Pagi-pagi sekali Hana disambut teriakan sang ibu dari dapur, beradu bersama barang seng yang berkelontangan ribut. Mau tak mau Hana keluar kamar meski belum selesai bersiap. Dia mengangkat kedua alis pada Sarah yang duduk di karpet depan TV sambil mengikat tali sepatu hitamnya. Sarah mengedikkan kedua bahu tak acuh, kembali fokus membentuk simpul.
Hana berdecak, menguncir sang rambut asal lalu melipir ke sumber keributan. Sekilas dia melihat Gio sedang membereskan buku di kamarnya, nampak tak terganggu sedikit pun. Mungkin bocah laki-laki berusia sembilan tahun itu sudah kebal karena disuguhi keributan sejak kecil.
"Bu ...." perkataan Hana menguap tak kala sadar jika ibunya tengah berbicara dengan seseorang di telepon. Bisa dipastikan itu adalah bapak yang mengadu masih menganggur di perantauan. Hana menghela napas, berbalik badan dan beranjak masuk lagi ke kamar. Terlalu malas mengurusi drama keluarga. Dia mengutipi beberapa buku yang masih berserakan di atas kasur pun kaoskaki di kepala ranjang. Hana beringsut ke depan cermin lemari baju, memakai dasi dan jas almamaternya sebelum bergeser membuka tirai kuning pada jendela kecil di depan meja belajar.
"Pak, Bapak tahu kan, anak buahnya juragan udah nagih-nagih dari minggu lalu. Kalo tetep nganggur, mau bayar pakai apa!" Suara sang ibu terdengar di depan kamar, disusul omelan pada Gio untuk segera keluar dan sarapan.
"Minjem siapa?"
Kelontangan sendok yang jatuh ke lantai seperti menyahuti perkataan wanita itu barusan. Lalu protesan Sarah karena masakan keasinan bertabrakan dengan panggilan ibu pada Hana. Hana menjawab sekadarnya, menarik asal tas yang sudah penuh buku dari dipan. Dia membuka pintu, menghampiri Gio di sofa usang yang sudah penuh tambalan kain perca. Adik bungsunya memangku piring berisi nasi, tempe dan sayur bening sambil berfokus pada kartun di TV. Sedangkan Sarah bersila di karpet, mengaduk nasinya kesal.
Hana menempatkan diri di samping Gio, mengambil alih piring kemudian mulai menyuapinya.
"Jangan buat mainan, Sar," tegur Hana. "Buruan dimakan, nanti telat."
Mendengkus kesal, Sarah bangkit lalu masuk ke kamarnya dengan membanting pintu.
"Kak, Gio nggak mau tempenya. Pait," kata Gio, membuat mata Hana beralih dari pintu kamar Sarah. Bocah itu menyingkirkan tempe ke pinggir piring.
"Gio makan sendiri dulu bisa?"
Gio mengangguk, mengambil piring dari tangan Hana kemudian dipangku di paha.
"Pinter. Jangan berantakan makannya, ya?" sambung Hana, mengelus pucuk kepala Gio. Dia beranjak, mengetuk kamar Sarah beberapa kali.
"Sarah, udah siang. Nanti telat."
"Bentar. Lagi nyari pulpen!" teriak Sarah. Ada tangis tertahan dari suaranya.
Menghela napas dalam, Hana mengusap wajah. Paham betul perasaan gadis SMP kelas satu itu. Lalu saat Hana akan kembali ke sofa, sebuah stuk tertangkap mata ada di rak sepatu yang terletak di samping kamar Sarah. Lekas dia mengambilnya, mendesah pun mengusap wajah kasar. Ternyata pembayaran buku Sarah sudah melewati batas waktu. Hana mengentak masuk ke kamarnya, mengambil kotak tabungan dan mengeluarkan tiga lembar uang ratusan ribu. Diletakan di meja kecil di samping sofa, ditindih HP jadul sang ibu.
Hana menggendong tas asal, berangkat tanpa pamit pun berjalan lebar-lebar sambil memilin lengan jas. Berpapasan dengan beberapa orang dan motor yang melaju dari belakang. Hana mengeluarkan HP saat sampai di tempat biasa menunggu angkot, menyandarkan sebelah pundak pada batang pohon yang ditanam di pinggir trotoar. Ragu, jempolnya mengambang di atas layar. Hana menarik napas, mengangguk kecil untuk meyakinkan diri atas apa yang akan dilakukan. Masalahnya tak bisa menunggu lebih lama, jadi meski terdengar konyol, Hana putuskan untuk menerima tawaran Gabriel. Entah, opsi itu agaknya sedikit lebih baik daripada berususan dengan Celien dan gengnya.
***
Gabriel melenggang sambil memasukan satu tangan ke saku celana, sementara satunya lagi dia gunakan untuk mengusak rambut bagian belakang. Erwin dan Odi, temanya, menyusul dari belakang. Dua remaja itu berlari, menyibak lalu lalang cewek-cewek berparfume tajam kemudian langsung merangkulkan tangan ke pudak tegap Gabriel.
"Kantin?" tanya Erwin.
Gabriel mengenyahkan tangan orang di samping kanan-kirinya kasar. "Gue punya urusan," jawabnya acuh tak acuh.
"Urusan apa, si? Perasaan dari kemaren nggak kelar-kelar deh," protes Erwin, didukung anggukan Odi.
"Ada, lah. Nggak usah kepo lo pada." Gabriel menempeleng wajah keduanya, terkekeh kecil mendapati raut masam mereka. "Gue duluan," pungkasnya, berlari kecil melewati selasar lantai satu menuju barat.
Di taman samping, Gabriel menemukan Hana yang sedang duduk di bawah pohon kersen. Rambut pendek cewek itu disapu angin ke samping kanan, menutup wajah sebelum diselipkan ke belakang telinga oleh empunya. Gabriel berdeham, berdiri tepat di hadapan. Hana mendongak, bangkit pun menepuk rok navi yang dikenakan.
"Why," tanya Gabriel, berlagak seolah-olah waktunya sangat berharga dan pantang dibuang sia-sia.
"Anu ...." Hana menelan ludah. Malu bukan main karena akhirnya mengemis sesuatu yang sudah ditolak mentah-mentah. Harapan Hana sekarang, Gabriel masih membutuhkan bantuannya agar tak perlu ada adegan mohon-memohon. Kebiasaan orang kaya memang seperti itu, 'kan? Suka memanfaatkan kesusahan orang lain untuk menujukan kekuasaan. "Gimana sistem kerjanya?" tanya Hana.
"Maksud lo?" Gabriel menautkan alis. "Ngomong yang jelas napa, Han."
Berdecap lidah, Hana membuang napas lewat hidung. "Kerjaan yang lo bilang, Gabriel. Gue mau!"
"Mau?"
"Iya."
Tak terduga, cowok jangkung itu tersenyum sambil menggeleng senang. Mengacungkan kepalan tangan pun bersorak pelan. Dia meraih tangan Hana untuk diajak bersamalan.
"Deal," katanya semringah, menaik turunkan jabat tangan. "Mulai besok lo resmi jadi asisten agen mata-mata gue."
Hana merotasikan bola mata, menarik tangannya yang kemudian dimasukan ke saku jas navi.
"Jadi gue harus bantuin lo kaya apa?" Ulang Hana, memastikan. "Nggak aneh-aneh, 'kan?"
Gabriel menyipitkan mata, menggosok-gosok dagu menggunakan jari teluntuk. Dia tidak tahu kategori "aneh" yang Hana maksud, tetapi dari pada merusak kesepakatan, Gabriel memilih mengangguk mengiyakan. Urusan bagaimana nanti bisa dipikirkan sambil jalan.
"Lima juta?" Hana kembali bertanya guna memantapkan keputusan.
"Iyap," jawab Gabriel. "Lima juta, cash."
"Oke." Hana menggut-manggut. "Besok kita mulai dari mana?"
"Bentar, Han." Gabriel merunduk, mengambil buku catatan dan pulpen Hana di samping sepatu sang empu. Cowok itu menulis sesuatu dengan posisi berdiri. Sudut bibirnya terangkat kecil, membuat Hana menyudutkan kedua alis. "Tanda tangan di sini," sambung Gabriel, membalik halaman buku ke arah Hana.
Sesaat Hana bergeming, membacanya dalam hati lalu mengeluarkan debas panjang. Surat perjanjian? Benar-benar konyol.
"Harus banget, ya?"
"Wajib."
Tak mau memperpanjang urusan, Hana merebut pulpen yang disodorkan. Menulis namanya di kotak paling bawah di bagian kiri. Gabriel menyeringai, merobek kertas tersebut yang kemudian dilipat rapih masuk ke saku celana.
"Udah, 'kan?"
Mendapat respon anggukkan, Hana berbalik badan. Namun belum sempat melangkah pergi, Gabriel kembali menginterupsi pun menarik bagian belakang jasnya. Hana mendengkus dan menoleh kesal. "Apa lagi, Gabriel?!"
"HP lo." Cowok itu menjulurkan tangan. "Biar gampang buat kabar-kabaran. Jadul amat pake inbox Facebook." Di akhir kalimat, Gabriel tertawa meledek.
Hana menyemburkan napas, merogoh kasar saku rok sebelum menyerahkan benda pipih kepunyaannya.
Tbc ...