part 36

34 6 2
                                    

Hana mengetuk-ngetukkan jari tunjuk ke meja belajar, menyangga pipi menggunakan tangan lain. Matanya menerawang malam di luar jendela, memikirkan program paket C yang baru saja dia lihat ulang. Tanggal terakhir pendaftaran jatuh dua hari dari sekarang.

Hana masih bingung. Uang tabungan hanya tinggal 2,6jt saja. Jika digunakan untuk mendaftar, maka kedua adiknya harus siap kelaparan. Dan jika menyicil satu tahun dengan uang awal 1jt, Hana ragu juga. Maksudnya, memiliki hutang adalah hal yang Hana hindari selama ini. Hana merasa trauma karena melihat pengalaman ibu.

Pelan, Hana mengembuskan napas. Menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Dia membuka laci, mengeluarkan amplop coklat berisi uang, lalu meraih gawai yang layarnya kontan menyala terang setelah ditekan, masih menampilkan foto brosur sore tadi. Sejenak Hana memandang dua benda di tangan bergantian. Cewek itu menggigit bibir bawah, mengerjap bimbang dengan apa yang harus diputuskan.

Selang setengah jam penuh kata iya-tidak di kepala, Hana akhirnya bangkit bersama satu keyakinan. Dia menyambar kardigan di kepala ranjang, mengantongi gawai juga uang sebelum melesat keluar. Menerobos angin malam yang menusuk pori, juga senyap di jalanan gang. Suara hewan malam menemani langkah lebar Hana sampai di trotoar jalan raya.

Hana menoleh ke kanan dan ke kiri, memerhatikan laju kendaraan yang bergerak dari arah saling berlawanan. Barulah saat agak lengang dia menyeret kaki ke aspal, merentangkan satu tangan pun membiarkan kardigannya mengembang ke belakang seperti jubah. Hana merapatkan kardigan begitu sampai di seberang karena kedinginan. Masuk ke salah satu mini market yang AC-nya membuatnya bergidik seketika.

Hana mendekati meja kasir.

"Mbak, di sini bisa transfer, kan?"

"Bisa, Kak."

Mengeluarkan gawai, Hana mencari riwayat obrolannya bersama penanggung jawan program paket C yang sempat dihubungi untuk bertanya banyak hal, termasuk memastikan nomor rekening bank. Setelah ketemu, Hana menyodorkannya pada penjaga kasir, lengkap dengan sejumlah uang.

Penjaga kasir mengangguk, mengetik sesuatu di komputer sambil sesekali melirik layar HP Hana. Tak lama, penjaga kasir mengembalikannya bersama tanda bukti berupa struk. "Sudah masuk, ya, Kak."

"Terima kasih."

Hana lekas mengantongi gawai dan keluar begitu mendapat ucapan serupa. Kini di hatinya merasakan dua emosi sama kuat. Senang karena akhirnya ada jalan, dan menyesal sebab ingat uang 2jt itu bisa digunakan untuk kebutuhan ke depan.

Kasar, Hana mengembuskan napas. Menganggukkan kepala. "Nggak pa-pa, Hana. 600 ribu itu masih cukup sampai Ibu pulang, dan keputusan lo ini udah bener banget. Jadi, nggak usah nyesel. Semangat, lo pasti bisa."

Tak terduga, saat Hana ingin berbelok pulang, Gabriel muncul dari dalam konter---berjarak lima meter di depannya. Memaksa Hana berhenti sambil menatap dalam diam. Begitu pula dengan Gabriel yang kakinya seolah ditahan untuk sekadar menyingkir dari tengah trotoar.

•••

Gabriel tak tahu kenapa Hana justru bergerak maju, alih-alih melengos pergi. Cewek itu sudah berdiri di depan Gabriel, dan Gabriel masih tak bergeming.

"Hai," sapa Hana, tersenyum. Gabriel mengerjap, mengalihkan mata yang dengan tak sopannya terpaku pada wajah berseri Hana. Mungkin efek lampu, atau ... Entahlah. "Habis dari mana?" lanjut Hana, basa-basi.

"Konter. Beli kartu perdana."

Bibir Hana membulat. Mengangguk-angguk. Gabriel canggung, mengedarkan pandang ke mana saja asal bukan ke wajah Hana. Dan, terjadilah saling diam untuk waktu yang lumayan lama. Dilatar belakangi langit malam di antara puluhan orang berseliweran.

PELIK (END New Version.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang