Hana rasa, kemarin malam adalah akhir dari segalanya. Mimpi-mimpinya, wajahnya, dan eksistensinya selama 18 tahun akan benar-benar hancur dalam hitungan jam saja. Ancaman Rita tidak main-main, dia bisa melihat keseriusan dari mata perempuan itu saat menatap, seolah-olah ingin menerkamnya detik itu juga.
Sekarang Hana tidak tahu harus berbuat apa. Dilepaskan sementara seperti ini malah membuatnya merasa takut lebih dari yang diduga. Susah tidur, tak napsu makan bahkan tak ingin keluar kamar. Bayangan raut ibu, bapak pun kedua adiknya yang jelas akan kecewa terus membayangi mata, tak peduli terpejam atau terjaga. Belum lagi tanggapan tetangga jika esok atau lusa polisi datang menjemput paksa.Andai bisa, Hana ingin menghilang saja dari peradaban. Tak sanggup menanggung malu dan cemoohan dari orang-orang. Namun sama seperti masalah-masalah sebelumnya, kali ini pun dia harus bisa mepertangung jawabkannya seorang diri. Tak ada yang bisa dijadikan pelindungan. Uang dan status Rita sudah telak menyungkurkan Hana yang bahkan belum sempat berdiri.
"Gue harus gimana?" gumamnya lirih, meletakkan satu tangan di atas dahi. Menatap sendu plafon putih kusam yang menaungi.
Sudah hampir seharian Hana mengurung diri di kamar, berdalih sedang tak enak badan dan meminta agar diberi waktu tenang, termasuk membolos sekolah. Dan tak terduga, sang ibu membiarkannya begitu saja. Bersikap sedikit lunak seolah percaya dengan kebohonannya. Wanita itu hanya sesekali memanggil jika ada hal penting atau sekadar menyuruhnya makan bersama. Seperti beberapa menit lalu. Dan pertanyaan, "Kamu lagi ada masalah?" Tak bisa terhindarkan, membuat Hana diam-diam menghela napas dalam kemudian menggeleng pelan.
Sungguh, dia ingin menceritakan masalah ini, berharap bisa mendapatkan solusi atau pembelaan. Namun dia juga sadar jika kemungkinan terburuknya adalah kembali disalahkan. Jadi Hana putuskan untuk langsung mengelak, meminimalkan bertatap muka dengan ibunya di kursi seberang pun akhirnya bangkit lebih dulu dari dudukan.
"Mau ke mana?" Lagi sang ibu memusatkan pandang.
"Nanti taruh aja piring kotornya di washtafel. Agak sorean aku cuci," jawabnya alih-alih.
Ibunya ikut beranjak, menghampiri Hana kemudian menempelkan tangan di lehernya. "Mau ibu beliin obat?"
Hana membuang wajah, menggigit bibir bawah sambil menggeleng. Setelahnya dia langsung berlalu ke kamar, menguncinya sampai saat ini hingga melewatkan makan malam.
"Gue ..."
Mulai terisak, Hana meraih bantal di samping badan, menindihkan ke atas wajah agar suaranya tak tedengar dari depan. Ibu, Sarah dan Gio belum tidur, masih asyik menonton sinetron meski sudah pukul 21.30 malam. Kemudian tak lama setelah tawa mereka mengudara, seruan seseorang yang terdengar samar di telinga Hana menginterupsi, membuat folume tv seketika memelan.
"Ada," jawab sang ibu, entah kepada siapa. "Sebentar, Tante panggilin dulu."
Tak lama langkah kaki Ibu yang khas menggunakan sandal anti rematik mendekat. Diam beberapa saat sebelum ketukan mendarat sempurna di pintu kamar Hana.
"Han, temennya nyariin."
Lekas Hana menarik badan, bergeming dengan alis menukik tajam. Teman? Siapa? Selain sesama pelayan di warung soto, Hana tak yakin ada orang lain di kompleks ini yang bisa dianggap teman. Semua siswa SMA Nusa pun tinggal jauh darinya, dan memang tak akan mungkin berkunjung hanya karena dia absen satu hari.
"Hana?" Ibunya mengetuk lebih keras. "Bangun dulu. Nggak enak ditungguin."
"Eh, nggak papa Tante," tukas sang tamu, cepat. "Saya pulang saja, mungkin Hana sudah pules. Maaf mengganggu."
Gabriel? Hana bergegas membuka pintu, menyentak sang ibu yang refleks mundur satu jengkal. Di sana Gabriel berdiri menjulang di tengah ruang tamu. Dilihat dari bekas cekung di karpet sofa, jelas cowok itu baru saja bangkit. Kedua tangannya bahkan masih sibuk menarik ujung kemeja hitam yang dikenakan meski pandangannya tertuju pada Hana.
Perlahan Hana bergerak menghampiri. Merapikan rambut pun memaksakan seulas senyum. "Duduk lagi, gih," pintanya pelan.
Sarah mematikan TV, mengajak Gio masuk ke kamar menyusul ibu.
"Are you oke?" tanya Gabriel spontan.
Menipiskan bibir, Hana menganggkuk kecil. Kedua tangannya saling meremat di depan badan. Lalu saat cewek itu izin mengambil minuman, Gabriel sigap meraih lengannya agar kembali berbalik badan.
"Gue minta maaf, Hana. Ini semua ..."
"Gab," potong Hana cepat. Menarik napas dalam-dalam sebelum mempertemukan pandang. Sebisa mungkin dia menampakkan raut seolah tak ada apa-apa. "Jangan bahas di sini. Plis."
Gabriel mengangguk, melepaskan cekalan pun mengikuti di belakang Hana yang melipir ke luar rumah. Angin malam berembus agak kencang, mengusik rambut cewek itu yang sudah berantakan dan mengembangkan ujung kardigan hitamnya ke belakang seperti jubah. Segera Gabriel memacu langkah, menempatkan diri si samping kanan sambil memerhatikan wajah Hana penuh rasa bersalah.
"Han," panggilnya pelan, tepat di persimpangan gang.
Hana menghentikan kaki, menyorot lurus keramaian jalan besar. Di bawah sorotan lampu tiang di atas kepala, manik legamnya nampak berkilauan. Semakin jelas menandakan jika ada air yang tengah menggenang meski sudut bibirnya tertarik lebar.
"Beneran di luar perkiraan." Dia terkekeh hambar, menyeka air matanya kasar sebelum menghela napas dalam. "Nggak nyangka bakal kegep secepet ini. Payah banget."
"Han ...."
"Agak serem juga Rita itu. Auranya seratus persen berubah dari yang gue lihat selama ini. Tapi wajar si, siapa pun kalo ada di posisinya pasti bakal ngelakuin hal sama."
"Maksud lo?" Kali ini Gabriel beranikan meraih kedua pundak cewek itu, memakukan pandang meminta penjelasan. "Apa yang Mak Lampir itu lakuin?"
"Ya apa lagi." Cairan di pojok mata Hana menyusuri pipi lalu jatuh di ujung dagu. "Udah jelas, Gab."
Seketika Gabriel menurunkan tangan, berdecih tak percaya atas terbebernya fakta di depan mata. Selama ini dia tak pernah berpikir panjang, menyepelekan resiko yang akan Hana dapatkan. Mau tak mau, Gabriel kini mengakui jika dirinya memang lah pecundang. Bersembunyi di punggung Hana dan melimpahkan masalahnya begitu saja. Dan seharusnya Rita juga melakukan hal serupa pada dirinya, jangan hanya melampiaskan kemurkaan pada Hana.
"Ini semua salah gue." Gabriel mengeratkan kepalan tangan. "Kalo gue nggak ceroboh ninggalin tas di mobil Rita, ini semua nggak bakal terjadi."
Bibir Hana kontan terbuka, mencari kata-kata yang pas untuk mengutarakan gejolak di dadanya. Namun tak satu pun bisa melesat dari tenggorokan, kecuali helaan napas dalam penuh kepasrahan. Tak ada gunanya memaki Gabriel.
"Gue bener-bener minta maaf, Hana."
"Nggak." Pelan Hana berujar, menggelengkan kepala. "Nggak ada yang perlu dimaafin, Gab. Ini resiko gue, 'kan? Meski bukan karena elo, suatu saat pasti bakal ketahuan juga."
Setelahnya kedua remaja itu bergeming tanpa suara. Menikmati embusan angin penuh debu, bunyian pekak kendaraan di jalan pun seokan langkah kaki beberapa orang melewati gang. Gabriel bingung harus bagaimana menujukan penyesalan yang bergelung tak berujung ini. Kalimat Hana barusan sangat jelas menunjukan jika cewek itu tak mau mengandalkannya untuk memperbaiki keadaan.
Tbc ...