part 29.

35 7 0
                                    

Gabriel tak bisa tinggal diam. Tak peduli sekukuh apa pun Hana memintanya bungkam, dia harus bersikap jantan meski berarti memohon pada Rita untuk mencabut tuntutan. Memang usia Hana, termasuk dirinya belum genap 18 tahun hingga penahan di sel tak bisa dilakukan, tetapi tetap saja berurusan dengan kepolisian akan menjadi cacat seumur hidup. Pandangan negatif dari orang-orang sekitar jelas mempengaruhi hubungan sosialnya untuk masa yang panjang. Gabriel tak mau terus dikungkung rasa bersalah tak berujung. Melihat air mata Hana jatuh saja sudah cukup membuatnya hampir gila, apa lagi membayangkan cewek itu menanggung hukuman atas ulahnya. Demi Tuhan, Gabriel geram pada diri sendiri juga Rita. Sejak kedatangan perempuan itu hidupnya tak pernah ada kata tenang. Selalu dan tetus diselimuti kebencian juga frustrasi. Namun sekarang bukan waktunya menuruti ego. Demi Hana, Gabriel berusaha menahan diri agar tak memaki. Keberadaan papi di rumah Rita malam ini akan dia lupakan seolah-olah spekulasi tak mengenakan yang berkelindan di kepala lesap. Maksudnya, untuk apa dua orang dewasa tinggal bersama di satu atap tanpa adanya ikatan atau urusan kerja, juga orang lain selain pembantu rumah tangga jika bukan untuk itu? Sang laki-laki bahkan rela meninggalkan anak satu-satunya, berdalih di apartement dan menatikan ponsel.

"Jadi?" Anjas memecah hening, tak tahan menunggu ucapan putranya yang belum juga dilanjutkan dari beberapa menit lalu. "Apa yang membawa kamu tiba-tiba ke sini, Gab?"

Menghela napas, Gabriel mengangkat pandang dari ubin, menegakkan punggung yang sejak tadi menunduk dengan kedua tangan bertopang di paha. Dia tidak tahu harus mulai dari mana menjelaskan situasinya. Rita pun belum membuka suara apa-apa terkait Gabriel yang ikut ambil dalam ini semua. Perempuan itu seperti sengaja membuat dia benar-benar bertekuk lulut di hadapannya. Tanpa sadar rahang Gabriel mengerat, membuat urat lehernya terlihat. Gemuruh di dalam dada semakin menggila, tetapi untuk sekadar mendengkus saja Gabriel tak berdaya. Masa depan Hanaya Salsabila, si murid teladan, Kakak dari kedua adik dan tulang punggung keluarga ada di tangannya.

"Aku mau minta maaf sama Rita."

Kontan papinya mengerutkan dahi, menatap Rita yang hanya tersenyum tipis sebelum melempar tanya. "Serius? Untuk apa?"

"Aku yang nyuruh Hana," tandas Gabriel cepat. "Aku bayar dia buat nyebarin berita negatif tentang Rita."

"Tunggu. Berita? Hana?" Nampak bingung, papinya meminta jeda. Membasahi bibir lalu bercih. "Kamu nggak lagi berusaha jadi pahlawan kesiangan, kan, Gabriel?"

"Aku yang nyuruh Hana," ulangnya penuh penegasan. "Foto-foto di hotel, minimarket, mall, sampai kalimat provosikasi, semuanya dari aku. Hana cuma boneka yang aku manfaatin buat ngancurin repotasi Rita dengan iming-iming uang lima juta."

"Gabriel!" Anjas meninggikan suara, memantul ke langit-langit tinggi gedong bercat merah muda ini. Laki-laki itu menggeleng tak habis pikir. "Kamu nggak waras, hah?!"

Ingin sekali Gabriel membalas sarkas, menatap tajam papinya sambil mengangkat dagu, bukan malah diam bak boneka kehabisan daya. Mungkin orangtuanya tak ada yang sadar jika perpisahan mereka membawa dampak sangat besar bagi Gabriel. Beranggapan bahwa seiring berjalannya masa dia akan bisa menerima.

"Kamu nyadar resiko dari ulahmu itu?!"

Gabriel mengangguk.

Mendesah frustrasi, papinya mengusap wajah kasar. Bangkit dari sofa seberang, mondar-mandir sambil berkacak satu pinggang. Sorot mata penuh amarah terpancar jelas. Lalu tak lama dia kembali menghempaskan badan di tempat semula.

"Oke, terserah kamu, Gabriel. Papi angkat tangan. Silakan selesaian dan cari solusi sendiri."

"Aku siap terima konsekuensi apa pun. Tapi plis, lepasin Hana. Dia sama sekali nggak bersalah."

"Nggak bisa!" Papi berujar dipensif. "Akan ada kasus-kasus serupa kalau nggak diberi efek jera."

"Pi." Kali ini Gabriel menatap sang papi lekat, bergeming sesaat sebelum melepaskan kalimat terkutuk yang dia benci setengah mati. "Sebagai gantinya, aku janji bakal ngerestuin hubungan papi dan datang ke acara pertunangan."

"Itu ...."

"Honey." Rita menepuk-nepuk tangan papi di atas paha, mengangguk kecil memberi tanda. "Beri dia kesempatan. Aku percaya kok, Gabriel nggak akan ngulangin kesalahan yang sama."

Diam-diam Gabriel mengepalkan tangan di samping badan. Kemunafikan perempuan gatel itu membuatnya muak. Cara dia bungkam seolah tak berdaya, lalu tiba-tiba saja memaafkan begitu saja sungguh menjijikan. Namun sialnya, cara itu juga berhasil membuat Gabriel menyerah untuk menyatukan mami-papi.

"Kamu serius? Mereka berdua udah ngerusak nama baik kamu," kata sang papi.

Mengangguk pelan, Rita tersenyum lebar. Anjas menghela napas dalam, kembali menghunuskan pandang pada Gabriel. Tajam. "Oke. Tapi dengan syarat, orangtua Hana bersedia menemui Rita dan minta maaf secara langsung. Dan untuk kamu, Gabriel, berhenti bersikap seperti anak kecil."

***

Gabriel duduk termenung di ujung tangga rumahnya, menekuk satu kaki dan melingkarkan tangan di sana. Derum mobil yang sedang dipanasi pak satpam di depan juga suara samar para ART di dapur meningkahi lengang.

Sebenarnya ada banyak kegiatan yang ingin Gabriel lakukan. Namun pikiran yang masih bercabang membuatnya enggan. Dia dilema. Hana tak menyetujui syarat sang papi semalam. Katanya, jangan pernah libatin orangtua. Lalu saat Gabriel bertanya, "Apa lo bener-bener siap ngadepin ini?" Cewek itu tak bisa menjawab. Hanya menundukan wajah pun membuang napas berat sebelum berbalik badan menjauhi taman sekolah.

Yah, Gabriel tahu jika Hana tak mampu, dan disisi lain dia juga terlalu takut untuk jujur pada bapak juga sang ibu. Akan tetapi diam bukan solusi, jadi .... Perlahan Gabriel mengeluarkan napas lewat mulut, mengangguk kecil untuk meyakinkan diri. Dia melompat bangkit, menarik ujung kaos oblong hitam sebelum mengambil gawai di saku bokser merah yang dikenakan.

Anda
Celi, gue Gabriel. Gue butuh bantuan lo. Kita ketemu di persimpangan deket sekolahan.

***

Celine memandang Gabriel, mengangkat kedua alis sambil menggerakan bibir tanpa suara. Dia sedang berada di rumah Hana. Cowok itu langsung menarinya tadi, berkata untuk tak usah banyak tanya dan ikut saja. Lalu seenaknya dia diperintahkan Celine untuk menjelaskan tentang pekerjaan Hana sebagai pesuruh kelas di depan ibu Hana--perempuan berdaster maroon yang kini tengah menatap penuh tanya.

Gabriel menghela napas, berdecak kecil karena Celine tak bisa sepenuhnya diharapkan. Lantas dia mengambil surat perjanjian kerjanya bersama Hana di saku jaket hitam, dibeber di atas meja makan sebelum diangsurkan ke depan.

"Ibu mungkin bisa baca sendiri," katanya sopan.

Meski tak paham dengan maksud kedua remaja di hadapan, Tuti berusaha menuruti apa yang diminta. Perempuan itu membaca surat itu perlahan, mulai menukikan alis saat mencerna apa sisi di dalamnya.
Menyadari itu, Gabriel berdeham. Menautkan tangan di atas meja bersikap serius. Berbisik, "Giliran lo buka suara." Pada Celine di sampingnya.

Celine mengangguk, sedikit banyak menangkap keadaan. Dia menyelipkan kedua anak rambut di belakang telinga. "Beberapa bulan ini Hana bekerja di kelas, Tante. Dia jadi pesuruh kita semua buat dapetin uang saku. Jujur, aku kasihan banget sama Hana, nggak tega juga liatnya. Tapi ya gimana, itu yang dia butuhin. Hana nggak pernah mau nerima bantuan apa pun dari temen-temen meski lagi susah."

"Dan seperti yang Tante baca." Gabriel menyambung, membuat ibu Hana tak memiliki kesempatan untuk buka suara. Perempuan itu menatap secara bergantian menuntut kelanjutan. "Hana juga nerima tawaran dari saya demi bisa kuliah dan ngebantu ekonomi keluarga. Mungkin Hana nggak pernah cerita tentang pemecatannya di warung soto sama Tante karena takut Tante kecewa. Tapi selama ini, dia benar-benar menderita sendirian."

Gabriel dan Celine saling tendang di bawah meja. Reaksi Tuti setelah mendengar semua jauh dari yang Gabriel duga. Wanita itu hanya membaca lagi surat di tangan, bergeming.

"Sekarang Hana lagi ada masalah besar, Tante." Lagi Gabriel berujar. "Dia diancam akan dilaporkan ke polisi karena ketahuan saat sedang melakukan tugas dari saya. Satu-satunya syarat bebas, Tante harus bersedia minta maaf sama Rita."

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang