part 19.

34 11 10
                                    

Di balik selimut, Hana cengar-cengir tak karuan. Sejak jam delapan dia bermalas-malasan. Tanpa protesan ibu, resiko pemotongan gaji, atau tumpukan PR yang harus bisa selesai dalam satu malam, Hana merasa seolah baru saja dimerdekakan. Entah kapan terakhir kali dia sesantai ini, meregangkan badan sambil menguap lebar-lebar, pun membuang waktu dengan menatap langit-langit putih kusam kamar yang tak ada menariknya sama sekali. Selain beberapa pulau kekuningan akibat bocor dan sarang laba-laba di pojokan. Bisa dibilang ruangan ini memang lebih mirip gudang yang dialihfungsikan sebagai kamar. Yah, mau dibereskan serapi apa pun, penampilan tembok yang melepuk dan sempitnya ruang lengang tetap tak bisa mengusir pengap, atau hawa gerah sebab tinggi rumah yang hanya dua meter setengah.

Cukup lama Hana tak bergeming dengan posisi terlentang, menopangkan satu kaki di atas tumpukan tiga bantal. Perlahan kelopak matanya terayun berat, menguap lebar berkali-kali  hingga akhirnya benar-benar terlelap memasuki dunia mimpi. Lalu keesokan paginya, Hana bangun telat. Membuat apa pun yang dikerjakan terasa diburu waktu. Alhasil telur yang dia hidangkan disambut dengan protesan Sarah pun keriwehan meja makan karena Gio harus berangkat awal. Hana tak memungkiri jika sang ibu benar; dirinya memang tak mampu mengurus rumah dan kedua adiknya seorang diri. Tiba-tiba rasa sesal sebab sempat meminta wanita itu bekerja menyelusup hati, mengiringi langkahnya ke sekolah pun berlanjut sampai jam pelajaran berganti. Belum lagi pesan dari Gabriel tentang apa-apa saja tugasnya malam ini semakin memperburuk mood-nya yang sudah berantakan sejak pagi. Jadilah menit-menit berikutnya berjalan bersama helaan sapas panjang juga desahan gundah menunggu siang berganti sore. Namun belum cukup sampai di situ, Hana kembali dibuat dongkol setengah mati. Kekacauan rumah yang bak terserang topan menyambutnya pulang. Serakan nasi, piring bekas makana di karpet depan TV, seragam Gio tercecer di lantai pun potongan kertas di sofa. Entah apa yang sudah terjadi, tetapi melihat Sarah dan Gio ada di sana, Hana langsung saja menyemburkan kekesalannya.

"Kalian kenapa si, hah?! Nggak bisa gitu, sehari nggak bikin rusuh?" Hana menggeleng. "Kamu juga, Sarah. Udah gede bukannya tahu, ini malah ikut-ikutan Gio."

Sarah seketika berdiri, mendengkus sebal menatap sang Kakak. Apa-apaan tiba-tiba kena marah. Padahal dirinya pun baru pulang tak lama sebelum Hana. Memang apa yang bisa Sarah lakukan? Menghentikan kesenangan Gio yang sedang berencana membuat pesta ulang tahun impiannya? Yang benar saja. Tadi vocah laki-laki itu bercerita bahwa di sekolah baru saja mengadakan pesta meriah salah satu temannya. Gio menginginkan hal serupa, tetapi keadaan ekonomi keluarga jelas tidak akan bisa merealisasikannya. Namun berucap demikian rasanya tak berguna. Tidak akan ada yang berubah.

"Iya, nanti aku beresin!"

"Janji?" Hana mengacungkan telujuk, mendikte. "Kamu yang ngomong lho, ya. Nggak boleh diingkari."

"Iya, puas?! Lagian kenapa si, Kakak pulang? Bukannya hari ini kerja, ya?"

Hana kembali mengatupkan bibir. Urung memberi wejangan lagi. Kalimat terakhir Sarah tak ayal membuatnya menghela napas. "Pak Ginanjar lagi pulang kampung, anaknya sakit. Sementara warung ditutup. Kamu kira ibu bakal biarin Kakak cuti cuma karena dia mau pergi?"

"Yakin karena itu?"

"Maksudmu?" Menukikan alis, Hana mulai mencari sesuatu dari air wajah Sarah. Gadis itu menatapnya dengan sorot tak terbaca.

"Berarti serius bukan karena Kakak dipecat? Kayaknya pas temen Kakak datang itu, ada deh ngomongin kerja-kerja gitu," lanjut Sarah.

Lagi, Hana dibuat tak berkutik. Dalam hati dia merutuki kebodohannya yang percaya jika Sarah benar-benar tidur awal kemarin malam. Lagi pula tak seharusnya Hana membicarakaan apa pun tetang tugas konyol itu saat di rumah. Kini dia bingung sendiri mencari dalih. Karena alih-alih percaya, Sarah justru bisa menangkap hal lain dari matanya. Mengembuskan napas kasar, Hana memilih abai dan berlalu ke kamar. Berujar, "kalian keluar dulu, Kakak mau beres-beres." Sebelum membuka pintu dan masuk untuk mengganti seragam. Lalu saat dia keluar dengan kaos hitam pendek pun leging abu-abu panjang, kedua adiknya sudah tak kelihatan. Lekas dia bergerak mengutipi baju kotor lalu mengambil sapu. Dikerjakan secepat mungkin mengingat jam tujuh malam nanti dirinya sudah harus pergi bersama Gabriel lagi.

Setelah satu jam berlalu, semua hal yang mengganggu mata kini tertata rapi kembali ke tempat semula. Hana menghela napas, mengusap keringat di pelipis menggunakan punggung tangan sebelum meyusul adik-adiknya keluar. Namun begitu mendapati mereka, Hana langsung terbelalak tak percaya. Direbutnya plastik penuh jajanan dari pangkuan Gio dan Sarah yang hanya bisa mendongak sambil mengerjap. Dua bocah itu sedang duduk di bangku semen di teras rumah.

"Siapa yang ngirim ini?" tanya Hana, memerhatikan wajah kedua adiknya bergantian. "Kenapa langsung dimakan? Kenapa nggak manggil Kakak dulu?"

"Ih!" Sarah bangkit sambil mendengkus. "Kak Hana berlebihan. Anong tadi dikasih sama temen kakak, kok."

Temen? Seketika Hana menggeram tertahan. Mengentakan kaki pun mengeratkan rahang. Gabriel, pasti cowok itu yang kembali mengirimkannya. Dasar tukang dusta. Padahal baru kemarin dia meminta maaf dan berjanji tidak akan melakukan hal serupa. Tetapi apa? Belum genap 48 jam kesombongannya sudah kembali ditampakan.

"Siniin, ih." Sarah meraih-raih plastik di tangan sang kakak. "Kak Hana!!"

"Nggak, Sarah." Tegas Hana menjawab, mundur beberapa langkah guna menghindari adiknya. "Pokoknya kalian nggak boleh makan ini. Titik."

"Kenapa?" tanya Sarah kesal. "Kakak malu karena nggak bisa beliin kita kaya gitu?"

"Buk ...."

Hana menggantung kalimatnya di udara. Kata-kata yang hendak keluar seolah terbang terbawa desau angin yang menyapu tanah kering. Kemunculan Cekine dari arah samping benar-benar di luar dugaan.
Mengabil kesempataan atas keterkejutan Hana, Sarah segera merampas kantong penuh camilan itu lalu mengajak serta Gio yang sedari tadi memerhatikan keadaan masuk ke dalam.
Menyadarinya, Hana mengembuskan napas keras.

"Hai, Hana." Celine mengangkat tangan, menggerakan jemari lentiknya mengiringi kalimat sapa. Cewek tinggi berkaos merah panjang itu mendekat. "Jajan tadi dari gue, kok. Lo nggak usah khawatir. Lagian nih ya, Hana. Adek-adek lo tuh mirip sama keponakan gue. Jadi nggak salah dong, kalo gue inisiatif bawaain mereka jajan."

"Terus lo ke sini mau apa?" tanyanya alih-alih. "Nggak mungkin alasanannya cuma pengen ketemu adek gue."

Tersenyum tidak jelas, Celine tak langsung merespon. Dia memilih duduk di bangku semen yang tadi ditempati Sarah dan Gio. Hana mengikutinya, menempatkan diri tepat di samping.

Lalu Celine berdeham. "Jadi, lo sama Gabriel beneran nggak ada hubungan?"

Pertanyaan itu lagi? Jengah, Hana mengusap wajah. Entah harus berapa kali, atau dengan cara bagaimana dia meyakinkan Celine jika tak ada apa-apa diantara dirinya dan Gabriel.

"Lo cemburu, Cel?" tanya Hana, membuat Celine meggeleng seketika. Dulu memang sempat tersiar kabar jika Celine dan Gabriel berpacaran mengingat sedekat apa hubungan keluarga keduanya. Namun sampai detik ini belum ada yang mau mengkonfirmasi.

"Gue panasaran, Hana." Celine menegaskan, menyerongkan posisi duduk. Angin yang berembus tak urung menerbangkan tatanan rambut merah panjangnya yang digerai. "Lo tau nggak si, seberapa takutnya gue kalo sampe lo sama Gabriel beneran pacaran dan bukan gue yang tahu lebih dulu. Omg!!"

"Reporter gosip kelas 12 IPA." Hana menarik sudut bibir, menggeleng kecil karena tak habis pikir.

"Yap. Jadi plis, jawab jujur, apa hubungan lo sama Gabriel."

"Nggak ada, Celine!" Sedikit memekik, Hana mendengkus. "Sumpah demi Tuhan."

"Gue nggak percaya, adek lo aja bilang kalo Gabriel pernah main ke sini, terus ngajak lo jalan-jalan."

"Hah?"

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang