part 5.

51 18 6
                                    

Gabriel berdecak, memukul stang motor sport hitamnya sambil terus memerhatikan mobil silver di basement sebuah apartement. Dia berada di dekat pilar besar, tersembunyi di antara dua mobil hitam yang diparkir di sebelah kiri-kanan. Gabriel tidak tahu sedang ada acara apa perempuan itu, tetapi menunggu lebih dari setengah jam sendirian di sini membuatnya kesal.

Dia menarik napas dalam-dalam, menyugar rambut kecoklatannya yang sedikit gondrong ke belakang. Gabriel berusaha sabar demi kelancaraan rencana, meyakinkan diri agar tak langsung nyelonong masuk dan menciptakan keributan. Sang papi masih bersama Rita--perempuan centil itu, membuntuti dari tempat syuting pun tanpa sepengetahuan mereka. Sudah beberapa hari ini Gabriel melakukannya, lagi, jangan sampai berantakan seperti beberapa bulan silam karena tak bisa menahan emosi.

Yah, Gabriel masih tak terima atas perceraian kedua orangtuanya. Meski sudah empat tahun berlalu, tetapi dia masih berharap akan ada kata rujuk untuk papi dan maminya. Namun semakin berjalannya waktu, sang papi justru memberi sinyal jelas dengan mengumumkan kepada public tentang Rita dan hubungannya, membuat geger sekaligus menjungkir balikan hidup Gabriel. Dia benar-benar marah sampai minggat dari rumah walaupun akhirnya pulang lagi karena merasa sia-sia. Kesibukan papi di dunia hiburan menarik seluruh waktunya ke lokasi, hingga ada atau tidak adanya Gabriel di rumah tidak pria itu ketahui. Jadi satu-satunya yang bisa cowok berparas bule itu lakukan hanya mencari celah agar hubungan keduanya kandas, seperti saat ini.

Lalu saat Gabriel akan turun dari motor, empat orang—papi, Rita dan asisten keduanya—menjembul dari arah barat secara tak terduga. Lekas Gabriel meraih helm, menutup rapat wajahnya pun memundurkan motor pelan-pelan. Dia sudah bersiap melesat mengikuti Rita bahkan sampai ke ujung dunia.

"Hati-hati, ya," kata papinya pada Rita. Mereka melakukan cipika cipiki yang sontak saja membuat Gabriel mengeratkan rahang di balik helm juga tangan di stang.

Kemudian saat target mulai bergerak, Gabriel merapatkan jaket kulit hitam yang dikenakan. Melaju jauh di belakang, tetap menjaga jarak aman. Suasana jalanan padat lancar, sorot lampu kendaran saling menubruk menyapu sepanjang lintasan aspal. Mobil papinya dan Rita berpisah di persimpangan. Gabriel menyeringai senang, menambah kecepatannya hingga menyalip beberapa mobil di depan. Motor yang digunakan kali ini adalah milik seorang teman, perempuan centil itu tidak akan terlalu sadar.

Mobil sedan silver Rita berhenti di depan warung yang tak terlalu besar. Bangunan satu lantai itu bermatrial kayu jati yang dipernis sampai mengkilap, bergaya joglo sederhana dengan dua pilar di sisi kanan dan kiri pun sebuah undakan untuk masuk ke terasnya yang dikelilingi pagar geribik setinggi setengah meter. Gabriel menghentikan motor di tepi jalan, turun tak lama setelah Rita hilang di balik pintu warung.

Gabriel memilih tempat duduk di paling pojok dekat jendela kayu tanpa kaca, membuka buku menu untuk menutupi wajah. Di seberang, berjarak empat meja, Rita sedang dikerumini beberapa orang yang sedang berebut meminta foto. Perempuan berambut pirang bergelombang itu agaknya sengaja berkunjung ke tempat-tempat umum seperti ini untuk membuat sensasi. Tanpa sadar Gabriel mendengkus muak, semakin tak terima papinya tetap berhubungan dengan Rita.

"Sumpah, jijik banget gue," gerutu Gabriel, bergidik sendiri. "Entah apa yang dilihat Papi dari Mak Lampir kelebihan boraks itu."

Tak lama seorang pelayan berjilbab instan datang, bertanya sopan apa yang akan Gabriel pesan.

"Satu porsi soto sama es teh manis," katanya acuh tak acuh.

"Baik, Mas. Ditunggu pesanannya, ya."

Gabriel mengangguk kecil. Kembali membuka buku menu di depan wajah. Matanya awas memerhatikan meja Rita yang kebetulan menyerong ke arahnya. Dalam hati Gabriel berharap akan ada laki-laki menghampri perempuan berbusana merah itu, atau hal apa pun yang bisa membuktikan jika Rita bukanlah pilihan tepat untuk papi. Namun beberapa saat menunggu, belum ada sesuatu yang mencengangkan. Bahkan Rita terlihat semakin sabar meladeni para fans-nya sambil terus tersenyum ramah.

"Dasar ular. Bisa-bisanya dia akting berlagak kaya bawang putih!" Gabriel ngedumel, meraih gawai di celana jeans hitamnya lalu diarahkan ke sana. "Ayo dong, cemberut. Muka lo tuh nggak pantes jadi protagonis," tambah Gabriel, menghidupkan mode rekam.

Beberapa menit berselang, tiba-tiba seorang cewek berkuncir kuda berdiri di depan dan menghalangi kameranya. Bagian pantat pelayan itu menenuhi layar ponsel. Gabriel berdecak, menoel lengannya yang seketika menoleh.

"Awa ...."

"Heh!" Pekik Hana, sadar dengan arah kamera gawai tipis yang disandarkan ke kotak tisu. Dia mundur, refleks meletakan nampan bulat lebar di belakang pinggang. "Lo kurang ajar, ya!"

Menukikan alis, Gabriel sedikit ternganga karena tak paham maksud dari ucapan Hana, cewek yang terkenal sebagai babunya kelas 12 MIPA. Namun akibat keributan ini, banyak mata tertuju ke arahnya, termasuk Rita. Gabriel berdecak, mengambil sang gawai lalu beranjak sebelum sebuah tangan menarik ujung jaketnya.

"Hapus dulu nggak videonya!"

"Lo salah paham," jawab Gabriel pelan tanpa membalik badan. "Gue nggak ngerekam ...."

Belum tutas berucap, HP di genggaman tangan kanannya direbut paksa.

"Ini apa, hah!" kata Hana, menarik sebelah pundak Gabriel sampai empunya sedikit terhuyung. "Mesum ya, lo!"

Tak ada pilihan. Tanpa pikir panjang Gabriel memutar keadaan. Dia mencekal lengan Hana, menariknya sampai ke depan. Cewek itu memberontak, berbicara pelan tetapi penuh penekanan, memerintahkannya agar dilepaskan.

"Gabriel!"

"Lo salah paham. Gue nggak ada pikiran ngeres kaya yang lo bilang," jawab Gabriel masih enggan menoleh, melangkah lebar melewati beberapa meja.

"Jangan macem-macem, ya!"

"Nggak usah rewel, Hanaya. Kalo lo teriak, itu sama aja bikin malu diri lo sendiri."

Sampai di bagian samping warung yang agak lengang, Gabriel melepaskan cekalan. Hana menatapnya penuh selidik, masih bertahan dengan pikirannya yang terlanjur mengarah ke sana. Perasaan malu dan risi membuat embusan napas Hana naik turun cepat, keadaanya yang kebetulan sedang berhalangan menambah spekulasi menjijikan di otak. Psikopat, cabul, penguntit ... wajah Hana memerah.

"Ini." Gabriel mengambil HP-nya. "Cuma kebetulan aja lo datang. Sumpah, demi Tuhan, gue nggak bermaksud gitu."

"Bohong!" Geram Hana. "Gue tau tabiat cowok modelan kayak lo!"

Cowok itu mengusak rambutnya kasar, berdecak frustrasi. Entah harus dengan apa lagi menjelaskan pada Hana. Dia masih cukup waras untuk merasa malu melakukan hal tidak senonoh itu. Baiklah, gonta ganti pacar dan berkencan sampai dini hari Gabriel akui, tetapi video vulgar atau sejenisnya, dia sangat anti. "Lo mau bukti apa?"

"Hapus video itu!"

"Oke, fine." Mengusap layar, Gabriel menekan icon delete. Menunjukannya pada Hana lalu berkata, "Puas?!"

"Mana coba!"

Segera Gabriel menjauhkan benda pipih itu. "Buat apa?"

Hana mengentakan kaki. "Gue belum percaya. Bisa jadi ada salinan atau mungkin ada foto gue yang lo simpen!"

"Astaga!" Gabriel menjerit tak percaya. Cewek itu benar-bebar ke-PD-an sekali. Dia pikir siapa dia? "Ini murni urusan pribadi gue, Hana. Meski wajah lo yang katanya mirip artis Korea Shin Ye-eun versi lokal, gue nggak tertarik!"

Menelisik Gabriel, Hana bergeming. Sungguh dia tidak bermaksud asal tuduh. Hanya terlalu waspada karena pengalaman serupa di masa lalu. Atau tepatnya oleh cowok psikopat yang mengejarnya.

Tbc ...

Tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang