49.
"Kamu kenapa baru bilang sekarang, kalau kamu mau dijodohin sama Denira? Kamu tau kan, kalau aku itu—"
"Iya aku tau. Tapi aku nggak ada niatan sama sekali, untuk nyembunyiin ini dari kamu."
"Tapi kamu udah nyembunyiin ini dari aku. Dan aku sendiri baru tau, semenjak masalah ini ada sejak satu minggu yang lalu. Kamu tuh ya, Nuuu!"
Kalau ada Danu pasti ada Denira... Tapi kali ini bukan gadis itu, melainkan kekasihnya sendiri, Leni Safira. Sengaja untuk bertemu dan membicarakan sesuatu. Maka dari itu, Danu meminta Leni untuk segera ketemuan—dan Leni sendiri meminta Danu untuk segera bergegas ke rumahnya.
Ini bukanlah perkara yang kecil. Hanya sebuah kalimat yang tidak begitu penting ketika dipikirkan, namun begitu beban untuk diucapkan. Kalau semakin lama untuk tetap disembunyikan, semakin sulit juga untuk diutarakan. Takut susah sendiri nantinya. Danu pun tidak mau itu terjadi.
Bagaimanapun juga, kejujuran dalam suatu hubungan, ini aadalahkata yang paling penting untuk dilakukan. Hingga pada dasarnya pun, tanpa kejujuran—mungkin sikap kesetiaan pun tidak akan ada ada diri masing-masing pasangan yang menjalaninya.
Duduk berdampingan bersama dengan kekasih. Menjelaskan apa-apa saja yang terjadi, lalu berusaha untuk disembunyikan lebih lama lagi. Tetapi, ada kenyataan yang harus ia lakukan demi kepercayaan kekasihnya, pada dirinya selama mereka berhubungan serius.
"Jangan kesel gitu donggg. Jujur Ni, aku bener-bener nggak ada niatan untuk terima perjodohan itu—yang sama sekali aku nggak suka. Kalau emang cinta itu hadir tanpa paksaan, kenapa aku harus terima suatu tawaran?"
Leni memutar bola matanya. Malas beradu argumen kalau Danu sudah seperti itu. Kedua tangannya pun terlipat didepan dada, membuang wajahnya asal lalu menghembuskan napasnya gusar.
Siapa yang mau dibohongi pada pasangan sendiri? Siapa yang bersedia dirahasiakan dengan masalah yang ada? Dan, siapa juga yang rela ketika pasangannya akan diambil alih oleh orang lain? Kalau tahu dari awal, pasti akan berjuang mati-matian untuk mempertahankan keadaan.
Bila sudah seperti ini, dari pihak kekasihnya maupun dari pihak temannya disana, sama-sama sudah setuju—namun tinggal dengan anak-anaknya sendiri. Dan ini benar-benar sudah diluar batas.
"Tau ah. Pokoknya aku kesel sama kamu. Bukan kesel karena kamu mau dijodohin sama Denira. Tapi aku kesel, karena kamu udah coba-coba ngerahasiain ini dari aku!"
Danu mendengus pasrah. Kalau Leni sudah ngambek seperti ini, sama halnya juga ia mengembalikan suasana hati Denira ketika gadis itu kesal juga terhadapnya. Ehhh, kenapa jadi bahas gadis itu?
Cepat-cepat ia membuyarkan pikirannya. Ia harus fokus pada kekasihnya yang kini sedang kesal terhadap dirinya. Sulit sekali memang untuk mengembalikan mood seorang perempuan.
"Ikut aku aja yuk?" tawar Danu yang berusaha untuk menyembuhkan kekesalan Leni. "Kemana?!" balas Leni yang begitu sinis.
Danu bangkit, meraih pergelangan tangan Leni lalu membawanya keluar dari rumah. Leni tidak lupa untuk menutup pintu, namun enggan untuk menatap kekasihnya dan terus menatap kebawah.
"Aku pakaikan helm ya?" Danu ingin memakaikan helm ke kepala kekasihnya, namun lebih dulu dirampas oleh Leni. "Nggak usah, aku bisa pake sendiri!" katanya yang menolak untuk dipakaikan helm.
Danu hanya terkekeh geli. Melihat Leni merajuk kesal seperti ini, membuat tangannya begitu gemas untuk mencubitnya keras-keras. Kalaupun ia lakukan sekarang juga, pasti akan lebih tambah marah dan membuatnya seperti kak Ros yang galak itu. Tidak akan mau ia melihat Leni marah kembali. Hehehehe.
![](https://img.wattpad.com/cover/202333394-288-k325358.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021
FanfictionSemisal begini, "Jangan berlebihan, kita ini cuma sekedar teman," lantas, apa yang harus dikatakan pada hati? Tetapi, tunggu, lebih baik mengucapkan selamat datang atau selamat tinggal? pilih yang mana? atau, lebih baik sekedar berteman atau dia...