Dua laki-laki berbadan ceking dan satu perempuan berkerudung kekinian itu masih sibuk menerangkan apa-apa saja keunggulan kampus mereka. Jas almamater berwarna hijau tua yang dikenakan nampak mentereng penuh kebanggaan, seolah-olah memiliki kekuatan magis yang mampu mengubah masa depan mahasiswanya.
Di barisan bangku paling kiri—meja pertama di depan guru—Hana menyangga dagu, posisi bersandar punggung pada tembok sambil mendengarkan dengan seksama. Matanya tak lepas dari gerak refleks tangan tiga mahasiswa itu, membayangkan dirinya sendiri berada di posisi mereka.
Suasan kelas yang mendadak bisu seolah memberi tanda jika bukan hanya dirinya yang tengah dilema di persimpangan. Namun, bedanya mereka hanya sebatas bingung memilih kampus dan jurusan, bukan seperti Hana yang malah terjebak di pusaran keuangan.
Mengingat itu mendadak kepalanya berat, penuh dengan kata andai dan penyesalan sebab tak bisa memertahankan nilainya di kelas tiga. Harusnya dia tak usah terlalu membebankan diri karena keributan di rumah, fokus saja pada pelajaran sekolah. Jadi, jika pun kemungkinan gagal masuk kuliah lewat jalur beasiswa, dia masih punya uang tabungan yang bisa digunakan untuk biaya semester awal tanpa pusing dengan tagihan SPP SMA. Sekarang semuanya kacau, SPP untuk bulan ini sebentar lagi menghampiri, sementara penghasilan saja Hana tidak punya. Entah bagaimana nanti dia membayarnya.
Hana kadang merasa hidupnya terlalu berat untuk remaja seusianya. Di saat semua teman sebaya asyik mengumpulkan skin care berbagai merk, dirinya malah burik bertempelkan koyo cabe hampir di sekujur badan. Sebenarnya tak masalah soal itu, asal memiliki orangtua yang mau mendukung setiap langkahnya, semua kesulitan pasti akan terasa ringan. Tetapi boro-boro sang ibu bersikap demikian, bertanya tentang cita-cita Hana saja tidak pernah. Wanita itu hanya selalu menegaskan jika Hana anak orang tidak punya, hingga membuat Hana takut mengikuti les atau kursus untuk memperdalam minat.
Tanpa sadar Hana membuang napas keras-keras, menarik mata seluruh orang di ruangan bercat putih bersih ini. Deretan loker berwarna merah ada di bagian belakang bersama setumpukkan buku di atasnya.
"Bosan ya, Dek?" tanya cowok berambut gondrong di depan sambil terkekeh.
"Eh, nggak Kak." Hana mengeleng sambil mengibaskan tangan, menegakan punggung dan tersenyum kikuk. "Silakan dilanjutkan."
Mengangguk kecil, mahasiswa itu kembali meminta perhatian. Suaranya yang berat menginterupsi lantang. "Dari penjelasan singkat tentang prody di universitas kami, adik-adik pasti sudah memiliki gambarannya, bukan?"
Semuanya mengangguk, tak terkecuali Hana.
"Atau adik-adik juga bisa mengujungi sosial media kami dan web resmi yang ada di brosur ini." Cowok berambut gondrong itu menoleh ke arah rekanya, memberi kode. Lalu cewek berkerudung maju, membagikanya lewat bangku pertama dari ke empat barisan. Hana yang kebetulan ada di depan—paling pojok—pun mendapat setumpukan. Dia mengangsurkan ke belakang setelah menyisakan satu bagiannya.
Kertas berwarna biru itu memerlihatkan gedung-gedung fakultas, kegiatan mahasiswa, program study dan banyak hal yang tidak Hana baca. Fokusnya terpecah, riuh rendah suara teman sekelas masuk dan keluar begitu saja dari telinga. Kemudian bel berbunyi menyudahi acara ini. Para mahasiswa itu berpamitan dan keluar, disusul bunyi bangku yang diseret kasar oleh beberapa cowok dari belakang.
"Han, beliin minuman, dong," kata seorang cewek berambut keriting, berdiri di samping Hana sambil menyodorkan uang ratusan ribu. "Yang dingin, ya?"
"Em.. maaf nih, Ria. Hari ini gue libur dulu."
"Yah!" Ria cemberut. "Kenapa? Tumben banget."
"Gue ada urusan."
"Ck." Cewek itu mencebikan bibir sambil menghentakan kaki kecil, berbalik badan dengan langkah gontai menuju barisan tempat duduk ke dua dari kanan.
Hana lekas membereskan buku-bukunya sebelum beranjak keluar. Brosur tadi terlipat rapi di saku jas. Dia menuruni anak tangga cepat, menyibak beberapa murid lain yang sepertinya baru keluar. Taman samping yang tidak terlalu bising adalah tempat terbaik untuk merenung. Hana duduk di undakan paving teras, kedua kakinya berpijak di atas rerumputan segar di seluas tanah lapang itu. Ada beberapa cewek di tengah sana, saling dorong pun tertawa bahagia.
Hana menghela napas, mengangkat pandang memerhatikan pohon kersen yang tumbuh kokoh di samping. Buahnya yang seperti biji kopi sesekali jatuh, berbau manis dan lengket jika diremat. Bayangan lebar dari rimbun daunnya menaungi Hana dari sengat panas hari ini.
"Ibu sudah bilang, nggak perlu kuliah-kuliahan. Perempuan itu kerjanya di dapur, ngelayanin suami sama anak!" Perkataan sang ibu terngiang. Hana kembali menurunkan pandang, merogoh saku lalu mengeluarkan brosur. Suara-suara mulai terdengar dari jauh, bisa dipastikan selasar lantai satu dan halaman depan sudah sesak padat dengan manusia. Berbanding terbalik dari tempat ini.
"Duh, gue beneran pusing," gumam Hana. Pojokan brosur yang dibuka di atas dengkul tersingkap angin. Ujung kunciran rambutnya pun ikut bergoyang. "Andai ibu kaya orangtua lain yang mentingin banget masalah pendidikan. Minta sama bapak juga percuma kalau ibu udah bilang nggak."
Termenung sesaat, dia menumpukan kening di atas dengkul. Mendesah frustrasi. "Gue harus gimana?" Tiba-tiba percakapan dengan Gabriel terlintas, membuat dia lantas menegakan punggung. "Apa gue terima aja ya, tawaran Gabr—,?"
Suara langkah menginterupsi dari belakang. Hana memutar pandang, dan tak terduga cowok berhoodie hitam yang datang adalah Gabriel. Dia berdeham kecil lalu bergumam sambil berlalu, "Gajinya besar, Hana. Lima juta kayaknya oke deh buat kerjaan seringan itu."
***
"Plis, Han. Lo masa tega sih, sama gue." Celine mengatupkan tangan di depan dada, duduk di kursi depan meja Hana. Cewek itu tak bergeming, sibuk membuka lembar buku di tangan. Merasa kesal, Celine merebutnya. "Hana, ih!"
Hana mengembuskan napas, menegakan punggung yang semula bersandar ke belakang, pun menurunkan kaki yang tadi menyilang. Ditatapnya manik bulat Celine penuh serius. "Gue nggak bisa dan nggak mau, Cel. Lo cari orang lain aja sana buat dicontek. Kevin tuh, si peringkat satu."
"Dia pelitnya minta digaplok, Hana. Ayo lah, gue bayar mahal deh."
"Enggak."
"Astaga, Hanaya! Lo lagi kenapa sih?"
Mengedikkan kedua bahu, Hana melipat tangan. Mengalihkan pandang ke arah tembok di samping kirinya.
"Lo marah sama gue? Ada apa?!" sambung Celine kesal, membuat Hana merotasikan bola mata. Mau tak mau Hana menoleh, mendapati raut Celine yang sedang mencebik.
"Pertama." Hana mengacungkan telunjuk. "Gue udah dapat peringatan pak Brot beberapa minggu lalu. Lo tahu itu. Kedua, kemaren gue dipanggil ke kantor karena lo dan geng lo nyontek tugas gue, Celine. Itu jadi peringatan terakhir. Kalo sampe kejadian lagi, gue bakal diskors sesuai peraturan yang terpampang jelas di mading," katanya penuh penekanan.
Seketika Celine mengatupkan bibir, terpojok karena sadar ulahnya. Namun saat itu dia terpaksa melakukan itu, DL hampir semua tugas yang saling berdekatan membuat repot. Lalu saat Celine hanya berniat menyalin beberapa soal, teman-temannya malah memprovokasi dan akhirnya ikut-ikutan mengerumuni meja Hana.
"Sorry," kata Celine pelan. "Ya, lo kan tau gue kentang kalo berurusan sama matematika."
"Belajar, Celine." Hana menghela napas, tersenyum tipis akhirnya. Dia tidak marah, kekesalannya pada Celine hanya bertahan beberapa jam saja waktu itu. "Kita udah kelas tiga. Gue percaya kok, lo sebenernya pinter."
"Belajar sama siapa?" Celine menyangga pipi, menatap Hana lekat. Lalu tiba-tiba cewek berambut merah bata itu menjentikkan jari. "Lo! Lo harus jadi guru privat gue, Hana."
"Eh?" Hana menukikkan alis.
"Gue serius. Lo bakal datang ke rumah gue setiap sabtu-minggu, masalah gaji, lo tenang aja. Gue sanggup bayar mahal."
Mendengar itu, Hana menipiskan bibir. Tawaran Celine jauh lebih normal dari pada Gabriel. Namun untuk berkumpul bersama geng Celine yang jelas akan ikut datang ke rumah cewek itu—mengingat tempat tinggal mereka yang berdekatan—Hana merasa sungkan. Bisa dibayangkan dirinya yang hanya akan menyisih saat perkumpulan anak sultan itu sedang membicarakan barang mewah atau merencanakan hangout bersama. Lebih parahnya memaksa Hana ikut dan membayarinya seperti mengasihani. Tabiat yang sangat mudah ditebak.
"Gimana? Mau yah, plis Han."
Tbc ...