Lampu warna-warni berkedip bergantian, musik remix yang disetel keras bersahutan dengan teriakan heboh banyak orang di tengah sana. Seorang bartender terlihat asyik mengocok botol minuman lalu dituangkan serempak di deretan gelas mini di meja bar. Cairan kekuningan itu menciptakan busa seperti soda, pun bau menyengat menusuk hidung sampai menggumpal di dada. Hana benar-benar kesulitan menghela napas secara bebas. Udara di sekitar terasa pengap dan sesak oleh asap dari beberapa puntung rokok di atas meja tak jauh dari tempatnya. Melirik ke kana-kiri, tak ada spot yang nyaman untuk disinggahi. Termasuk kursi besi dan meja bundar kecil yang sedang Hana tempati.
"Sampai kapan kita mau di sini?" tanya Hana, berbisik cukup keras di telinga Gabriel. Cowok itu sejak tadi manggut-manggut sambil mengetukkan jari, mungkin lupa dengan tujuan utamanya. "Kalo emang nggak penting banget, gue pengen keluar."
"Bentar, Han." Gabriel menyeruput gelas soda bagiannya, bersendawa kecil sebelum kembali larut pada suasana. Pandangannya tak sedikit pun teralihkan.
Hana menghela napas, menyangga sebelah pipi dan menatap malas gerakan sempoyongan orang-orang di depan sana. Mereka sudah mabuk berat, terutama para wanita.
Sorak sorai terdengar lebih keras saat DJ wanita itu menyerukan aba-aba sebelum memainkan Turntable. Lalu di sofa merah paling pojok—entah pasangan atau bukan—wanita ber-dres hitam kerat sedang melakukan adegan kissing bersama pria botak berbadan gempal. Kontan Hana bergidik pun mengalihkan mata, jengah sendiri melihatnya. Dan tepat saat itu, seorang wanita bergaya nyentrik bershal bulu merah muda menghampiri tempat mereka, duduk di sebelah Gabriel sambil mengibaskan rambut merah panjangnya maja. Rok berwarna hijau muda, kontras dengan tangtop hitamnya.
Gabriel menggeser kursi besi tempatnya duduk menjadi lebih dekat dengan Hana.
"Halo, tampan." Dia menyentuh tangan Gabriel di atas meja, mengedipkan satu mata menggoda.
Refleks, Gabriel langsung menariknya. Menatap tak terima. "Buset! main sosor aja!" serunya.
Wanita itu terkekeh kecil, suaranya terdengar berat. Dari dandanan memang sudah nampak jika dia bukan perempuan tulen. Lengan atasnya kekar berotot, telapak tangan kasar dan fitur wajah yang tak bisa di sembunyikan meski disapu bedak tebal, eyeshadow kuning terang lengkap dengan lipstik merah muda memenuhi bibir.
"Ih, si tampan jual mahal!"
"Astaga!" Gabriel bergidik geli berkali-kali, mengusap tengkuk yang terasa dihinggapi bulu-bulu halus. Dia merubah posisi duduk menjadi memunggungi, menatap Hana yang ternyata sedang menahan tawa. "Apa lo?" lanjutnya pada cewek itu.
Hana berdeham, menegakan badan pun menumpukan satu tangan ke meja. Lalu tak lama dia cekikikan, berbarengan dengan sepasang tangan berkutek merah melingkar ke pundak Gabriel. Gabriel terbelalak dan bangkit secara spontan, membalik badan. Menatap waria itu geram.
"Apaan si, lo. Ganjen amat!" sembur Gabriel jengkel. Keributan di ruangan penuh lampu ini mendistraksi nada tinggi suaranya. "Jauh-jauh sana dari gue!"
Bukannya enyah, si pelaku justru bangkit sambil menjilat bibir bawah. Gerakan menjijikan yang jelas saja membuat Gabriel mundur waspada sampai pinggangnya terpentok pinggiran meja. Dia tahu akan sangat beresiko jika menciptakan keributan di sini, belum lagi rencananya yang belum berjalan satu pun. Karena sejak dari tadi Gabriel mengamati Rita beserta teman-temannya, perempuan itu belum juga menunjukan sisi buruk. Tidak ada anggur atau rokok yang ada di mejanya. Mereka terlihat seolah-olah hanya bertandang guna mengusir jenuh. Padahal Gabriel sudah siap mengambil gambar sebanyak mungkin menggunakan gawai di saku dalam jas. Dia ingat betul pernah menemukan satu bungkus rokok di tas Rita, tetapi begitu diadukan ke papi, dia malah diminta diam saja. Jadi satu-satunya cara menyadarkan sang papi adalah lewat media, biarkan publik menilai bagaimana kelakuan Rita.
"Heh! Mau apa, lo?!" gertak Gabriel mengacungkan telunjuk, tetapi lagi-lagi tak diacuhkan. Tak tahan, dia lantas menarik Hana keluar. Cewek itu tertawa keras setelah sampai ke parkiran.
"Halo, tampan," kata Hana, menirukan intonasi waria tadi.
"Han!" tegur Gabriel masih menyeret tangan Hana.
"Tampan, oh, tampan."
Mendengkus kecil, Gabriel menghentikan kaki tiba-tiba. Melepaskan genggaman sedikit keras lalu menatap tajam. "Seneng lo ya, ngejek gue, hah!"
"Buk ...." Hana berdeham, mengalihkan pandang dari wajah Gabriel yang mendadak berubah serius. Mungkin dia sedang benar-benar marah. "Sorry."
Setelahnya Gabriel mengacak gemas wignya, berjalan mondar-mandir di samping mobil, pun sesekali menendang udara. Waktu dan uang terbuang tetapi rencana yang sudah disiapkan gagal total. Semua gara-gara perempuan jadi-jadian itu. Bisa-bisanya dari sekian puluh laki-laki di dalam dia malah datang ke mejanya.
"Uh! Gedeg banget gue!" geram Gabriel, mendengkus keras-keras. Matanya menatap nyalang pintu club di ujung sana, kemudian pelahan mengedar ke area parkir berpaving ini yang ramai diisi kendaraan roda empat. Mobil Rita tak terlihat di mana pun. Gabriel mengembuskan napas gusar, diriliknya Hana yang sedang melipat tangan di bawah dada juga bersandar ke pintu mobil. Cewek itu lantas mengangkat kedua alis.
"Why?" tanyanya. "Mau masuk lagi?"
Bukannya menjawab, Gabriel malah melepaskan jas. Mendekat ke arah Hana, lalu secara tak terduga menyampirkan ke bahunya. Gabriel sadar jika hawa malam yang semakin larut terasa dingin, dan pakaian Hana mengekspos sempurna kedua lengannya. Dia tak mau ambil resiko, jika Hana demam esok hari, maka dirinya juga harus berhenti melakukan ini. Bukan, bukan sebab tak mampu bergerak sendiri, hanya saja memiliki teman yang bisa diajak diskusi terasa lebih asyik. Atau lebih tepatnya bisa disuruh-suruh ke beberapa tempat yang mustahil Gabriel masuki, seperti toilet perempuan misalnya.
"Nggak usah Ge'er," katanya.
Hana berdecih, menyingkirkan kedua tangan cowok itu sebelum memakainya sendiri. "Jangan ngimpi!"
Setelahnya mereka saling diam, sama-sama bersandar pada mobil. Hana melirik jam di pergelangan tangan. Saat ini sudah pukul 22.42 malam. Jika bekerja di warung dan tidak lembur, maka delapan belas menit lagi dia harus pulang.
"Mau sampe kapan kita nunggu?" Tanpa mengalihkan pandang dari depan, Hana melanjutkan, "gue nggak mau ya, lebih dari jam sebelas."
"Eh, jangan gitu, dong." Gabriel beringsut ke hadapan Hana, menatap Hana. "Malam ini jangan sampe gagal lagi. Gue harus bisa buktiin ke papi kalau Mak Lampir itu nggak pantes."
"Tap ...."
Belum tuntas Hana berbicara, suara lain lebih dulu mengalihkan atensi keduanya. Gabriel menyeringai kecil, menarik ujung lengan jas yang dikenakan Hana, dan memberi instruksi agar cewek itu mengikuti saja.
Pasrah, Hana mengembuskan napas. Berjalan sedikit merunduk di belakang jajaran mobil warna-warni yang terparkir rata. Jarak dengan Rita dan ketiga temannya semakin dekat, membuat obrolan mereka perlahan masuk ke kendang telinga. Gabriel menoleh sambil meletakan telunjuk di depan bibir. Dia berbisik, "tunggu sini aja." Kemudian bergerak sendiri. Berjongkok di samping sedan kuning—dua mobil dari tempat empat perempuan bergaya modis itu berdiri.
Hana yang tetap tak bergeming mengerutkan alis, menggerakkan mulut tanpa suara sebab tak paham dengan anggukan Gabriel dari sana. Barulah setelah target pergi dengan mobilnya, Gabriel bangkit sambil tersenyum lebar. Dia Menghampiri Hana, mengajukan kepalan tangan.
"Tos," ujarnya, meraih tangan Hana. "Besok malam, lo harus ke hotel Cempaka."
"Hah?!" Hana menukikkan alis. "Mau apa? Sendirian?"
Tbc ...