Rutinitas sarapan pagi kali ini Gabriel ditemani sang papi. Duduk saling berhadapan tanpa obrolan sambil menikmati hidangan di atas meja. Dentingan sendok dan garpuh di piring mengisi lengang, berlomba dengan detik jarum jam di tembok samping kanan. Dulu mami yang suka memancing obrolan saat sarapan atau makan malam. Menanyakan apa-apa saja pelajaran yang Gabriel dapat di sekolahan. Lalu Gabriel menjawabnya panjang lebar, membuat sang papi kerap kali menegurnya agar cepat menghabiskan makanan. Meski terbilang jarang dan singkat, tetapi moment itu selalu membuat candu. Bahkan sampai detik ini, detik di mana Gabriel tahu jika mungkin akan sulit untuk kedua orangtuanya kembali bersatu.
Tak bisa dipungkiri sesal kerap kali bertamu saat mengenang masa-masa itu, menimbulkan banyak pertanyaan tentang kapan dimulainya keretakan hubungan tak kasat mata mereka. Seingat Gabriel, pertengkaran atau percekokan kecil tak pernah terjadi. Atau mungkin hanya dirinya saja yang tidak tahu? Papi dan maminya lebih banyak menghabiskan waktu di luar, pulang pada malam hari di saat Gabriel tidur. Komunikasi yang dilakukan lewat gawai pun terbilang agak jarang. Hanya kadang kali video call bisa dilakukan secara bersama-sama di satu waktu. Walau demikian, Gabriel benar-benar merindukan formasi lengkap keluarganya.
Lalu tiba-tiba sang papi buka suara, "kamu kenal siswi yang namanya Hanaya Salsabila?"
Yang kontan membuat Gabriel tersedak nasi di mulutnya. Buru-buru cowok itu meraih gelas minuman, ditenggak rakus sampai tandas. Perasaanya langsung was-was, khawatir jika apa yang terlintas di kepalanya menjadi kenyataan.
"Emang kenapa, Pi?"
"Subuh tadi Rita bilang, kalau pelaku penyebar gosip sudah ketemu. Siswi SMA Nusa, Hanaya Salsabila," jawabnya tenang sembari memotong ayam. "Papi harap kamu bisa selektif milih teman. Hindari yang berpotensi merugikan seperti si Hana ini."
"Papi yakin Rita nggak salah orang?" Gabriel berusaha tenang meski hatinya sudah runyam tak karuan. Dia ingin terus menyangkal apa pun yang dipaparkan. "Bisa aja, 'kan? Maksudnya, nggak cuma satu dua orang aja yang nggak suka sama Rita. Ada banyak. Mereka setiap hari nyari-nyari kesalahannya buat dibikin cerita."
Papinya meletakan sendok ke samping piring, menatap Gabriel dengan sorot matanya yang selalu tak terbaca. "Rita nggak mungkin gegabah untuk masalah ini, Gab. Semalam dia datang langsung ke rumah Hana, dan memang benar dia pelakunya."
Seketika bahu Gabriel menegang, bangkit dari kursi dengan kasar lalu berjalan keluar. Dia tak memikirkan reaksi papi karena sikakapnya ini. Sekarang fokusnya tertuju penuh pada Hana. Gabriel merogoh saku celana, meraih gawai untuk menghubungi cewek itu. Nomornya tidak aktif.
"Astaga Hana," decak Gabriel sambil mengusak rambut frustrasi. "Kenapa lo matiin si."
Lekas dia menyambar helm, melesatkan motor dengan kecepatan tinggi keluar gerbang--membuat satpam rumah mengernyitkan alis--melewati jalan komplek yang lengang sebelum membaur bersama ratusan kendaraan di lintasan besar.
Beberapa menit kemudian dia sudah sampai di depan parkiran. Langsung melangkah lebar menembus halaman dan naik ke lantai dua gedung 12 IPA. Matanya menyorot ke depan, tak mengindahkan tatapan dari beberapa siswi di sekitar. Dia berbelok masuk ke kelas Hana, bergeming di ambang pintu sambil menyapu keseluruhan. Tas cewek itu tak telihat di semua meja, padahal 15 menit lagi bel masuk berbunyi. Dia putuskan untuk masuk pun bertanya pada tiga cewek yang sedang berdandan.
"Kalian liat Hana?"
Serempak mereka mengalingkan pandang dari kaca di tangan.
"Nggak," jawab salah satunya.
"Kayaknya nggak berangkat deh." Yang lain menyambung. "Biasanya jam segini Hana udah duduk manis di bangku sambil baca buku." Di akhir kata, cewek berambut keriting itu mengedikan dagu ke bangku paling depan di barisan bagian kiri.
Mengangguk pelan, Gabriel kembali keluar. Dia yakin jika apa pun yang terjadi semalam pasti cukup membuat Hana ketakutan. Namun bagaimana perempuan gatel itu bisa tahu masih menjadi teka-teki. Mungkinkah antek-anteknya berhasil menemukan jejak Hana, atau ... Gabriel terperanjat. Menggeram kesal pun mengusak rambut sambil menuruni anak tangga.
"Bodoh bodoh bodoh. Bisa-bisanya lo seceroboh ini, Gab!" gumamnya, memaki diri sendiri. "
Gabriel ingat pernah meninggalkan tas berisi laptop yang pernah Hana gunakan di mobil Rita, dan kedatangan perempuan itu beberapa hari lalu menjadi masuk akal sekarang. Saat itu, lebih tepatnya di sore hari, Gabriel sedang asyik bermain game di kamar. Berteriak mengumpati karakter yang dikendalikan sampai salah satu ART mengetuk pintu. Berujar jika ada seseorang yang menunggunya di bawah. Penasaran, Gabriel pun beranjak. Turun dengan dahi belipat sebelum mendengkus keras-keras di ujung anak tangga. Trik bagus, pikirnya. Karena jika tadi nama Rita disebutkan sebagai seseorang yang dimaksud, Gabriel jelas akan mengabaikannya. Apa lagi sekarang sang papi sedang tidak di rumah. Jadi, bebas saja Gabriel besikap seenaknya. Hah, entah ada urusan apa Mak Lampir Kelebihan boraks ini datang, gumamnya sebal.
"Mau apa?" tanya Gabriel ketus, duduk di bantalan tangan sofa seberang sambil bersedekap. "Nggak usah banyak mukodimah, langsung aja."
Rita berdecap lidah, tersenyum miring menatap bocah SMA di depannya. Kadang membuat Gabriel kesal terasa menyenangkan. Melihatnya berulah seperti sekarang cukup membuat Rita terhibur di tengah kesibukan pekerjaan.
"Apa rambutmu harus seberantakan itu, Gab?" Menggeleng kecil, Rita melipat kaki. Bersikap sangat santai meski sadar raut Gabriel semakin masam. Mungkin kalimat menyebalkan sebentar lagi menyembur dari bibirnya. Jika diperhatikan, bocah itu memang lebih banyak menuruni gen dari sang mami.
"Apa hak lo ngomentari penampilan gue, hah!" Gabriel mengangkat dagu. "Lo bukan dan nggak bakal pernah jadi siapa-siapa gue, ngerti?!"
"Yakin kamu?" Rita bangkit, menarik tas punggung yang sejak tadi tergeletak di bawah meja kaca tinggi. Diangsurkan ke arah Gabriel. "Hati-hati, nanti malu lho, kalau harus njilat ludah sendiri."
"Nggak akan!" Kasar Gabriel meraihnya. Melayangkan tatapan muak lalu berbalik badan. Dia naik lagi ke lantai dua, berniat melanjutkan permainannya yang tertunda. Dia tak mau lagi terpengaruh dengan ucapan Rita. Apa-apaan perempuan itu, PD sekali beranggapan jika Gabriel akan menjilat ludahnya sendiri.
Gabriel menggerutu, membuka pintu kamar lalu melemparkan tas di tangan ke atas dipan. Kembali cowok berkaos oblong hitam itu bersila di depan TV, menekan tombol play pada stik game yang tadi tergolek di karpet bulu warna coklat yang diduduki. Setelah itu Gabriel benar-benar tak menyadari apa pun hingga pagi ini.
"Ah! Sial!" Lagi, cowok itu menggeram. Menarik atensi Erwin dan Odi yang berada di ambang pintu kelas.
"Kenapa lo?" tanya Erwin.
Gabriel tak acuh, melewati dua temannya begitu saja. Dia mengempaskan diri ke kursi, menarik kasar sang gawai dari saku. Tas di punggungnya masih enggan untuk diletakan.
Anda
Hana, apa yang terjadi? Rita nggak macem-macem, 'kan?Masih centang satu.
Tbc ...