51. Kabar Duka

33 5 0
                                    

51.

"Coba kalau dia dengerin apa kata gue, mungkin Almira nggak akan kayak gini 'Sel!"

"Yaaa tapi lo santai aja, Sat. Disini nggak ada yang salah. Emang udah takdirnya—"

"Lo bilang ini takdir? Lo nggak bisa ngertiin perasaan gue Sel! Coba kalau lo ada diposisi gue, dan Denira yang... argh!"

Emosi selalu saja menang. Kemarin mau berusaha untuk tetap tenang, namun masalah terus saja mengenang. Menunggu seorang gadis untuk membuka matanya, Satrio jadi tidak bisa diam. Perkataannya selalu saja menyalahkan gadis lain dari penyebab ini semua. Marsel paham apa yang dirasakan oleh temannya ini, tapi disatu sisi ini memang bukan kesalahan seorang gadis yang menyukai temannya itu.

Apa-apa yang terjadi, Satrio masih belum menerimanya dengan baik. Kadang, kalau perasaan akan menang oleh ego, tetap saja rasanya masih mau menyalahkan dan ego yang lebih dulu menguatkan. Tidak ada yang bisa mengalahkan ego kalau tidak menahannya dengan baik.

Ini mutlak terjadi karena takdir. Bukan karena suatu kesalahan dan menyebabkan orang itu benar-benar merasa terpojoki oleh ribuan kata-kata. Susah memang kalau ego sudah menguasai semuanya.

Di ruang rawat inap, gadis ini sudah dipindahkan setelah masuk ruang UGD kemarin. Siapa yang terima jika kekasihnya harus terluka seperti ini, dan harus melakukan transfusi darah karena sebuah luka yang begitu parah dengan mengharuskan Satrio mencari pendonor untuk gadisnya.

Sebab dari itulah Satrio belum bisa terima kenyataan, bahwa yang terjadi kemarin adalah takdir untuk gadisnya. Bukan kesalahan seseorang yang menyukai dirinya.

Marsel berusaha menguatkan hati Satrio, memegang pundak lalu mengusap punggungnya. "Gue ngerti Sat, gue ngerti. Tapi lo nggak bisa kayak gini terus. Puma nggak salah, Sat. Dia udah bilang kalau—"

"Gue bukannya mau beda bedain temen sendiri. Tapi sikap lo bener-bener sama kayak Marsel dulu. Gue nggak tau harus bersikap gimana untuk buat lo sadar sama suatu hal. Tolong banget Sat, lo jangan kayak gini. Kasian dia," Reno menimpali pembicaraan Marsel dengan Satrio.

Menjenguk seorang kekasih dari temannya, Marsel bersama dengan Reno dan Rama duduk di sebuah kursi depan ruang inap Almira. Mereka bertiga datang untuk melihat kondisi Almira yang kemarin kecelakaan ketika menolong Puma dari kendaraan roda empat.

Kata Satrio, gadis itu belum juga membuka matanya. Menunggu selama 24 jam itu, bukannya hal yang mudah seperti sedang menunggu seseorang yang tidak pernah mengetahui bahwa ada orang lain yang mencintainya.

Entah sampai kapan Satrio harus bersikap seperti ini kepada teman-temannya. Wajar saja kalau memang sikap Satrio aneh, yaaa karena ia terlalu lama menunggu Almira dan baru saja jadian ketika hubungannya sudah direstui oleh kedua orang tua gadis itu. Siapa yang tidak senang jika hubungannya sudah bisa serius seperti saat ini?

Namun, takdir berkata lain. Baru saja ingin berjalan-jalan, Satrio harus diberi kabar oleh teman-temannya untuk membantu mencari temannya yang tidak tahu ada dimana saat itu. Lalu ketika Satrio sudah menemuinya lebih dulu, bukannya ikut bermain bersama-sama—namun gadisnya harus tertimpa musibah seperti ini.

"Gue baru aja bahagia, Ren. Lo juga harus ngerti kalau gue sama Almira—"

"Gue tau. Siapa sih diantara kita yang nggak mau bahagia sama pasangannya sendiri? Cuma ada batasnya juga kalau lo harus sadar, dan nggak perlu kayak gini. Lo bisa jagain Almira 24 jam. Tapi lo nggak bisa jagain hati Puma yang udah lo sakitin gitu aja. Dia temen lo bro, bukan musuh lo. Inget!"

Untuk kebaikan seorang teman, Reno selalu begini jawabannya. Kalaupun perkataan temannya itu salah, Reno pasti menentang dan membenarkan dengan benar.

THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang