"Gue nggak mau pakai!" Tolak Hana, mendorong paper bag ke dada Gabriel. Dia mendengkus, berbalik badan lalu melangkah lebar. Beberapa etalase yang dilewati nampak ramai, silih berganti para pengunjung keluar masuk pun berseliweran di seluruh tempat.
Dari belakang, Gabriel memanggil. Namun karena tak diindahkan, dia lantas berlari kecil. Mendahuli langkah Hana kemudian berjalan dengan posisi terbalik. Cewek itu bersedekap, berdecak pelan pun mengalihkan pandang ke lantai bawah lewat besi pembatas.
"Gue serius, Hana," kata Gabriel. "Ini nggak seburuk yang lo kira."
Berhenti melangkah, Hana membuang napas kasar. Kedua tangannya diturunkan. "Gue masih nggak ngerti. Sebenernya gimana dan kenapa harus nyamar segala?"
Gabriel bergumam sambil menggaruk sebelah alis. Jika bukan karena kondisinya yang memaksa, Gabriel juga tidak mau melakukan ini. Membuang uang dan merepotkan. Namun kejelian Rita dalam mengidentifikasi tak memberi pilihan lain selain harus bertransformasi. Karena jika sampai perempuan itu memerogokinya lalu mengadu ke papi, bisa dipastikan akan ada hal tak mengenakan terjadi. Papinya tidak seperti orangtua kebanyakan yang menghukum anak dengan pencabutan fasilitas atau mengirimnya ke luar negeri, melainkan dengan cara implisit yang bisa membuat Gabriel tunduk. Seperti tiba-tiba menikah, mungkin? Dan itu lebih menyebalkan dari pada pemotongan uang saku selama satu tahun.
"Bagian dari tugas," jawab Gabriel, berusaha menujukan kuasa. Benar, dia harus bisa membuat Hana menuruti perintahnya tanpa banyak protes.
"Tapi ...." Hana menggaruk rambut kasar sambil mendesah. "Gue nggak biasa pakai gaun. Nggak nyaman!"
"Cuma malam ini doang, Han. Nggak cuma lo yang nyamar, gue pun sama."
Debas panjang lolos dari mulut Hana. Cewek itu memasang wajah kesal, bingung pun keterpaksaan lalu menarik paper bag di tangan kanan Gabriel.
"Di mana kamar mandinya?"
Menyeringai lebar, Gabriel bertepuk tangan satu kali. Berbalik badan pun memberi intruksi menggunakan jari. "Ikuti gue."
Hana menyeret langkah di belakang punggung cowok itu. Berjalan kurang lebih sekitar sebelas meter untuk sampai ke toilet. Di area ini lumayan lengang, hanya ada satu perempuan yang mungkin sedang menunggu temannya di dalam.
"Gue ganti dulu, nanti masalah make up sama wig kita pake pas di mobil."
"Siap," jawab Gabriel memberi hormat.
Lekas Hana berlalu, masuk ke bilik nomor tiga yang pintunya terbuka. Dia membuka kemeja, menyisakan tangtop hitam sebelum dibalut gaun merah tanpa lengan. Meski tali hitam yang melintang di bahunya nampak merusak penampilan, Hana tak peduli. Toh niatnya bukan untuk pamer. Dia keluar setelah milipat kemeja dan celana jeans, berhenti sejenak di depan washtafel berkaca panjang di temboknya.
Pelan Hana menarik napas, dikeluarkan lewat mulut sambil menatap pantulan diri sebatas dada. Tulang bahunya kentara, leher jenjang dengan rambut pendek legam tergerai lurus. Dia berkedip, mata agak sipit dengan alis lurus itu menyorot jengah. Tak bisa membayangkan bagaimana nanti saat harus berdandan tebal. Tahi lalat kecil di hidung mungkin akan tertutup foundation, dan bibir tipis keringnya disulap menjadi merah merona.
Kasar Hana mengembuskan napas. Flat shoes karet yang dikenakan berdecit saat kakinya menjengkit karena permukaan licin keramik.
"Hana, udah belum?" seru Gabriel dari luar, melipat tangan di bawah dada sambil bersandar punggung ke tembok.
Tanpa menjawab, Hana keluar. Setelan miliknya disampirkan di lipatan lengan kanan. Cowok itu lantas menegakan posisi badan, memindai penampilan Hana dari atas sampai bawah. Yah, meski tak putih-putih amat, setidaknya tidak ada bekas koreng di kaki dan tangan cewek itu.