27.
"Sat, Ram, kalau Denira benci sama gue gimana. Gue takut dia marah banget kalau tau, gue yang buat Marsel masuk rumah sakit sekarang..."
Masih di depan ruang UGD, mengantar salah seorang teman dekat mereka yang sedari di lapangan tadi sudah menutup matanya dan belum sadarkan diri. Ulah perbuatan Reno karena emosi mengenai perasaan seorang gadis, kedua tangannya langsung mampu menghajar laki-laki yang tidak suka dengan hujan.
Semenjak mereka mengantar Marsel ke ruang UGD ini, mereka terus mengatupkan kedua tangannya dan memanjatkan doa agar seorang laki-laki di dalam sana tidak terjadi apa-apa. Takut kejadian dulu terulang lagi, mereka benar-benar tidak mau menginginkan itu kembali. Tidak akan pernah.
Berusaha untuk tetap menenangkan Reno, Rama mengusap punggung Reno dan memberinya semangat penuh. "Nggak akan ada yang marah sama lo, kita ada disini Ren, tenang."
"Mending sekarang minta suster buat ngobatin muka lo, takut kenapa-napa juga. Gih Ren!" balas Satrio mengusulkan Reno untuk segera mengobati lebam diarea sekitaran wajahnya.
Reno menggelengkan kepala, bagi dirinya saat ini ialah kondisi Marsel daripada kondisi wajahnya sendiri. Walaupun dibagian tengah pada perutnya merasakan nyeri, sebisa mungkin Reno menahannya agar Rama dan Satrio tidak mengetahui hal ini.
Untuk kondisi Marsel yang sampai saat ini, belum ada tanda-tanda baik-baik saja, Reno sungguh menyesal karena telah membawa laki-laki itu berdiri dibawah hujan yang cukup deras.
Reno benar-benar bodoh. Hanya karena masalah yang menurut orang lain ' ini begitu kecil, Reno sampai menghajar Marsel sekaligus membuatnya masuk ke ruang UGD seperti ini.
"Marsel mana, Ram?!" tante Rina datang dengan Fabian terlihat begitu khawatir, Reno yang masih menatap kosong kearah depan mendadak bisu ditempat. "Tante tanya sama kamu, Rama. Mana Marsel?!"
Rama yang berusaha ingin menjawab, tiba-tiba bibirnya kelu. Dengan harapan tante Rina tidak marah terhadapnya, Rama hanya menunjukkan sebuah ruangan—dimana Marsel masih ditangani oleh seorang dokter dan juga beberapa suster.
Rina menatap kondisi anaknya yang terbaring lemas seperti itu, mulutnya tidak bisa berkata apa-apa. Fabian memeluk mamahnya, kondisi adiknya seperti itu membuat kedua lututnya terasa begitu lemas. "Bian adik kamu kenapa lagi, Bi..." isak sang mamah kepada anak pertamanya, Fabian.
Melihat mamahnya menangis, Fabian ikut menangis juga. Dengan apa yang kejadian dulu tidak ingin terjadi lagi, Fabian ingat betul ketika adiknya terus jatuh sakit—dengan alasan yang serupa lagi. Sama seperti sekarang ini.
Sebab dari hujan. Belum lama kejadian waktu lalu, adiknya harus dilarikan ke rumah sakit—yang ia sudah duga kalau ini semua terjadi karena hal itu. Marsel memang tidak suka hujan, bukannya tidak menerima berkah apa yang telah Maha Kuasa turunkan, tetapi memang tidak menyukai karena laki-laki itu begitu lemah ketika sudah berada dibawah hujan.
Setelah satu jam berada di dalam, dokter pun keluar dengan melepas masker yang telah digunakan. "Ada orang tua pasien disini?" ucap dokter itu dengan meraih catatan pada seorang suster disampingnya.
"Saya abangnya dok, dan ini mamahnya," balas Fabian mewakili mamahnya karena masih terisak.
"Setelah kami periksa lebih lanjut, pasien mengalami nyeri dada yang begitu berat sehingga menjalar kearah rahang, bahu dan juga lengannya. Hingga, pasien juga mengalami sakit kepala yang tidak biasa dan membuat kondisi tubuhnya sampai saat ini begitu menurun..."
"—Untuk kami tindaklanjuti, pasien harus dirawat dalam pantauan kami selama beberapa hari. Kalau kondisi pasien kembali normal, kami akan memberitahu pihak keluarga dan memindahkannya ke ruang rawat inap."

KAMU SEDANG MEMBACA
THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021
Fiksi PenggemarSemisal begini, "Jangan berlebihan, kita ini cuma sekedar teman," lantas, apa yang harus dikatakan pada hati? Tetapi, tunggu, lebih baik mengucapkan selamat datang atau selamat tinggal? pilih yang mana? atau, lebih baik sekedar berteman atau dia...