"shit!" Gabriel menutup buku, mengantongi gawai lalu beranjak dari bangku. Keluar kelas, meninggalkan bu Fatma yang langsung memanggilnya dari ambang pintu ruang konseling.
Gabriel menuruni tangga, tergesa. Menabrak bahu siapa saja yang menghalangi langkahnya. Gabriel melipir ke gedung seberang, memacu langkah hingga tak sadar melompat dua anak tangga menuju kelas Hana. Di ambang pintu, Gabriel menyeruak masuk. Menjadi pusat perhatian beberapa orang yang langsung menyambut kedatangannya. Gabriel tak perduli, melangkah menghampiri Celine. Celine bangkit, menyingkirkan anak rambut ke belakang telinga.
"Di mana Hanaya?" tanya Gabriel, melongok ke pundak Celine. "Kok tasnya nggak ada?"
Celine mengembuskan napas panjang, bersandar pinggang di pinggir meja. Memainkan jemari. "Udah balik."
"Balik?" Gabriel menautkan alis, bergegas seketika meski Celine belum menjawab pertanyaannya. Walau sudah mendengar berita dari grup angkatan, Gabriel tetap berharap jika Hanaya masih ada di kelasnya. Menunggu pelajaran selesai, atau setidaknya, menunggu dirinya untuk ... Gabriel mendesah. Memang mau apa Hana menunggunya? Hana pasti sudah sangat malu hingga memilih langsung pulang.
Gabriel merogoh saku celana, mengeluarkan kunci mobil sebelum menjalankannya keluar gerbang. Dia melaju kencang, menyela kendaraan lain tanpa acuh dengan berisiknya klakson juga umpatan dari supir-supir yang sampai melongokkan kepala ke jendela. Gabriel mengemudi sambil terus menelpon Hana, berdecak kesal sebab cewek itu justru mematikan ponselnya.
"Kebiasaan banget, kalo ada apa-apa langsung ngilang!"
Gabriel menyalip tiga mobil di depan. Berbelok ke gang pemukiman. Namun sempitnya jalan membuat kendaraanya harus terhenti di tengah gang. Gabriel memutuskan keluar. Menggiring langkah lebar lalu tanpa segan menggedor pintu rumah Hana, berteriak memanggil namanya berulang kali.
Seorang wanita keluar dari rumah samping, melongok dari pagar pembatas setinggi setengah meter. "Dek, orangnya nggak ada."
Kontan Gabriel memutar badan. Wanita tadi sedang menumpukan kedua tangan di atas pagar. "Nggak ada dari kapan, Buk?" tanya Gabriel, mendekat.
"Nggak tahu pasti, Dek."
Gabriel bergeming, berpikir ke mana kemungkinan Hana pergi. Kemudian mengangguk pada tetangga Hana, berucap terima kasih sebelum pamit pulang.
•••
"Rita! Keluar lo!"
Setelah membuka kasar gedong hunian Rita, Gabriel berteriak bak orang kesetaan sampai suaranya memantul ke langit-langit tingginya. Gabriel mengedarkan pandang ke atas, di mana ruang pribadi Rita berada. Lalu dengan lancang Gabriel naik. Kembali berteriak di depan pintu sebuah kamar.
"Rita! Gue tau lo di rumah. Gue mau ngom ..."
"Gab!" Rita muncul dari taman samping rumah. Mendongakkan wajah, tersenyum miring. Gabriel mendekat ke arah teralis, mempertemukan pandang. "Nggak sopan banget teriak-teriak di rumah mami."
Mami? Gabriel berdecak lidah tak sudi. Menemui Rita yang justru duduk dengan angkuh.
"Ada apa kamu nemuin mami, em?"
Mengabaikan kata "mami" yang sengaja Rita tekankan, Gabriel mengeluarkan gawai. Disodorkan di depan wajah Rita. "Lo janji sama gue kalo lo bakal lepasin Hana, tapi ini apa, hah?!"
Rita tertawa, menyingkirkan tangan Gabriel sebelum bangkit. Perempuan berambut pirang sepinggang itu melipat tangan. "Aku janji nggak akan memperpanjang kasus ini ke jalur hukum, bukan nggak ngelaporin kelakuan Hana pada pihak sekolah, Gab. Kamu lupa?"
Gabriel mengepalkan tangan. Rahangnya mengerat. Mata menyorot tajam. Rita maju satu jengkal hingga tepat di depan Gabriel, tersenyum manis lalu menyentuh pipi Gabriel. Gabriel mendengkus keras-keras, menurunkan tangan Rita kasar. "Nggak usah nyentuh gue pakai tangan menjijikkan lo!"
"Ooo, ada yang marah. Kenapa? Kecewa?" Lagi, Rita tertawa. Kali ini lebih keras dan sengak. "Aku nggak salah lho, Gab. Kamu aja yang terlalu berharap."
Gabriel menyentak keluar. Melangkah lebar. Dia berkacak satu pinggang, mengusak kasar rambutnya lalu mendesah kesal. Gabriel menyambar helm, pergi dengan perasaan frustrasi.
•••
Kak, di mana? Nggak mau nyusul kita ke Bogor?
Hana mematikan ponsel, tak ingin menjawab atau mendapat pesan dari siapa pun. Termasuk Sarah, adiknya. Hana melanjutkan kaki, menoleh kanan-kiri memerhatikan kaca tembus pandang pertokoan. Nampak para pelayan sedang sibuk melayani para pendatang. Aroma jajanan manis yang berjajar di terasnya menyeruak di antara hiruk pikuk pasar. Pelan, Hana mengembuskan napas. Memegang erat tali tas lalu duduk ke bangku semen bersama orang lain. Dia menunduk, memerhatikan tali sepatu putihnya yang belum terikat sempurna. Namun, siapa peduli? Toh, besok dan seterusnya benda itu hanya akan teronggok sampai rusak di rak. Atau mungkin akan Ibu jual ke tukang loak daripada menambah sesak.
Apa lo bakal nyerah secepet itu, Hana?
Hana memejam. Setelah dikeluarkan, Hana tak yakin bisa masuk ke sekolah lain. Bukan hanya masalah uang, tetapi semester dua menjelang ujian sudah di depan mata. Akan sulit sekolah menerima siswi di masa-masa itu, belum dengan catatan hitam yang memalukan. Sedangkan masuk di kelas 11, jika diterima, sama saja memperpanjang masa biaya. Sarah lebih membutuhkannya untuk pendaftaran SMA.
Hana menyemburkan napas, bangkit. Pulang saat senja muncul di langit. Keadaan rumah gelap gulita dan sepi. Hana menekan saklar, memerhatikan isi rumah seolah baru sadar jika baju dan barang berserakan karena tak memiliki cukup ruang. Hana masuk ke kamar, tak ingin melakukan kegiatan. Menghempaskan badan ke atas dipan, terlentang dan terjaga sampai tengah malam.
"Apa kamu terlalu bodoh untuk menyadari perbuatan apa yang sudah kamu lakukan?"
"Maaf? Bulsyit!! Setelah ketauan kamu baru sadar, hah?! Selama ini apa? Tuli, buta sampai nggak bisa liat berita?"
Hana mengerang, satu tangannya meraih bantal. Ditekan ke wajah agar bayangan wajah Rita juga suaranya yang terus berputar hilang.
"Gue bego!" teriaknya, menjerit tertahan. "Hana bego bego bego bego!!"
Tanpa sadar, setelah bergerak lasak pun memukul bantal, Hana tidur kelelahan. Bangun siang dan langsung menyambar gawai. Menghidupkan daya, dibiarkan terus berbunyi oleh notifikasi dari satu nama, Gabriel Mananta. Namun sebanyak 20 pesan yang ada, tak satu pun Hana baca.
"Kayak gini lebih baik. Gue, belum siap ketemu anak-anak Nusa. Termasuk Gabriel."
Hana menghapus ruang obrolan bersama Gabriel, beranjak bangun lalu meraih handuk di sandaran kursi belajar. Meski tak tahu harus berbuat apa, tetapi Hana tak mau terus diam dan semakin terpuruk keadaan. Setidaknya dengan keluar rumah dia bisa mencari lowongan pekerjaan. Mungkin di toko yang dia lihat kemarin, cafe, atau warung makan. Dan bermodal kemeja putih, Hana masuk membawa cv lamaran di mana pun terdapat pengumuman lowongan pekerjaan. Rambutnya yang dikuncir tanpa anak rambut di sisi wajah kanan-kiri membuatnya rapi. Hana bersikap dan menjawab pertanyaan sebaik mungkin. Namun penolakan demi penolakan tak bisa dihindari. Berbagai alasan terkait sekolah Hana ikut dilontarkan sebagai penegasan.
"Yah, baru satu hari. Nggak usah baper. Nangis nggak ada gunanya. Besok nyari lagi," kayanya, menenangkan diri.