60. Keputusan

24 3 2
                                    

60.

"Caca, tante boleh minta tolong ambilkan gelas yang warna hijau itu nggak?"

"Iya tan, bentar ya."

Denira Rhea. Gadis berumur 21 tahun ini asik membantu acara memasak di kediaman Pamungkas. Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dan dipikirkan lebih lama, Denira begitu rindu ketika mencium masakan seorang ibu mulai masuk kedalam rongga hidungnya.

Gadis ini memang pintar memasak. Dulu waktu masih ada almarhumah mamahnya, ia suka sekali membantunya di dapur dan juga sedikit merepotkan asisten rumah tangga yang tak kalah pintar memasak.

Andalan Denira jika sudah di dapur adalah semua kebutuhan masakan, ada di dalam lemari es. Kalau sepenuhnya ada di benda berukuran persegi panjang itu—maka tidak akan jauh dan tidak akan melenceng, jika Denira tidak mengotori dapur dengan cara sendirinya.

"Ra, tante boleh tanya nggak sama kamu?"

Denira menoleh setelah memberikan gelas berwarna hijau kepada Rina, mamahnya Marsel. "Boleh banget dong tan, tanya aja."

Rina nampaknya begitu serius dengan pertanyaan yang akan ditanyakan kali ini. Dengan meletakkan tempat gula di atas meja kompor, matanya fokus menatap wajah Denira. Hingga pertanyaan yang masuk kedalam pikiran Denira ketika sapuan tangan menyentuh pipinya.

"Kamu putus sama Marsel? Kenapa bisa?"

Ini adalah pertanyaan dari beribu-ribu pertanyaan yang begitu sulit untuk memberikan jawaban. Rasanya bibir begitu kelu untuk menjawab satu kalimat pada tante Rina. Walaupun dalam penjabaran ini tidak seberapa, namun hatinya masih tidak menginginkan bahwa ia sudah memutuskan bila Denira dan Marsel benar-benar sudah mengakhiri hubungannya.

Gadis ini bingung. Tidak bisa menjawab dan tubuhnya seakan-akan kaku seperti mayat hidup. Dalam hati yang paling dalam, jiwanya tidak menerima untuk Marsel pergi—begitu pula dengan raga yang selalu menemaninya dari 13 tahun yang lalu, sampai detik ini pula.

"Denira... kenapa diem sayang?"

Gadis ini tetap bisu. Tangannya gemetar memegang ujung baju yang mungkin sudah setengah kusut.

Rina yang masih penasaran dengan jawaban gadis ini, tangannya menjulur untuk menepuk pipi seraya mengguncangkan tubuhnya sedikit. "Denira, sayang..."

"Maaf tan, maaf banget. Tadi Caca nggak fokus kalau tante ajak Caca ngomong."

Bibirnya berkata bohong. Hatinya mendukung keberadaan bahwa kali ini akan tetap baik-baik saja. Bilamana perumpamaan akan menghasilkan jawaban yang lebih menarik, maka opsi yang akan ia ambil, ia lebih memilih untuk tidur dan terus bermimpi.

Kenyatannya, Denira tidak bisa melupakan anak bungsu dari keluarga Pamungkas. Marsel Ardhani.

Berpura-pura memasang wajah seperti biasa, senyumannya tak lepas untuk menarik hingga menampilkan deretan gigi. "Caca minta maaf ya tan, kalau Caca punya salah. Kemarin, Caca yang mutusin hubungan sama Marsel, gara-gara Marsel nggak terima kalau Caca..."

Ungkapannya terhenti. Denira tidak pandai berbohong apalagi melantur seperti ini. Tapi, ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah; kehilangan. Besar hati bahwa apa yang ia lakukan kali ini, akan tetap baik-baik saja selama ia masih bisa melindungi Marsel.

"—Caca kepergok berduaan sama Reno. Makanya dari situ Marsel marah, marah besar. Tapi Caca nggak terima kalau Marsel nuduh Reno, dan disaat itu juga Caca langsung putusin Marsel. Caca minta maaf, tan."

Tubuhnya semakin gemetar. Pada saat yang bersamaan, tante Rina lebih memilih untuk memeluk Denira lalu mengusap punggungnya. Cara yang jitu dari seorang ibu adalah memeluk putrinya dengan seperti ini. Sekedar untuk menenangkan.

THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang