part 20.

31 12 4
                                    

Tak ada pilihan, Hana terpaksa mengajak Celine ikut serta. Restoran tempatnya bertemu dengan Gabriel tak terlalu jauh dari rumah. Cukup dua belas menit perjalanan menggunakan angkot biru yang biasa menarik penumpang saat malam. Keadaan di dalam kendaraan   itu sesak oleh asap rokok beberapa cowok bergaya punk. Hana sesekali berdeham guna melonggarkan tenggorokan, sementara Celine tak henti-hentinya berbisik ketakutan sambil menutup hidung di balik punggung Hana. Katanya, dia teringat adegan salah satu film yang pernah disaksikan. Lalu saat Hana memintannya agar diam, cewek itu justru semakin mengeratkan tangan.

"Lo nggak khawatir gitu, kalo angkotnya dibajak terus lo dibuang di pinggir jalanan sepi?" bisiknya, bergidik kecil. "Asli, gue sampe kepengen pipis, Hana."

"Mereka nggak bakal macem-macem." Hana menengangkan, melirik sekilas ke arah tiga cowok yang duduk di seberang. Mereka nampak tak acuh dengan keberadaannya dan Celine. Jika boleh jujur, Hana pun sedikit deg degan, mengingat ini kali pertama dia berada di satu angkot bersama mereka. Mungkin jika tak ada Celine bersamanya, Hana akan memilih berjalan kaki menuju lokasi. "Lagian, gue kan udah ngelarang lo ikutan. Tanggung sendiri akibatnya."

"Dih! Apa hubungannya, coba. Tadi kalo lo nurut sama permintaan gue buat mesen taxi, ini semua nggak bakal terjadi."

"Taxi mahal, Cel. Udah si, ini bentar lagi sampai."

"Ya ampun, Hana!" Celine meremat lengan atas Hana. Dia benar-benar merasa tidak nyaman, apa lagi saat salah satu dari mereka mengangkat wajah. Matanya terlihat merah, bibir menghitam dan tato di bawah mata kanan. Don't judge a book by its cover, tetapi sungguh, penampilan mereka sangat menyeramkan bagi Celine. "Di mana si restorannya? Ampun dah!"

Terkekeh kecil, Hana menggeleng samar. Dia geli menyadari wajah Celine yang gregetan. Dirogohnya saku sweater hitam yang dikenakan pun mengeluarkan uang sepuluh ribuan untuk membayar dua orang.

"Bang, kiri!" seru Hana sebelum mobil menepi perlahan tepat di bawah tiang lampu jalan. Ada beberapa orang yang berdiri di sana. Lalu lalang pejalan kaki tak henti-hentinya tertangkap mata. "Lepasin dulu, Cel. Susah turunnya."

Gamang, Celine melakukan perintah Hana. Dia tersenyum kikuk pada para laki-laki itu sambil meruduk keluar angkot. Badannya yang lebih jangkung dari Hana sedikit menyulitkan saat ingin mempercepat gerakan. Kemudian begitu berhasil menapakan kaki ke torotoar pinggir jalan, cewek itu menghela napas panjang seolah baru saja dibebaskan dari hukuman. Udara hangat Jakarta menguapkan ketegangan yang sejak tadi mengiasi wajah tirusnya.

"Astaga, Hana! Gue beneran nggak terima kalo ternyata kalian berdua ngibulin gue."

"Kita liat aja nanti."

Hana melangkah lebih dulu memasuki area parkir restoran. Lebih dari lima motor dan tiga mobil bertengger di lahan berpaving ini. Bangunan dua lantai bergaya klasik bercat coklat kayu itu ramai didatangi pengunjung yang mayoritas berusia belasan. Hana mendorong pintu kacanya, bel kecil yang terletak di bagian atas bergemerincing sebagai tanda. Namun keriuhan yang disuguhkan puluhan orang di meja masing-masing berhasil melesapkannya. Lalu tak lama Celine menyela di samping Hana, menyedarkan mata mencari keberadaan Gabriel.

"Mana anaknya?" tanya cewek itu tak sabar.

"Ada di kursi nomer lima. Di bagian belakang," jawab Hana sambil memasukan kedua tangan ke saku sweater. "Ayo. Nggak enak berdiri di tengah kayak gini."

Dan tanpa menunggu lagi, kedua remaja itu berjalan menyusuri sekat antar meja. Aroma masakan yang para pelayan bawa tercium tajam. Sahut-menyahut keras suara dari semua pengunjung menjadi musik pengantar.
Di meja pojok samping lukisan besar, Gabriel duduk pun melambaikan tangan. Wajahnya seketika berubah bingung kala tahu Celine ikut menghampiri. Lekas dia bangkit, mengangkat kedua alis pada Hana.

