part 7.

41 15 1
                                    

Anjas Prananta, aktor berusia 43 tahun yang kini makin lengket bersama pasangannya, Rita Andriani. Dua sejoli itu kerap kali menghabiskan waktu bersama, bahkan tak jarang mereka saling menyambangi lokasi syuting masing-masing sebagai bentuk dukungan. Banyak fans yang mengharapkan keduanya lekas menikah, paras menawan Rita dan Anjas membuat warganet beramai-ramai memprediksikan anak mereka kelak. Namun tak sedikit pula yang menjudge hubungan keduanya, menganggap hanya setingan mengingat Rita yang belum lama terjun ke dunia hiburan.

"Anak your head!" Dengkus Gabriel, mengempaskan bokong secara kasar di atas kasur busa berseprai biru muda, memantul kecil hingga kedua kakinya yang menggantung ikut terayun. "Gue nggak sudi Mak Lampir kelebihan boraks itu nikah sama Papi."

Lalu jempol kekar cowok itu kembali menggulir layar, mengumpat lirih saat mendapati foto mesra papinya dan Rita terpampang di hampir semua akun gosip yang dia kunjungungi. Gabriel bergeser ke laman lain, mencari apa-apa saja mengenai Rita Andriani. Kasar, dia menekan salah satu artikel.

Rita Andriani, perempuan berdarah Jakarta-Bali yang terkenal lewat perannya di salah satu film pemenang penghargaan bergengsi. Akting natural dan paras cantik membuatnya cepat menarik perhatian pemirsa ...

"Cantik dari Jonggol!" sembur Gabriel gondok. Dia melanjutkan bacaan.

Tepat satu tahun lalu, Rita mengumumkan hubungannya dengan aktor Anjas yang notabennya 18 tahun lebih tua. Dalam wawancara di salah satu acara talk show, perempuan berusia 25 tahun itu menerangkan jika dirinya sudah mengagumi sosok Anjas Prananta saat masih duduk di bangku SMA.

"Cinta enggak kenal usia," jelasnya waktu itu. "Lebih dewasa malah bagus, bisa ngemong kita yang lebih muda."

"Dikira Papi gue baby siter, apah?!" Lagi, Gabriel memaki. Kendati kesal setengah mati, tetapi cowok itu enggan berhenti.

Saat ditanya apa pendapat orangtuanya, Rita dengan tegas menjawab jika mereka sangat setuju terhadap hubungannya. Dia juga menambahkan jika status duda beranak satu yang disandang sang kekasih tak dipermasalahkan keluarga besarnya.

"Aku sama Gabriel deket. Kita sering ngobrol bareng kalo lagi sama-sama senggang. Kayak temen, si."

"Wah! Sekate-kate ni demit."
Tersenyum miring, Gabriel menggeleng tak habis pikir. Dia meng-scrol layar ke bawah.

Rita Andriani berhasil memenangkan penghargaan "Artis pendatang baru terfavorit" tiga tahun silam. Kini wajahnya sering wira-wiri mengiasi layar televisi dengan pesonanya yang semakin menawan.

"Astaga!" Gabriel mengusak rambut gemas, membuang gawainya ke bantal. Dia menyemburkan napas kasar lalu merebahkan badan. Manik coklatnya menatap plafon, satu tangan naik ke atas dahi guna menghalau silau cahaya neon di atasnya. Suara derum kendaraan dari jalan kompleks berdengung pelan, hampir tak terdengar saat bi Eci-ART di rumah ini-berteriak pada seseorang di lantai bawah. Yah, wanita itu satu-satunya nyawa di rumah ini. Tingkahnya yang konyol dan ceriwis sering mengisi sunyi. Meski pun jujur, Gabriel tetap merasa kesepian. Karena baginya, Mami adalah kebahagian tanpa alasan. Dan semenjak kamar sebelah dingin seperti tak berpenghuni-sebab papi jarang pulang-lima wanita paruh baya yang bertugas mengurus rumah dan dirinya masih belum bisa mengganti kehampaan yang ada.

Gabriel menyemburkan napas dari mulut keras-keras, menggeragapi bantal meraih benda pipih ber-case hitam itu yang kemudian diangkat di depan wajah. Dia membukan room chat dengan mami, mengetik sebuah pesan walaupun jelas terpampang kapan terakhir kali nomor tersebut online. Tujuh jam lalu.

Anda
Mi, masih sibuk, ya?

Tangannya pun diturunkan diiringi debas panjang. Gabriel berbantalan lengan, masih di posisi awal.

"Gimana caranya gue ngebujuk Hana. Cewek itu satu-satunya orang yang bisa bantu gue," gumam Gabriel, menerawang.

Bukan tanpa alasan Gabriel mengincar Hana. Cewek berambut sebahu itu sudah terlanjur memergokinya mengikuti Rita dan itu adalah sebuah aib. Orang-orang di sekolahan tidak ada yang tahu keadaan sebenenarnya, mereka hanya menganggap orangtua Gabriel pisah lalu semuanya baik-baik saja seperti kabar di media. Namun Hana berbeda. Jadi untuk menutup mulutnya, Gabriel harus melibatkan dia.

***

Desisan minyak panas menumis bumbu terdengar mengisi dapur mini lengkap dengan meja bar. Aromanya menguar, tersedot ke lubang sirkulasi yang ada di atas kompor listrik isi dua. Wanita berdaster kuning itu besenandung selagi sang tangan lihai mengaduk nasi goreng udang di dalam wajan, menambahkan kecap dan beberapa bumbu penyedap sebelum diaduk ulang lalu mematikan bara. Tepat saat itulah Gabriel datang, mendaratkan bokong ke salah satu kursi tinggi di depan meja bar. Hidung mancungnya menghindu dalam, mengeluarkan debas lewat mulut sambil bergumam senang.

"Pagi, Mas," sapa bi Eci, meletakan piring keramik putih berukuran lebar di depan anak sang majikan. Sendok menyusul di samping lengkap bersama gelas tinggi berisi air putih.

"Pagi, Bi." Gabriel menurunkan tas hitam di pundak kiri, diletakan di bawah kaki. "Semalem Papi nggak pulang lagi?" tanyanya.

Bi Eci mengangguk. "Nginep di apartemen, Mas. Hari ini mulai pembacaan naskah untuk film baru katanya."

Menghela napas, Gabriel mengangguk paham. Meski sudah terbiasa sarapan juga makan malam seorang diri, tetap saja harapan bisa berkumpul bersama tak pernah padam. Gabriel tahu itu agak sedikit kekanakan, tetapi dia percaya jika semua anak di muka bumi ini pasti merasakan hal serupa. Tak peduli sedewasa apa pun, berada di tengah keluarga yang harmonis adalah kebahagiaan setiap orang. Termasuk dirinya. Sampai sekarang dia belum tahu alasan papi dan maminya memutuskan berpisah. Setahu Gabriel, kedua orangtuanya saling mencintai meski jarang berpergian bersama karena kesibukan masing-masing. Namun tiba-tiba saja kabar perceraian mereka terdengar hampir di semua media. Yah, Gabriel bahkan tak diberi tahu secara langsung. Jadi sekarang, cowok berparas kebulean itu pikir jika problem sebenarnya hanyalah komunikasi yang kurang. Mami dan papinya butuh waktu bersama, mengenang kembali masa-masa indah yang pasti pernah bersemi di hati mereka.

"Mas?" panggil bi Eci, membuyarkan lamunan Gabriel. Wanita 50 tahun itu sedang mengelap pinggiran kompor. "Motornya Mas Erwin sudah diambil."

"Eh?" Gabriel mengerutkan dahi, seingatnya motor sport hitam itu semalam diparkirkan di halaman depan. "Sama siapa, Bi?"

"Mas Erwin-nya sendiri. Subuh tadi dia ke sini."

"Astaga!" Desah Gabriel, merogoh saku celana navi yang dikenakan. "Bener-bener tu bocah. Padahal gue bilang mau dipakai sampe ini malam."

Dia memanggil kontak Erwin, suara tersambung membuatnya lekas meletakan gawai ke telinga kanan.

"Halo!" teriak sang teman, diiringi gemerusuk angin dan derum kendaraan.

"Heh! Lo pelit banget si jadi temen!" sembur Gabriel. "Barang bensin satu liter aja diperhitungin."

"Bukan gitu, Gabriel. Gue lagi punya urusan sendiri. Lagian tuh motor lo buat apaan kalau nggak dipakai, Bambang!"

"Ya ...." Gabriel berdecak. "Harusnya lo yang pake motor gue. Tukeran!"

"Aduh! Udah ah, Gab. Gue telat. Wassalam!"

"Woy, Win!" Saat Gabriel berteriak, panggilan sudah diputuskan. Cowok itu mendengkus, meletakkan HP tipisnya di atas meja dengan kasar. Lalu sebuah notifikasi masuk, mengurungkan niatnya yang hendak menyantap sarapan. Mau tak mau sendok kembali dilepaskan. Dia menekan icon di bilah notifikasi.
"Hanaya?" katanya, mengangkat alis.

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang