part 25.

26 9 4
                                    

Sia-sia atau tidak, hanya waktu yang bisa menjawab. Gabriel mencoba optimis, memaksimalkan rencana sebaik-baiknya. Tak ada usaha yang mengianati hasil. Semua kepayahannya pasti akan terbayar lunas suatu hari nanti. Namun pertama-tama, dia harus menyingkiran Celine terlebih dahulu agar tak lagi menjadi buntut penghambat gerak. Gabriel tak bisa mengandalkan Hana untuk hal ini. Jadi, dia berinisiatif mengorbankan Erwin. Temannya itu mungkin akan menolak, tetapi dengan sedikit bujukan ala sahabat karib, Gabriel yakin seratus persen Erwin akan menyetujuinya meski terpaksa. Sekarang tinggal bagaimana menemui Celine di kelas 12 IPA. Untuk menyeberang ke gedung itu rasanya segan. Rumor yang beredar selama ini pastin kembali menyuat ke permukaan jika dia benar-benar mengajak Celine keluar. Kedekatan papi dan om Arsya--ayahnya Celine memang kerap kali dipamerkan di akun instagram, mengundang spekulasi macam-macam dari banyak orang. Padahal hubungan mereka murni karena masalah hobi. Dan tak peduli sebanyak apa pun Gabriel gonta-ganti pacar, teman-temannya tetap meledeknya jika Celine terlihat di sekitar. Jujur Gabriel jengah. Pasalnnya, gaya busana dan tingkah laku cewek itu benar-benar masuk dalam katagori "tidak" untuk type seorang pacar. Bisa dibilang Gabriel gampang merasa risi. Sejauh ini, semua mantannya tidak ada yang bersifat girly dan suka memakai rok mini. Kencan yang dilakukan pun tak pernah hanya berdua, Odi juga Erwin selalu ikut mendampingi bersama gebetan masing-masing. Gabriel lebih nyaman berurusan dengan Hana meski menyebalkan.

Hana?! Gabriel menepuk dahinya pelan. Merasa bodoh karena tak berpikir untuk mengirim pesan untuk Celine lewat cewek itu. Lekas dia mengambil gawai, membalik badan lalu bersandar pinggang di besi teralis. Suara ketikan layar teredam hantaman alas sepatu siswa-siwi yang lewat di depannya.

Anda
Han, lo bilang ke Celine kalo gue mau ketemu di kantin sekarang.

Hana a.k.a Babu 12 IPA
Lo jangan macem-macem ya, Gab. Gue nggak mau nambah urusan lagi.

Anda.
Ck! Kebiasaan lo ya, suka suudzon sama gue.

Hana hanya membacanya. Kemudian tak lama pesan balasan tentang Celine muncul di notikisai. Mengakhiri obrolan online kedua remaja itu.

Gabriel mengantongi HP ke saku celana navinya. Menarik pinggiran jas almamater yang dikenakan sambil membuang napas dari mulut. Dia melangkah ke arah tangga, menuruinya dengan tergesa sebelum berbelok ke arah kanan. Kantin berada di paling ujung, berdekatan dengan parkiran. Jika melewati selasar seperti sekarang, maka secara otomatis Gabriel memutari bangunan sekolahan. Untung saja keadaan lumayan lengang. Anak-anak kelas 10 dan 11 agaknya lebih suka berada di dalam kelas daripada duduk duduk di bangku semen saat istirahat.

Lalu begitu tiba ke tempat tujuan, Gabriel mengedarkan pandang. Hampir semua meja terisi orang, kegaduhan juga aroma makanan berkuah seperti bakso, mie ayam dan soto menguar dari berbagai arah. Di meja paling belakang, Celine duduk melipat kaki. Tak disangka cewek kemayu itu datang seorang diri. Tiga dayang yang biasanya ikut ke mana pun dia pergi tak terlihat di sini.
Gabriel mendekat, menarik kursi di depan Celine.

"Hai, Gab," sapanya tersenyum.

Gabriel meresponya dengan anggukan setelah sempurna mendaratkan bokong.

"Mau ngomongin apah?" tanya Celine, bersemangat seperti biasa. "Kata Hana lo minta gue ke sini. Sorry, nomer gue emang udah ganti."

Manggut-manggut tak acuh, Gabriel menggaruk sebelah alis. "To the poin aja, ya. Gue mau ngasih tahu lo, kalo belajar bersamanya mungkin disetop dulu. Soalnya gue mau fokus ke jurusan yang mau gue ambil, begitu juga sama Hana. Jadi sore nanti lo nggak perlu ke rumah gue."

"Lho." Menukikan alis, Celine menjauhkan punggung dari sandaran. Sejak tadi bersama di kelas, Hana tak membicarakaan apa-apa. "Kok lo yang ngasih tahu gue, bukan Hana sendiri?"

"Dia nggak enak karena pernah nolak tawaran lo. Sebagai gantinya, gue punya rekomendasi oke buat lo. Erwin kenal, 'kan?"

Celine mengangguk.

"Nah, dia yang bakal lanjut ngajarin lo. Nggak jauh-jauh amat lah, dari Hana. Lagian kalian kan sama-sama pengen tembus UI."

"Beneran nih?!" Mata Celine berbinar. Kedua ujung bibirnya ditarik tinggi. Kemudian saat Gabriel mengangguk sebagai jawaban, cewek berbandana kuning ini bertepuk tangan girang. Guru private killer yang ayahnya sewa benar-benar akan dibatalkan. "Oke, deh. Kabar-kabar aja gimana enaknya."

"I-yah." Gabriel meringis.

***

Setelah sepuluh menit akhirnya cewek yang Gabriel tunggu muncul. Mengenakan kaos oblong putih kedodoran dipadu kulot rawis cungklang. Kaos kaki putih sepanjang mata kaki kentara, sepatu ket hitamnya masih sama dari pertemun-pertemuan sebumnya. Gabriel tersenyum pun melambaikan tangan, masih bersandar di motor sport hitamnya di depan belokan gang. "Han!"

Hana terlihat memacu langkah. Rambutnya yang digera sedikit menyibak ke belakang, memerlihatkan kedua telinganya yang polos.

"Udah siap?" tanya Gabriel, menegakan badan sambil mengulurkan helm kuning khusus perempuan pada Hana. Hana mengangguk kecil, memakainya tanpa sepatah kata. Riak wajah cewek itu lebih murung dari biasa. Pelan-pelan Gabriel mengembuskan napas, berbalik badan lalu menempatkan diri di atas motor setelah menutup kaca helm. Dia rasa ada sesuatu yang sedang Hana hadapi sekarang. Jadi tak perlu pikir panjang, cowok berjaket kulit hitam itu melesatkan motor ke arah berlawanan dari tujuan. Meliuk-liuk bersama pengendara lain dan sesekali mengalip dari celah mobil. Hana di boncengan agaknya tak sadar, terlihat dari bagaimana dia tak bergeming menatap sekitar sambil berpegangan pada pundak Gabriel. Barulah saat sampai di basement mall, Hana bertanya bingung.

Santai, Gabriel turun. Melepaskan helm yang kemudian diletakan di stang motor. "Ya, kita ke sini."

"Eh, bukannya tadi siang lo bilang kita mau ke apartemen bokap lo?"

"Nggak jadi."

"Lha, terus ngapain?"

Bukannya menjawab, Gabriel malah mendorong pelan pundak Hana masuk ke dalam mall. Kafe di lantai dasar menjadi tujuannya. Dia meminta cewek itu duduk manis di meja yang bersebelahan dengan kaca, sementara dirinya memesan minuman.

Hana masih tak tahu apa-apa. Menurut saja meski benar-benar bingung dibuatnya. Kemudian tak lama, cowok berjaket kulit hitam itu menjembul di antara kerumunan. Dua gelas minuman berwarna hijau ada di tangan.

"Silakan," katanya, meletakan tepat di depan Hana sebelum menempatkan diri di kursi seberang.

"Thank's."

Gabriel mengedikan bahu sambil tersenyum, mengaduk isi gelas menggunakan sedotan. Ada yang aneh, pikir Hana.

"Lo punya rencana lain?" tebaknya. "Jangan bilang Celine lo bawa-bawa."

"Nggak ada."

"Terus?"

Menghela napas, Gabriel menggeser gelas. Menautkan kedua tangan di atas meja. Sebenarnya dia segan untuk menanyakan tentang apa masalah Hana, tetapi sudah kepalang. Lagi pula tak adil rasanya jika egois memaksa dia melakukan tugasnya hari ini.

"Lo baik-baik aja?" Ragu Gabriel berujar.

Seperti anak panah yang melesat tepat ke titik tengah, pertanyaan simple barusan langsung membuat Hana menundukan wajah. Sesuatu dalam dirinya kembali runtuh.

"No," jawabnya pelan.

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang