Suara lantang penuh penekanan membuyarkan lamunan Hana seketika. Cewek itu mengerjap saat sadar ada sebuah tangan besar yang bertumpu di meja. Perlahan matanya bergerak ke atas, menelan ludah setelahnya karena tatapan tajam dari wanita gemuk berkacamata itu.
"Ngelamunin apa, Hana?" tanyanya, melipat tangan di bawah dada. "Pacar? Gebetan? Apa mantan?"
Hana menundukkan wajah lalu menjawab pelan, "Bukan, Bu. Maaf, saya jomblo."
Sontak seisi kelas menertawakannya.
"Bisa aja kamu." Sang guru menggeleng kecil. "Keluar sekarang."
Hana tak bisa membantah. Resiko terus memikirkan komentar jahat yang ditujukan untuk Rita karena ulahnya berimbas sampai hari ini. Sungguh, Hana merasa bersalah pada Rita. Dirinya dan perempuan cantik itu tak saling kenal, tetapi gara-gara masalah uang Hana jadi terpaksa mengusik hidupnya. Semoga saja akibat yang ditimbulkan tak terlalu fatal.
"Kamu lari keliling lapangan tiga putaran, Hana," lanjut bu Emi.
Menghela napas, Hana mengangguk. Berjalan lesu keluar kelas. Selasar sangat kosong, tetapi gaduh suara dari kelas lain tak bisa dihindarkan. Cewek itu menuruni anak tangga dengan sedikit berlari, membuat ujung rambunya terayun ke sana ke mari. Lalu saat sampai di lokasi menjalankan hukuman, Hana mengeluarkan debas panjang. Dilepasnya jas navi yang melekat, diletakan di bangku semen selasar sebelum menyingsingkan lengan baju sampai siku.
Hana melompat kecil, memutar tangan ke belakang dan leher untuk pemanasan. "Oke. Mari kita lakukan, Hana," katanya, mulai bergerak.
Lapangan, atau mungkin halaman ini hanya digunakan untuk upacara, juga berkumpul jika ada pengumuman dari ruang TU yang letaknya tepat di depan tiang bendera. Bermatial paving berwarna merah kusam, dikelilingi pot semen berisi bunga yang berjajar rapi. Ukurannya pun sangat luas, membuat Hana hanya mengambil sepertiganya saja untuk dijamahi kaki. Akan sangat melelahkan jika harus full dari ujung ke ujung sebanyak tiga kali, belum lagi cuaca terik hari ini ikut mengantarkan udara panas bak berada di tengah pasar.
Setelah satu terselesaikan, Hana berhenti sejenak guna mengatur napasnya yang tersengal. Keringat mulai merembas di dahi dan hidungnya. Diusap cepat menggunakan punggung tangan. Lalu dari kejauhan, dia melihat segerombolan ibu-ibu menuruni tangga gedung kelas 12 IPS. Berjumlah tak lebih dari sepuluh orang yang semuanya bergaya sosialita. Tas brandit berharga jutaan di tenteng bangga, sesuatu yang berkilat melingkar di leher dan pergelangan tangan mereka. Satu di antaranya berlalu lebih dulu seolah enggan membaur. Kemeja putih semi formal denga tali hitam di leher nampak cocok dipadukan celana kain hitam longgar yang licin. Hana terpesona melihat postur tinggi, wajah dan gaya berjalan maminya Gabriel yang anggun tetapi berwibawa. Padahal usia wanita itu tak lebih muda dari ibu.
Ibu tuh orang capek, wajar kalo keliatan lebih tua.
Hana mengeluarkan debas. Entah kenapa dia selalu iri saat melihat kehidupan sempurna orang lain. Rasanya takdir yang Tuhan berikan pada keluarganya terlalu terjal dan menyedihkan. Bahkan bapak sampai meminta maaf padanya karena keadaan ini.
Ceritanya, waktu itu beliau menjemput Hana ke warung, memintanya duduk sejenak di pos satpam komplek sambil menyesap wedang ronde bersama bapak-bapak yang sedang bertugas ronda. Suasana cukup bising ditemani radio tua yang sedang memutar lagu lawas. Awalnya bapak hanya mengikuti arus pembicara, tetapi kemudian pria berjenggot tipis itu mengusap pelan paha Hana.
Berkata, "Kamu pasti capek ya, harus kerja kaya gini." Sambil menengadahkan pandang, menerawang jauh menembus kabel-kabel dari tiang listrik, juga gumpalan awan di antara bulan di langit malam. "Maafin bapak ya, Hana, karena nggak bisa ngasih apa yang kamu pengen."