Entah apa rencana Gabriel hari ini. Kejadian semalam yang hampir ketahuan saja masih membuat Hana deg degan, tetapi pagi tadi cowok itu sudah bawel mengirim pesan dan mengajak ketemuan di mall. Lalu saat ditanya mau apa, Gabriel dengan enteng menjawab rahasia. Hana dongkol bukan main, ingin mundur saja dari tugas ini jika bukan karena ingat uang tabungannya semakin menipis. Tiga ratus ribu yang kemarin diberikan pada ibu harusnya menjadi jatah cicilan uang SPP. Jadi mau tak mau Hana menuruti Gabriel.
Hana bersiap sekadarnya, mengenakan kemeja hitam dipadu jeans senada, pun menguncir rambut tinggi-tinggi dan menyisakan beberapa helai di sisi kanan-kiri. Tak perlu make up atau sejenisnya, polos natural adalah gaya sehari-harinya. Hana berpamitan pada Gio yang sedang menonton TV. Sang ibu tidak di rumah, sementara Sarah masih betah berada di kamar dengan dalih belajar. Mungkin dia masih kesal sebab percekcokan semalam. Yah, meski Hana tak tahu pasti apa yang terjadi, tetapi omelan ibu tadi pagi jelas menandai. Kebiasaan wanita baruh baya itu yang suka mengungkit-ungkit kejadian.
Hana meniliki jam kecil di pergelangan tangan kiri. Pukul 07.300 pagi, waktu biasa dia berangkat ke warung soto. Sabtu-minggu jadwalnya bekerja full time, jadi pilihan untuk tetap berbohong tentang pemecatan adalah ide bagus. Hana tak perlu mencari-cari alasan untuk bisa keluar. Karena jika ibu tahu dia sudah menjadi penganguran, bisa dipastikan sekarang dia dipenjara dengan segudang cucian.
Hana mengembuskan napas dalam, satu lagi hari dengan tugas aneh dari Gabriel. Dia lalu membuka gerbang reot rumahnya. Suara khas besi betkarat merengek panjang sebelum kembali ditutup rapat. Hana mengeluarkan gawai, mengecek pesan dari Gabriel yang ternyata sudah menunggunya. Jarak tempuh untuk sampai ke mall relatif dekat, hanya memerlukan lima belas menit jika jalan kaki.
Hana menyipitkan mata karena cuaca panas menyorot tepat ke wajah, mengayunkan langkah jenjang di trotoar bersama orang-orang yang agaknya baru pulang setelah olah raga. Para pedagang kaki lima pun tak lepas mengisi kesibukan pagi ibu kota. Suara klakos dari jalan raya di samping kanan bersahut-sahutan karena kemacetan, asap polusi dari kendaraan besar tak bisa dihindarkan.
Sampai di depan mall, Hana menghubungi Gabriel. Tak tahu di bagian mana cowok itu berada. Bangunan besar lima lantai itu menyulitkannya jika harus berkeliaran mencari sendiri tanpa patokan pasti.
"Halo," kata Hana, sedikit menyingkir saat ada segerombolan anak seusianya keluar dari mobil yang berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. Dilihat dari penampilan, mereka sangat kekinian, kontras dengan Hana yang bisa dibilang ketinggalan tren dalam berpakaian.
"Gue udah di depan. Lo di mana?""Oke, oke. Gue turun," sahut Gabriel. Suaranya membaur dengan musik dan obrolan acak banyak orang. "Lo jangan ke mana-mana. stay di situ aja."
Hana mendengkus kecil sambil merotasikan bola mata. "Padahal lo tinggal bilang posisinya lagi di mana."
Gabriel terkekeh dari seberang, lalu tiba-tiba panggilannya dimatikan. Tak lama suara cowok itu terdengar lantang memanggil Hana. Hana menyapu pandang, mendapati Gabriel sedang melambai pun mendekat dari arah barat.
"Sebenernya mau apa si, ke sini?" tanya Hana.
"Ada lah. Lo tinggal ngikut aja, nggak usah banyak nanya."
"Helo, Gabriel. Masa depan gue lagi dipertaruhin, oke. Jadi jangan macem-macem." Hana mulai melangkah bersama Gabriel di sebelahnya, keramaian di dalam mall menyambut mata.
Mengedikan kedua bahu, Gabriel memasukan kedua tangan ke saku jeans putih. Kaos oblong hitamnya terlihat kebesaran. Lantas cowok itu masuk ke sebuah toko, diikuti Hana yang langsung mengerutkan dahi tak paham. Wig berbagai model dan warna dipajang rapi pada patung-patung setengah badan. Toko ini yang terbilang lebih sepi dari kebanyakan membuat dua perempuan berseragam hitam---penjaga---langsung saja menyerbu keduanya. Mereka bertanya ramah, mengajak Hana dan Gabriel melihat-lihat koleksinya. Sesaat Gabriel dibuat bingung dengan banyaknya pilihan. Cowok itu menggeleng, menujuk, menimang dan akhirnya mengembalikan wig di tangan. Melihat itu Hana hanya bertanya-tanya dalam hati, tak sedikit pun dilibatkan selain menjadi seperti bayangan. Tak lama, Gabriel mengajaknya pindah ke tempat lain.
Satu paper bag yang entah apa isinya--sebab tadi Gabriel meminta Hana menunggu saat dia masuk ke bagian dalam--ada di tangan kanan.
"Lo mau beli minum?" tanya Gabriel.
"Gue bayarin."
"Nggak usah. Terima kasih." Cepat, Hana menjawab. Pandangannya mengedar ke sekitar. Di eskalator naik ke lantai dua terdapat lima perempuan berusia dewasa muda, dua pria yang masing-masing menggendong balita bersama istrinya, juga wanita paruh baya seumuran sang ibu. Di bagian turun pula, para remaja sedang bercengkrama sambil tertawa.
"Serius lo nggak mau?"
"He'em."
Gabriel mengangkat kedua alis, heran pada cewek di sampingnya. Menurutnya di sini tidak ada hal menarik hingga layak mendapat perhatian seperti itu. Namun ... Gabriel mengedik kedua bahu, melanjutkan pencarian barang selanjutnya. Dia naik ke lantai dua bersama Hana, masuk ke toko baju yang lumayan ramai pengunjung.
"Han, menurut lo gimana?" Gaun merah bermodel tanpa lengan, sepanjang dengkul Gabriel ambil, dijinjing di depan badan. "Bagus, nggak?"
Hana mengangguk kecil. "Bagus kalo buat tante-tante."
"Nah." Menjentikan jari, Gabriel tersenyum puas. "Itu yang gue cari."
"Kalo mau beli hadiah buat nyokap, lo harusnya ajak orang yang seumuran sama dia. Tadi itu cuma pendapat asal gue, nggak bisa disamaain sama nyokap lo. Selera orang beda-beda, Gab.""Siapa juga yang mau beli hadiah. Sok tahu." Gabriel menyerahkan baju itu pada pelayan yang sejak tadi mengikuti. "Ini, Mbak," katanya, dibalas anggukan ramah.
Lalu cowok itu melipir ke bagian pria, mengambil kemeja secara asal sebelum berlalu ke meja kasir. Hana mengikutinya, berdiri bersisian menunggu pembungkusan. Jumlah uang yang harus dibayarkan sukses membuat Hana tersedak liur. Lima ratus ribu hanya untuk dua lembar baju? Ya ampun! Semudah itukah mendapatkan uang hingga tak sayang membelanjakannya secara tak wajar? Padahal jika diberikan pada orang-orang sepertinya, jumlah sebanyak itu pasti akan digunakan untuk menyambung hidup.
"Terima kasih," kata Gabriel, berbalik badan sambil menenteng paper bag coklat berisi belanjaan. Dia Sedikit mengintip ke dalam, tersenyun lebar dan mengangguk puas. Tinggal sedikit lagi persiapan, maka rencananya bisa berjalan lancar besok malam. Ah, membayangkan itu Gabriel merasakan euforia di dadanya. Dia benar-benar tak sabar melihat Rita dan sang papi berpisah.
"Masih ada lagi?" tanya Hana, menolehkan wajah ke arah Gabriel.
"Yap, dan ini adalah bagian yang pasti lo suka."
"Maksud lo?"
Tersenyum penuh arti, Gabriel menarik lengan Hana, membuat sang empu hampir terjerembab ke depan karena tidak siap.
Hana mengerjap-erjap pun sedikit terseret. Kemudian begitu sadar, dia langsung melayangkan protesan sambil mengentakan tangan.
"Gabriel!" teriaknya, menarik perhatian. Beberapa pengunjung sampai berhenti, menatap dengan alis menukik dan berbisik.
"Sumpah, lo bikin gue malu!"
Tak mengacuhkan, Gabriel semakin mengeratkan tangan.Tbc ...