62.
[Play song: Say Goodbye - Song Ha Hye]
"Ram, kok tumben nggak ikut Marsel sama Satrio ngopi, kenapa?" gadis ini bertanya ketika di rumahnya merasa bosan—lalu pergi ke rumah Rama kembali.
Kemarin setelah beradu argumentasi dengan Fabian, Denira sadar bahwa ada permasalahan yang belum diselesaikan. Kalaupun ia bisa pergi dalam keadaan tangan kosong walaupun hatinya menyimpan beribu kesalahan, rasanya akan tetap saja ia pergi dalam kondisi apapun. Gadis ini sudah berjanji, berjanji untuk meninggalkan kota kelahirannya maupun negaranya sendiri.
Tapi disatu sisi, ia tidak tega dengan kondisi Rama baru-baru ini. Kemarin tidak ada masalah apa-apa, namun baru dikabarkan tadi malam oleh Sherina, Rama jatuh sakit. Demam yang tidak turun dari 38 derajat, gadis ini langsung pergi tanpa memberitahu mbok Minah ataupun mang Ucup.
Rama hanya menatap sarkas. Pengucapan teman kecilnya tadi membuatnya naik darah. Sudah tahu dia sakit, tapi masih saja memintanya untuk kenapa tidak ikut—atau kenapa tidak melakukan sesuatu.
"Ya kalau lo nggak betah disini, pergi aja Ra. Gue kan udah biasa sendiri, nanti kak Sherin juga pulang kok. Sana gih."
Denira tertawa. Melihat tingkah Rama menekuk wajahnya masam, ia beringsut mencubit pipinya berulang kali. "Iya maaf... lagian tumben juga lo sakit, mikirin apa sih? Demamnya juga nggak turun turun dari tadi, kita ke rumah sakit aja yuk?"
Rama menggeleng, "Yaampun, gue baik-baik aja kali. Lagian lo juga tumben mau rawat gue kayak gini, ada apa? Pasti ada satu hal yang gue nggak boleh tau ya?!?"
Dia gampang menebak. Rama betul-betul manusia ajaib kalau Denira bisa mengatakan laki-laki itu gampang sekali menebak pikirannya. Karena tidak mau ketahuan, Denira lebih memilih menggelengkan kepala seraya menyimpulkan senyum andalannya.
Denira takut Rama cepat mengetahui kepergiannya sebentar lagi. Hanya Fabian yang tahu kapan ia pergi—namun tidak dengan tempat yang ia beritahu juga. Kalaupun peluangnya lebih besar untuk memberitahu semua, Denira akan memberitahunya sejak kemarin sarapan.
Tetapi, karena ini bersifat privasi, Denira lebih baik bungkam lalu menerima konsekuensi jika diantara mereka semua akan membenci dirinya suatu saat. Ia paham dengan masing-masing watak teman-temannya. Maka dari itu, lebih baik ia diam daripada memberitahu yang jelas-jelas akan tidak diperkenankan pergi dari mereka.
"Ketebak. Seratus persen ketebak. Lo mau pergi, dan gue nggak bercanda, lo, mau pergi."
Bener, Ram. Sesuai dugaan lo seratus persen, gue bakal pergi. Denira sadar, secepatnya ia membalasnya dengan seperti tadi. "Ah engga, serius deh. Lagian kenapa sih kalo gue mau rawat lo kayak gini, yakan lo temen gue juga Ram. Yang tersayang, kayak—"
Ucapannya terpotong. Ia sadar kalau selama ini masih memikirkan laki-laki itu dan membuat pikirannya diluar dugaan.
"Marsel."
"Ya?"
Rama beranjak untuk duduk. Tubuhnya bersandar pada dinding lalu membetulkan posisi infus-nya. "Lo belum bisa lupa? Belajar ikhlas Ra. Berulang kali gue kasih tau lo dan buat lo sadar, kalau Marsel emang ditakdirkan hanya untuk temen. Catet. Hanya, untuk, temen."
Denira menatap Rama dengan perkataannya yang penuh penekanan. Ia paham kalau kenyataan memang seperti itu. Seperti dulu saat ia dan Marsel memang untuk berteman, lalu serasa terpaksa dijodohkan untuk menjadi kekasih—dan hasilnya kembali pada semula.
Rama membalas tatapan Denira. Wajah gadis itu seperti menahan beban. Karena tidak mau terlalu dikhawatirkan, Rama membawa tubuhnya masuk kedalam pelukan. Menenangkan masalahnya yang seharusnya sudah sembuh sejak hari itu, Rama tersadar bahwa gadis ini benar-benar gampang sekali sakit hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021
FanfictionSemisal begini, "Jangan berlebihan, kita ini cuma sekedar teman," lantas, apa yang harus dikatakan pada hati? Tetapi, tunggu, lebih baik mengucapkan selamat datang atau selamat tinggal? pilih yang mana? atau, lebih baik sekedar berteman atau dia...