi siswa dulu dirinya berbaris di sebelah Hana. Hana satu-satunya siswi dari SMP Negeri yang Gabriel tahu biasa saja. Berbeda dengan dia dan mayoritas calon murid baru yang rata-rata lulusan sekolah ternama. Lalu ketika semester pertama, nama Hanaya Salsabila muncul di urutan peringkat satu di kelas IPA, dan tiga paralel dari 70 siswa yang dibagi menjadi dua jurusan, dan enam ruangan. Mulai hari itu Gabriel mengenal Hana meski sang empu tak menyadarinya.
"Mungkin," jawab Gabriel, menerawang.
Om Sutra menahan tawa. "Pacar kamu, ya?"
"Hah?" Tersadar, Gabriel menggelengkan kepala. "Bukan-bukan."
"Iya, nggak pa-pa." Kemudian om Sutra menyalin nomor Hana ke ponselnya. Menyerahkan milik Gabriel sambil tersenyum. "Besok om hubungi dia buat interview. Dan lusa udah bisa langsung kerja."
"Beneran, Om?" Mata Gabriel berbinar. Membuat warna coklat madunya berkilau seperti air jernih.
"Iya."
"Asyik. Terima kasih ya, Om."
"Sama-sama. Ngomong-ngomong, Gab, apa kabar mami? Masih di luar?"
Gabriel mengangguk kecil. "Iya. Paling kalo papi nikah pulang ke Indo. Itu pun kalo bisa."
"Papi beneran mau nikah?" Alis tebal om Sutra bertaut rapat. Bisa dipastikan beliau belum melihat tv, atau belum papi kabari.
Mengembuskan napas, Gabriel menyandarkan punggung. Air wajahnya meredup. "Beneran."
Tak menyangka, om Sutra menggeleng tak habis pikir dengan sikap keras kepala sang kakak. Padahal sudah jelas jika Gabriel, putra satu-satunya tak pernah mau memiliki ibu baru. "Kamu nggak keberatan?"
Gabriel tersenyum. Tak menjawab. Diartikan oleh om Sutra sebagai keterpaksaan. Entah apa lagi yang kakaknya lakukan untuk mendapat persetujuan Gabriel. Anak itu benar-benar malang. Sejak kecil hidupnya sudah menjadi sorotan, dan begitu tumbuh remaja, dia kehilangan keutuhan keluarga.
•••
Gabriel mengembuskan napas jengah. Menatap pantulan wajahnya dari cermin persegi panjang yang dikelilingi lampu. Dia sedang ada di ruang make up, menjadi kanvas polos untuk perias perempuan yang sekarang masih sibuk mencoba krim di punggung tangan.
"Kayaknya ini cocok." Perempuan itu tersenyum ke arah Gabriel, menyapukan lembut cairan bewarna terang ke pipi, dahi dan dagu. Diratakan menggunakan spons pelan-pelan. "Tenang saja, saya nggak akan bikin kamu kaya cewek, kok. Ini cuma biar mukamu keliatan lebih segar di kamera."
Gabriel mendengkus kecil. Apa pun alasannya, dia tetap tidak suka. Dan semakin tidak suka ketika Rita datang lalu bersandar pinggang ke meja di dekat Gabriel. Tersenyum penuh kemenangan karena sekali lagi berhasil membuat Gabriel tak berkutik.
"Tambah ganteng kamu, Gab."
Melirik tajam, Gabriel tersenyum culas. Kebenciannya terhadap Rita sudah sampai di batas kewarasan. Perempuan itu benar-benar penyihir. Caranya membujuk papi agar Gabriel ikut dipemotretan gila ini sangat luar biasa. Tak heran dalam waktu yang terbilang singkat dia bisa melejitkan nama di kanca hiburan Indonesia. The real of drama queen.
Penata rias menjauh dari Gabriel, memerhatikan hasil akhirnya dari jauh. Dia mengangguk puas, melepas jepit yang sejak tadi menahan poni Gabriel ke belakang. "Sudah," katanya, tersenyum.
Gabriel bangkit dari kursi, langsung melengos pergi tanpa peduli keberadaan Rita yang mungkin sengaja menunggu. Perempuan itu sudah mengenakan gaun merah menyala, pun full make up sejak Gabriel datang. Sementara papi masih harus mencoba beberapa jas tadi.
"Pi, harus banget aku ikut?" tanya Gabriel untuk ke sekian kali. Hasil negosiasi kemarin malam menemukan titik akhir yang sejujurnya Gabriel benci. Namun demi Hana, dia berusaha menerima. Termasuk berpura-pura tersenyum di foto yang nanti akan diserahkan ke media. Karena kata papi, satu-satunya cara menghentikan gosip tentang Hana adalah membuat gosip baru yang lebih fenomenal. Yaitu mempercepat tanggal pernikahan mereka, pun menegaskan pada media jika Gabriel sangat mendukung hubungannya.
"Ya, tentu. Bukannya ini yang kamu mau? Menyelamatkan nama temenmu itu," jawab papi sambil mengenakan dasi di depan cermin tinggi. Setelan jas warna hitamnya senada dengan yang Gabriel pakai.
"Bener, Gabriel." Rita menyambung dari belakang, berdiri di antara papi dan Gabriel sebelum melanjutkan, "dunia intertaiment itu keras akan persaingan. Begitu ada yang baru, yang lama akan langsung dilupakan. Begitu pula sama berita-beritanya."
"Tapi Papi jadi ngundang Mami, kan?" Gabriel sengaja menagih janji papi di depan Rita, dan mengabaikan ucapan perempuan itu. Gabriel tahu Rita sering cemburu pada mami yang jelas jauh lebih cantik. Bahkan banyak yang mengatakan jika mami mirip salah aktris Hollywood, Natalie Portman.
"Jadi. Nanti Papi telpon Mami kamu."
"Jangan nanti. Sekarang aja."
"Mami lagi kerja, Gabriel."
Gabriel menahan senyum saat sadar raut kesal Rita. Fakta bahwa papi masih mengingat jadwal mami, pun menyimpan nomornya sukses membakar hati Rita.
"Emang selesainya kapan?" Pancing Gabriel lebih jauh lagi. Biarkan Rita tahu diri jika kehadirannya tak bisa mengganti mami. "Padahal Gabriel kangen."
"Biasanya jam lima sore waktu London. Jadi sekitar jam sebelas malam di Indonesia."
"Oh, Papi masih suka kabar-kabaran sama Mami, ya?"
Tepat setelahnya Rita menyentak pergi. Papi memutar badan, menatap Gabriel seolah berkata, "are you kidding, Gabriel?"
"Kenapa?" tanya Gabriel tak acuh. "Nggak salah dong kalo aku pengen tahu hubungan kedua orangtuaku."
"Tapi ada Rita, Gabriel. Bagaimana perasaan dia dengerin ocehan kamu itu?"
"Bukan urusan Gabriel." Gabriel mengedikkan bahu. "Resiko menikahi duda yang anaknya udah gede ya harus siap sama hal-hal kayak tadi. Toh, Gabriel udah setuju juga nurutin keinginan Rita."
Papi mengeluarkan debas, menyusul Rita keluar studio foto. Gabriel memutar badan memerhatikan punggung papi, mengepalkan tangan kuat. Meski senang karena berhasil mengerjai Rita, tetapi kenyataan jika mami-papi tak mungkin rujuk mencabik hatinya.
Bener-bener udah selesai.
Tbc ...