part 14.

29 7 0
                                    

Hana menggigit kuku jari, duduk termenung di meja belajar dengan gawai menyala di depan. Matanya tak lepas menatap layar, perasaan gelisah yang sejak tadi singgah semakin mengganjal di dada. Lagi, Hana menengguk air putih di gelas tinggi tak jauh dari sana. Isi yang awalnya tersisa setengah kini tandas tanpa sisa.

Mendesah frustrasi, dia membenturkan dahi ke pinggiran meja. Diusaknya rambut kasar hingga kusut berantakan sebelum sepasang tungkai yang menggantung menendang-nendang kaki dipan di samping meja. Hana benar-benar tidak mau melaksanakan tugas kedua dari Gabriel. Menurutnya, itu sangat berlebihan dan memiliki resiko besar. Bagaimana pun hukum akan tetap berlaku jika dia ketahuan. Sudah banyak contohnya di berita, penyebar video atau foto untuk merusak nama bisa dikenakan sangsi tegas. Apa lagi bila ikut memprofokasi masa di sosial media. Gabriel sungguh gila, tetapi lebih gila lagi dirinya yang secara sadar menandatangani surat perjanjian. Harusnya waktu itu Hana menerima tawaran Celine, kan? Meski tak sebesar gaji yang Gabriel beri, setidaknya tak ada resiko besar yang menanti. Kini dia menyesal, ingin mundur saja dari tugas ini.

Memang cowok itu kukuh meyakinkan jika tak akan ada hal buruk terjadi, semua file yang ingin dikirimkan ke akun gosip adalah suatu kebenaran tanpa adanya rekayasa. Namun semakin lama Hana dipikirkan, jalan buntu justru kian timbul ke permukaan. Menutup logika dan mengaduk isi kepala, mengundang rasa pening yang singgah di tengkuk hingga menjajah ke seluruh wajah.

Lalu tiba-tiba pintu kamarnya dibuka. Lekas Hana menegakan punggung juga memutar leher, bergeming tak percaya jika Sarah yang berdiri di bibir pintu. Sudah lama gadis itu tidak masuk ke sini sambil membawa buku. Gelagat segan tetapi butuhnya sukses membuat Hana tersenyum lega.

"Ada apa, Dek?" Hana bangkit, menarik ujung kaos abu-abu longgar, dipadukan celana hitam olahraga yang dikenakan. Busana santai kesukaan Hana. "Udah, masuk aja sih. Nggak enak banget ngejogrog di situ kaya hantu."

Berdecak kecil, Sarah beringsut ke depan. Menutup pintu kamar sang kakak lalu duduk bersila di karpet samping ranjang, bersandar punggung pada lemari baju. Buku yang dibawa sudah dibuka lebar, memperlihatkan sederet angka. Hana paham maksud Sarah meski gadis itu tak bersuara. Lekas dia menempatkan diri, mengambil alih buku untuk dibaca guna memahami soal. Tak lama setelahnya senyum tipis terbit di bibir cewek itu.

"Ini harus dikali dulu, baru pindah ruas," katanya, mencoret lembar kosong. "Tanda yang mengikuti juga harus berubah. Kalo di kiri min berarti jadi plus di kanan."

Menggaruk rambut, Sarah menatap buku yang disodorkan sambil mengernyit tak paham dengan penjelasan barusan. Otaknya yang terbilang bebal memang harus diulang-ulang. Menyadari raut sang adik, Hana mengulas senyum. Mencontohkannya secara lebih gamblang lengkap dengan susunan penyelesaian. Sarah cukup lama tak bergeming, mencermati lembar bukunya sebelum mengangguk kecil. Dia meraih pulpen yang Hana angsurkan, sedikit membungkukan badan guna mengisi soal.

"Oke, berarti kita lanjut nomer dua, ya?" kata Hana. Setelahnya dia berdeham, membacakan soal dengan lantang. "Di dalam kelas VII-C terdapat 35 siswa. Setelah diseleksi terdapat 21 siswa yang menyukai pelajaran matematika, 20 siswa menyukai IPA dan 10 siswa yang suka dengan keduanya. Jumlah dari siswa yang tidak suka dengan keduanya adalah ... siswa?"

Hana menarik napas sejenak sebelum melanjutkan, "pertama, kamu harus ganti dulu jumlah pakai simbol S ... eh, udah tahu kan, ya?"

Sarah mengangguk kecil tanpa suara.

"Oke, berarti langsung masukin aja ke rumus. n (S) = (M) + (B) - (M B) + (T)."

"Kok gampang, sih?" tanya Sarah, merengut. "Perasaan pas dijelasin Bu Agni nggak gini."

"Ish." Hana memukul pelan lengan Sarah. "Udah kaya gini dari jamannya ibu. Kamunya aja yang bengong pas diterangin, makanya nggak paham."

Berdecap kecil, Sarah mencebikan bibir. Menarik kasar buku di tangan Hana. Dia berusaha mengisinya. Hana tersenyum tipis melihat itu, sesuatu di dadanya seperti diangkat keluar kala sadar jika dirinya masih bisa diandalkan. Lalu keduanya sama-sama tenggelam. Saling adu, meninggikan suara pun rebutan pena. Namun hal tersebut malah menghangatkan suasana rumah yang sepi karena ditinggal ibu dan Gio berbelanja. Entah kapan terakhir kali pasangan Kakak-beradik itu sedekat ini. Kesibukan Hana dan masalah keluarga sejak beberapa tahun silam yang seolah terus timbul membuatnya larut dengan isi kepala masing-masing.

"Itu soal himpunan, Sar," kata Hana, menekuk satu kaki pun menopangkan tangan di atas dengkul. "Ada conothnya di halaman belakang."

Suara halaman yang dibalik menyahuti ujaran itu. Sarah mengetukan pulpen ke atas buku sambil manggut-manggut. Kembali ke soal, mulai mengerjakan.

"Itu faktor dari sepuluh, Sar."

"Iya." Sarah mendengkus. "Bawel banget."

Terkekeh kecil, Hana menurunkan kaki menjadi bersila. "Ngomong-ngomong, cita-cita kamu apa, Sar?"

"Nggak ada," jawabnya cepat.

"Ih, serius."

"Lima rius malah." Mengambil tipX, Sarah melanjutkan, "Jangankan cita-cita, lanjut SMA aja aku nggak minat."

"Lho?" Seketika alis Hana menukik tajam. Tidak minat? Yang benar saja. Memangnya mau jadi apa dia jika tak sekolah. Menikah? Tidak, Hana tidak akan membiarkan. Semua adiknya harus bisa menjadi lebih dari dirinya. "Kenapa?" lanjut cewek berhidung kecil itu sambil menutup paksa buku sang adik.

Sarah memicingkan mata menatap tak suka. "Apaan si, Kak. Aku lagi ngisi, juga. Itu buat senin besok."

"Kakak tanya, kenapa nggak mau lanjut SMA?" Ulang Hana.

"Dih, serah aku sih."

"Sarah."

Yang ditanya diam bak patung. Hana mendesah, menggeser badan lebih dekat. "Ada apa? Cerita sama Kakak."

"Apa kalo aku cerita Kakak tahu solusinya? Iya?"

Kini Hana yang kehilangan kosa kata.

"Ibu nggak ada biaya, dan aku nggak sepinter Kakak yang bisa dapet beasiswa!" lanjut Sarah, mengepalkan tangan bersamaan dengan mata berkilat menahan emosi. Ada air yang tengah menggenang. "Aku pusing denger Ibu ngeluh terus. Aku bingung karena nggak bisa bantu apa-apa selain jadi beban!"

"Dek ...."

"Aku takut sama orang yang suka marah-marah nagih hutang!" Sela Sarah. Anak sungai mulai mengalir perlahan dari sudut matanya. "Kakak nggak pernah ada saat mereka datang gedor-gedor pintu!"

Mengerjap pelan, Hana menurunkan pandang. Hatinya berdesir. Ada rasa marah yang bergelung di setiap helaan napasnya yang panjang. Riak wajah sang adik membuat dia tertampar akan kenyataan yang selama ini coba disangkal. Lalu saat Sarah bangkit keluar kamar, Hana hanya bisa menatap punggung kecilnya menghilang tanpa bisa menahan. Benar kata Gabriel jika dirinya memang tak punya pilihan. Tak lama derit pintu depan terdengar bersamaan dengan suara Gio, disusul debas keras sang ibu yang pasti kelelahan karena harus berjalan bolak balik ke pasar tradisonal.

"Hana!" teriaknya. "Bantuin ibu masak, buruan!"

Mengusap wajah kasar, Hana bangkit. Mengambil gawai di meja belajar sebelum berlalu menghampiri ibunya di dapur.

"Nggak kerja kamu? Kok belum siap?" Ketukan pisau di atas talenan mengiringi pertanyaan barusan. Lima siung bawang merah tengah menjadi objek ketajaman besi mengkilap itu.

Hana menggeleng kecil, mengikat rambut menggunakan karet gelang yang tergeletak di pantri. Dia mengambil kangkung di plastik, dimasukan ke wadah sebelum dicuci di wastafel.

"Kenapa? Ambil cuti?" Wanita berdaster merah bunga-bunga itu bangkit, berdiri di damping putri sulungnya yang lebih tinggi. "Heh, beneran?"

"Bu ..."

"Siap-siap sekarang. Buruan. Ibu nggak mau ya kalo kamu sampe dipecat karena suka malas-malasan gini. Kamu tuh udah gede, Hana, jangan manja. Jangan dikit-dikit libur."

Apa? Malas-lasan? Manja? Membalik badan, Hana menatap jengkel. Ucapan yang wanita itu lontarkan benar-benar melukainya. Bagaimana bisa kerja keras Hana selama ini tak terlihat sedikit pun? Tidak adakah rasa iba saat melihat dia pulang malam dengan peluh di dahinya?

Tbc ...

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang