Gabriel berjongkok di depan meja belajar, mengobrak-abrik isi lacinya mencari kamera kecil yang pernah dia punya. Seingatnya, beberapa bulan lalu, atau mungkin dulu, dia pernah membawanya saat menginap di sini, rumah sang mami—berada di kawasan Jakarta pusat, setengah jam jarak tempuh dari tempat tinggal utama yang pernah keluarga lengkapnya tinggali. Yah, mami memilih pindah tepat setelah keputusan pisah disahkan, tak memberi waktu pada Gabriel untuk setidaknya bertanya beberapa hal. Lalu kesibukan wanita berdarah Amerika itu membuat keduanya jarang bertemu.
"Mana, si?" Monolog Gabriel sambil mengusak rambut bagian belakang. Dia bangkit, berkacak pinggang pun mengedarkan pandang ke penjuru ruangan 6 × 7 meter bercat abu-abu pucat ini. Tak ada banyak barang, hanya dipan besar di sisi kanan—menempel pada tembok, lemari baju di pojok, satu sofa malas menghadap jendela balkon dan meja belajar. Lantainya yang lengang kerap kali Gabriel gunakan untuk melakukan olah raga ringan.
Lantas cowok itu bergerak, bayangannya terpantul di kaca lemari sebelum dibuka. Beberapa lembar baju berwarna monokrom dicantelkan rapi, dua pasang sepatu sport berjengger kusam di bagian rak paling bawah. Gabriel mulai membuka dua laci yang ada, mendesah kesal karena tak kunjung menemukan. Tiba-tiba sebuah ingatan terpintas. Buru-buru dia berlalu keluar, menuruni anak tangga dengan pembatas besi keemasan menuju gudang di bagian paling belakang. Pintu kayunya tak dikunci, prabot yang tak lagi berfungsi diletakan di sini. Keadaan ruang sedikit gelap sebab semua gorden menjuntai rapat, lantai di pijakan pun terasa lebih lembab. Mungkin jarang dimasuki selain untuk dibersihkan oleh pekerja panggilan.
Gabriel menarik kain putih penutup nakas secara kasar, debu tipis di permukaannya langsung saja berhamburan mengganggu penciuman.
Terbatuk kecil, cowok jangkung itu mengibaskan tangan. Membuka laci paling atas lalu bersorak girang saat benda kecil itu tergeletak manis di dalam.
"Huh! Untung masih ada," ucapnya, menghela napas lega. Sudut bibir Gabriel tertarik tinggi, meraih kamera mini tersebut lalu dibersihkan menggunakan ujung kaos merah gelap yang dikenakan.
"Gab," panggil seorang wanita dari ambang pintu. Perawakan tinggi semampai, pun rambut cepak berwarna pirang nampak semakin memercantik kulit putihnya yang bersih. Kerut halus di ujung manik coklat terangnya menadakan usia yang tak lagi muda. "What are you doing?" tanyanya.
Sang empunya nama berbalik badan, menyimpan kamera ke saku celana jeans lalu berderap menghampiri sang mami sambil tersenyum simpul. "Bukan apa-apa."
Mengangguk kecil, maminya menurunkan tangan yang sejak tadi dilipat di bawah dada. Menelisik penampilan putra satu-satunya lalu menghela napas. Gabriel lebih kurus dari terakhir kali dia lihat. Entah makanan seperti apa yang mantan suaminya hidangkan ke meja.
"Mami sedih melihatmu seperti ini, Gab," gumamnya.
"W-why?"
Mami tak menjawab, memilih berlalu lebih dulu ke meja makan. Di sana sudah tersaji beberapa macam masakan yang dipesan dari restoran kenamaan. Seperti, beef steak, Phak Cam Kee, tuna sandwich, dan buah-buahan lokal di dalam keranjang anyaman daun pandan. Wanita itu menarik kursi untuk Gabriel duduki lalu menempatkan diri di seberang. Jari lentiknya cekatan menyiapkan piring sang putra kesayangan.
"Eh, cukup," kata Gabriel, mengangkat satu tangan sambil menggeleng pelan. "Banyak amat, ya ampun. Aku nggak serakus itu kali, Mi."
Mengedikan bahu, mami mulai mengambil piring bagiannya sendiri. Beef steak, menu kesukaannya.
"Kamu mau kuliah di mana, Gabriel?" Satu potongan kecil daging sapi empuk itu disuapkan, dikunyah pelan sampai tak menimbulkan bunyi. "Sudah ada pilihan?" lanjutnya.