Hana menghela napas, mengedikan kedua bahu. Gabriel mendesah, mengusak rambut bagian belakang sebelum beringsut tepat di depan Hana. Celine yang masih tak tahu dengan situasinya hanya menatap penuh tanya.

"Lo ngapain ajakin ember bocor, Hana!" Geram, Gabriel berujar lamban. Gigi-giginya mengatup, membuat gerak bibirnya tak bisa dibaca. "Sengaja mau ngerusak rencana gue?"

"Gue punya alasan. Dengerin dulu."

Pelan Gabriel menarik Hana menjauhi meja. Berhenti di depan toilet pria. Di sini sangat sepi, jadi bebas saja jika Gabriel ingin berujar keras saat ini.

"Tolong kasih tau gue apa yang terjadi?!" katanya penuh keseriusan. "Kalo cuma masalah remeh temen, gue nggak bakal lepasin lo, Hana!"

"Kok jadi ngancem, si!"

"Kan udah gue bilang dari awal, tutup mulut lo."

"Gue nggak ngomong apa-apa sama Celine, Gab. Dia sendiri yang kepo karena liat lo pas di hotel!"

"Hotel?" Alis Gabriel bertaut. "Hotel apaan?"

"Hotel Cempaka. Intinya, ini semua terjadi karena kebodohan lo sendiri, oke. Lo tau nggak, Celine sampe nyogok adek gue segala buat nyari tahu!"

Menormalkan ekspresi, Gabriel menggeleng tak mau tahu. "Tapi bukan berarti lo bisa langsung kasih tahu rahasia gue!"

"Belum." Tegas Hana berujar. Intonasi suaranya penuh penekanan. Dia tak suka disalahkan Gabriel seperti ini, seakan-akan dirinya tak bisa memegang janji. Karena percaya atau tidak, Hana pun takut ketahuan oleh teman sekelasnya melakukan tugas ini. Terlebih oleh kedua orangtua dan adik-adiknya. "Lo denger gue ngomong, 'kan? Belum, Gabriel. Belum. Gue ajak ketemu lo ya buat diskusiin solusinya."

Gabriel bergeming menatap Hana. Seketika merasa serba salah. Kasar dia mengusak rambut, berkacak pinggang satu tangan pun mendesah frustrasi. "Terus sekarang kudu gimana?"

"Gue nggak tahu." Ketus Hana menjawab. Cewek itu memalingkan wajah sambil bersedekap.

Menghela napas dalam, Gabriel mengusap wajah. Tak ada gunanya ribut seperti ini dan tak mau saling mengalah. Sekarang yang lebih penting adalah menjaga semuanya aman terkendali. Gabriel tidak mau jika Celine tahu secuil apa pun urusannya. Namun bagaimana mengelabui cewek itu, dia beluh tahu.

"Han," panggilnya pelan, mencoba mengembalikan suasana. "Oy?"

"Apa?" Menoleh ogah ogahan, Hana menekuk wajah. Gabriel melempar senyum yang mau tak mau membuatnya urung kesal. "Udah punya ide?" tanyanya, menurunkan tangan.

Gabriel menggeleng kecil. "Mungkin stop dulu sampe tu cewek lupa."

"Kalo tanpa kejelasan, Celine nggak bakal berhenti buat nyari tahu. Gue kenal banget tabiat dia."

"Jadi ....?" Cowok itu mengangkat kedua alis. "Lo ada cara?"

"Yah, ada."

Setelahnya mereka saling pandang penuh arti, sama-sama mengangguk sebelum keluar dari sana. Hana melangkah lebih dulu, menghampiri Celine yang tengah termangu dengan segelas jus jeruk di gelas tinggi. Mata cewek itu kontan menajam, menuntut penjelasan sebab ditinggal sendirian.

"Habis ngapain si, berdua? Sekarang Gabrielnya mana?"

"Gue habis dari toilet. Gabrielnya nggak ... nah, itu." Hana mengedikan dagu. Celine memutar badan singkat lalu kembali ke posisi semula.

"Jadi, kalian emang pacaran, 'kan? Ngaku aja si, nggak usah banyakan anu."

Lantas Gabriel menarik kursi di sebelah Celine dan Hana. Dia meletakan tas di atas meja, mengeluarkan buku dan pulpen pura-pura belajar bersama. Kadang kebiasaan buruknya yang suka menyimpan tas di mobil ada gunanya.

"Oke, Hana. Malam ini lo janji mau ajarin gue algoritma."

"Oke." Hana berdeham kecil, sadar raut kecewa Celine.

"Jadi ini?" Mengembuskan napas kasar, cewek berambut merah bata itu melipat tangan. "Ini juga alasan lo nolak tawaran gue, Hana?"

"Sorry." Hana meringis. "Tapi suer, Gabriel lebih dulu nawarin gue jadi guru private."

Tersenyum miring, Gabriel membatin. Kayaknya semua cewek emang drama Queen, deh.

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang