Di jalanan komplek perumahan yang lengang, mini cooper merah itu melaju pelan. Derum mesinnya terdengar halus, mengisi sunyi di kawasan elit ini. Lampu di bagian depannya menyapu aspal, bertubrukan dengan bulatan terang yang jatuh dari tiang lampu di depan setiap gerbang bangunan.
Lalu saat sampai di depan salah satunya, kendaraan roda empat tersebut berhenti sejenak sebelum membunyikan klakson. Memberi aba-aba agar pria sepuh berseragam serba hitam itu lekas membuka gerbang. Si pengendara menurunkan kaca, tersenyum tipis yang dibalas dengan gerakan memberi hormat oleh sang satpam.
Rita memarkirkan kendaraan mewahnya tepat di belakang sedan hitam mengkilap milik Gabriel di garasi. Perempuan berambut panjang bergelombang itu keluar seraya menyampirkan tas mini putih ke pundak kiri, senada dengan celana kulot yang dikenakan melengkapi kaos hitam ngepres. Dia melangkah memasuki teras, postur tinggi langsing tubuhnya melenggok anggun beralas selop hitam berhak tinggi. Dia menekan bel di pinggir pintu bercat putih bersih itu beberapa kali. Tak lama pembantu rumah tangga menyahuti, memersilahkan masuk dengan sedikit membungkuk sopan. Tanpa ragu atau sungkan, Rita berlalu ke bagian dalam—melewati ruang tengah yang tak kalah luas dan rapi. Ada TV tipis menempel di dinding, di antara beberapa frame foto keluarga sang pemilik kediaman.
Sementara di ruan makan, sang kesasih tengah menunggu bersama putra satu-satunya dengan posisi duduk saling berhadapan. Bocah laki-laki itu melayangkan tatapan gerah, menyandarkan punggung sambil melipat tangan seolah ingin menunjukan ketidaksukaanya jika Rita ikut bergabung bersama. Namun alih-alih pusing, Perempuan itu justru abai. Memilih duduk berdekatan dengan Anjas.
Gabriel mendengkus, meraih gelas tinggi berisi air mineral sebelum ditenggak rakus. Setelahnya dia meletakan kasar ke tempat semula, membuat sang papi mengalihkan mata.
"Gab," tegur Anjas, menggeleng kecil.
"Nggak papa." Rita menengahi, mengulas senyum semanis mungkin. "Mending sekarang kita langsung makan malam aja, ya?"
Memutar bola mata, Gabriel merutuk dalam hati. Kelakuan sok baik dari perempuan itu benar-benar membuatnya muak setengah mati. Jika bisa, Gabriel ingin enyah detik ini juga. Bermain game di kamar jelas seratus kali lebih baik dari pada berhadapan dengan perempuan ganjen berlipstik merah itu. Namun papinya kembali berulah, memintanya dengan tegas agar dia mau ikut serta.
Tak lama hidangan pelengkap menu makan malam dihantarkan. Ayam bakar sambal ijo beserta sayur kol dan potongan wortel segar sebagai lalapan. Asap tipisnya masih mengepul, menguarkan aroma gurih yang menggugah selera. Akan tetapi itu tak berlaku untuk Gabriel. Dia hanya mengaduk malas isi piringnya sambil sesekali melirik tajam ke arah Rita.
Ya ampun! Geli banget gue! Gerutunya dalam hati, berpura-pura hendak muntah karena Rita bergelendot manja di lengan papinya. Padahal selama delapan belas tahun eksistensinya, Gabriel belum pernah melakukan itu. Atau mungkin, sang papi yang segan untuk bersikap selembut demikian? Tanpa ditutup-tutupi Gabriel mengeluarkan debas panjang, menyandarkan punggun pun meletakan kedua tangan di belakang kepala. Matanya menatap langit-langit tinggi rumah, bercat putih dengan lis plafon kuning keemasan. Tepat di tengah terdapat lampu kristal besar.
Tiba-tiba denting notifikasi gawai menarik atensi Gabriel ke arah Rita. Rita sedang menggulir layar benda pipihnya sambil merengut.
"Ada masalah?" tanya papi Gabriel, menyentuh pundak Rita.
Mengembuskan napas dalam, perempuan berusia 25 tahun itu meletakan HP kasar. "Ada yang ngirim video aku pas lagi minum di hotel ke akun gosip. Alhasil seharian ini rame banget."
Mendengarnya, Gabriel lantas memperbaiki posisi duduk. Senyum liciknya diam-diam terbit di pojok bibir. Ternyata Hana melakukan tugas dengan baik. Tak sia-sia Gabriel mengorek kehidupan pribadi cewek itu untuk memaksanya. Meski terdengar picik, tetapi hasilnya terbukti efektif. Dan Gabriel janji tidak akan menggunakannya di luar tugas ini.
Gabriel berdeham kecil, siap memperkeruh keadaan.
"Emang lo abis pesta, ya?" tanyanya. "Wah, kebiasaan buruk lo harus beneran diilangin si. Kasian penonton ditipu terus-terusan. Ya nggak, Pi?"
Rita memicingkan mata menatap curiga. Dia ingat pernah melihat siluet Gabriel di warung soto beberapa hari lalu. Meski saat ditelepon anak bandel itu bilang sedang bermain bersama temannya, tetapi kemungkinan tetap ada.
"Terus, udah ketemu siapa yang nyebarin?" tanya Anjas. Suaranya berat, intonasi tenang dan tegas.
Rita menoleh cepat, menggeleng mecil sambil menjawab, "Belum. Nggak bisa dicari akunnya. Lagian kalau diperpanjang kayaknya malah bikin berita jadi tambah ke mana-mana."
Debas pelan keluar dari mulut papinya. Gabriel bersorak dalam hati melihat raut pria berkaos hitam itu berubah. "Bener kata Gabriel. Pelan-pelan kamu harus ubah kebiasaan itu."
"Lagi aku coba. Itu aja nggak sampe mabok, kok."
"Tetep aja." Lagi, Gabriel melancarkan serangan. Tatapan kesal Rita semakin memprofokasinya. "Seorang public figure tuh harusnya ngasih contoh baik. Nggak cuma pas akting di depan layar, tapi harus total luar dalam."
Berdecap lidah, Rita mencebikkan bibir. Niatan untuk menghibur diri datang ke mari justru gagal.
Lalu Gabriel meraih gawai di saku celana pendek yang dikenakan. Dua orang dewasa di depannya kembali sibuk dengan kegiatan makan malam. Iseng-iseng cowok itu mengintip aku gosip. Berbagai komentar nyinyir sudah berjejer ratusan, dibacanya sekilas sebelum mengangguk pelan. Dia bergeser ke web lain, menukikkan alis seketika saat dibacanya unggahan beberapa jam lalu dari pihak manajemen yang menaungi Rita. Mereka memberi klarifikasi jika video itu tidak sepenuhnya benar, meminta maaf dan ...
"Wah!" Seketika Gabriel bersorak girang. Projek film perempuan gatel itu positif dihentikan untuk sementara waktu karena skandal ini. "Pi," panggilnya, menyodorkan HP. "Sayang banget nggak, si."
Anjas menoleh ke arah Rita yang kontan menghela napas. Perempuan itu kemudian menjelaskan jika pukul 09.00 pagi tadi dia melakukan konferensi singkat dengan beberapa media, berlanjut perundingan bersama tim produksi yang akhirnya memutuskan jeda dan mengundur tanggal rilis sampai berita mereda.
"Untung durasi videonya cepet," tambahnya, meraih gelas berisi air mineral. "Efeknya nggak terlalu meledak."
Ini baru awalan, Mak Lampir. Tunggu aja, gue pasti bisa buat lo kehilangan papi.
Gabriel tersenyum tipis, bangkit dari kursi jati yang diduduki. "Aku naik kamar dulu, Pi," katanya, berbalik pergi tanpa menunggu jawaban.
"Gabriel, habisin dulu makannya!" seru sang papi.
Cowok itu tak acuh, menutup pintu kamarnya rapat sebelum menghempaskan badan ke atas dipan. Gawa tipis berlogo apel digigit tergolek di sampingnya, dibiarkan tetap masuk di laman gosip yang tadi dibaca. Perasaan lega yang dibayangkan ternyata tak kunjung singgah, ambisi untuk segera memisahkan papi dan Rita masih menggebu memenuhi dada. Harapan Gabriel, rencananya bisa selesai sebelum ujian Nasional tiba. Tak lain dan tak bukan adalah agar dia bisa fokus pada target nilai untuk masuk ke perguruan tinggi. Lagi pula memikirkan hal yang sama secara terus menerus cukup melelahkan batin.
Tbc ...