Tidak menangis nyatanya sulit untuk Hana lakukan. Setelah seharian luntang-lantung di jalan sambil memeluk amplop lamaran kerja, Hana runtuh begitu menginjakan kaki di ubin rumah. Rasa lelah, malu juga marah pada keadaan menguasai Hana sepenuhnya.
Dia menarik ikat rambut, melemparkan tas lalu tengkurap di kasur hanya untuk meredam teriakan frustrasinya. Perkataan salah satu pemilik tempat di mana Hana mengajukan lamaran berdengung bagai kawanan lebah gila. Dan seharusnya Hana memang sudah menduga jika hal semacam itu akan terjadi dalam waktu dekat ini. Akun-akun gosip sudah memuat namanya dengan kalimat: Hanaya Salsabila, siswi melarat yang menyebarkan isu di internet mengenai aktris Rita Andriani, dan dikeluarkan dari sekolahan. Membuat langkah Hana sepenuhnya berhenti. Ya, menang siapa yang mau mempekerjakan pegawai yang sedang hangat dibicarakan karena hal negatif? Atau sekolahan—yang mungkin akan Hana datangi tahun depan—mau nama baiknya tercoreng dengan menerima siswi bermasalah meski memiliki nilai tinggi?
Rasa-rasanya, Hana ingin menghilang saja alih-alih memukuli tempat di samping kepala guna menyalurkan amarah yang tak bisa leluasa dikeluarkan sebab takut didengar para tetangga. Ingin menangis sekencang mungkin sampai suaranya habis tak tersisa. Kemudian tertidur kelelahan dan terbangun setelah semua kesulitan hidupnya mereda.
“Kenapa harus gue, Tuhan. Kenapa selalu gue?”
Sahutan dari ucapan putus asa Hana hanya ruang hampa. Pergerakan jarum jam butut yang meninggalkan angka terdengar meledeknya. Seolah menyuruh Hana agar sadar diri dan tak usah memaksakan jalan hidup yang mungkin akan berakhir sama dengan teman-temannya. Putus sekolah, menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga. Tak usah bercita-cita kuliah, gunakan saja uang tabungan untuk membantu bapak. Namun apakah bisa? Melepas sesuatu yang sangat diinginkan tak semudah berbicara.
Lantas Hana membalik badan. Lagi-lagi terlentang menatap plafon usang kamar. Tiba-tiba dia teringat pada ibu, Sarah, Gio dan bapak. Kira-kira sedang apa mereka sekarang? Sebesar apa rasa malu pun kecewa saat mendengar Hana dikeluarkan dan dibicarakan banyak orang? Terutama bapak yang sejak awal percaya bahwa Hana akan berhasil meraih impiannya. Mimpi yang sebenarnya tak bisa Hana pastikan, bahkan sampai sekarang. Mau jadi apa, seperti siapa, atau kuliah di mana, Hana tak tahu. Di dalam kepalanya hanya ada kata sukses lalu menjadi orang kaya. Namun detik ini Hana sadar betapa bodoh dirinya. Karena jika hanya ingin kaya, memang tak seharusnya dia bersikukuh kuliah sampai harus berurusan dengan Rita untuk mendapat biaya. Bekerja saja seperti kuda. Atau menikah dengan om-om beruang yang mau memberinya kehidupan enak. Dan mungkin itu juga yang membuat ibu menentang keinginannya menyandang gelar sarjana.
Jengah, Hana mengerang. Menarik badan duduk seketika. Dia mengacak-acak rambut kesal, membuat penampilannya makin berantakan. Wajah yang semula digelayuti awan hitam kini berubah merah padam.
Lalu pintu depan diketuk seseorang, disusul panggilan menggelegar. Dari suaranya, Hana yakin bukan bapak, dan memang tak mungkin juga. Tetapi siapa laki-laki yang bertamu ke rumahnya malam-malam begini? Orang-orang penagih hutang ibu sudah tak datang lagi akhir-akhir ini.
Hana bangkit, menyeret kakinya malas keluar kamar. Mengembuskan napas berkali-kali sebelum membuka pintu guna memastikan.
Di depan, Gabriel juga pak RT berdiri bersebelahan, tersenyum pada Hana yang menautkan alis samar.
“Nah, Nak. Bapak permisi dulu, ya,” kata pak RT ke Gabriel. Berlalu begitu saja tanpa memberi penjelasan.
“Hai.” Gabriel mengangkat tangan, canggung. Terkekeh kikuk. “Gue bingung harus gimana biar bisa ketemu lo, Hana. Gue tahu lo marah sama gue, dan pasti nggak bakal mau ketemu. Jadi gue minta tolong bapak tadi yang kebetulan lewat buat manggilin elo.”
“Ada perlu apa?” Hana menarik gagang pintu sampai tertutup. Menegaskan jika Gabriel sudah tak bisa disambut baik untuk sekadar ditawari masuk. Cewek itu duduk di bangku kayu di teras samping kanan, menautkan tangan di pangkuan.
Gabriel menipiskan bibir, ikut menepatkan diri. Agak lama Gabriel menggantung jawaban dari pertanyaan Hana. “Gue pengen mastiin keadaan lo.”
Hana tak merespon. Lurus menatap halaman. Gabriel mengalihkan pandang, lekat memerhatikan wajah Hana yang lebih kacau dari terakhir kali Gabriel lihat. “Lo baik-baik aja, kan?”
“Lo mau gue jujur apa bohong?”
Sesuatu mengganjal tenggorokan Gabriel. Bodoh, rutuknya pada diri sendiri. Bagaimana bisa dia bertanya demikian sementara fakta di depan mata sudah sangat jelas menggambarkan situasi Hana. Lalu Gabriel mengeluarkan amplop dari saku jaket denimnya, diangsurkan ke arah Hana. “Bayaran lo, Hana.”
Hana melirik sekilas, tersenyum aneh. Detik berikutnya mata cewek itu berlinang air mata. “Jelas banget nggak si, kalo gue seburuk yang mereka pikirin? Ngehancurin karir orang demi uang?”
“Han ...”
“Nggak,” potong Hana, menggelengkan kepala. Menolehkan wajah sepenuhnya. Sungai kecil sudah merembas, dibiarkan menetes di ujung dagu. “Gue nggak mau terima.”
“Kenapa?” Pelan, Gabriel berkata. Fokusnya tersedot pada bibir Hana yang bergetar.
“Karena gue nggak mau ngakuin kalo gue semenyedihkan itu!”
“Lo nggak menyedihkan, tapi gue. Gue yang nyuruh lo, Hana. Gue juga yang buruk, bukan elo.”
“Tapi nama Hanya Salsabila yang ada di berita, bukan Gabriel Mananta.”
Gabriel menelan ludah. Getir. Menurunkan tangan yang sejak tadi masih mengambang di udara. Di sini dirinya yang menjadi antagonis untuk alur Hana. Tak peduli sekeras apa Gabriel berusaha, semuanya memang sia-sia. Rita hanya memojokkan Hana, tentu saja. Sementara Gabriel tetap aman di belakang layar sebagai penulis alur yang Hana mainkan. Sungguh, Gabriel sangat menyesal sampai-sampai ikut merasa putus asa.
Hana bangkit. Menyemburkan debas sambil mengusap pipi. “Oke, Gabriel, urusan lo udah kelar, kan? Mending sekarang lo pulang. Udah malem.”
Ikut bangkit, Gabriel mengangguk gamang. Hana kembali berujar, “dan jangan temui gue lagi dalam waktu dekat ini. Itu satu-satunya hal yang bisa lo lakuin buat bantu gue.”
Gabriel tersenyum penuh pengertian. Berpamitan sebelum melipir pergi. Melewati gerbang reot rumah Hana bersama harga dirinya yang hancur tak bersisa. Sebagai laki-laki Gabriel lebih lemah dari Hana. Lebih tak berguna dari seonggok sampah plastik di sepanjang selokan kompleks rumah Hana.
Gabriel berhenti di dekat mobil merahnya. Tangannya yang sudah membuka pintu bagian kemudi terhenti. Dia memutar wajah, mandang belokan ke arah rumah Hana.
Maafin gue, Hana. Dan gue janji, gue akan perbaiki semua.
Setelahnya Gabriel masuk ke dalam kendaraan, menutupnya sangat kasar. Mesin dihidupkan dan lampu depan menyorot terang ke ujung gang. Gabriel bergerak perlahan, baru menaikan laju begitu memasuki jalan besar. Papi, orang yang ingin Gabriel temui. Orang yang sudah pasti ada di kediaman Rita malam ini. Iya, Gabriel akan bernegosiasi sekali lagi.
Gabriel memasang handsfree, menjamah layar ponsel menggunakan satu tangan menelepon seseorang.
“Halo, om,” sapa Gabriel begitu panggilan tersambung, melempar gawai ke jok samping. "Gabriel butuh bantuan Om."
“Bantuan bagaimana, Gab?”
“Besok Gabriel ke rumah.”
Tbc ...