59.
Satu bulan kemudian...
"Hujan..."
Duduk didekat jendela bersama keheningan. Sensasi yang terjadi begitu candu, ketika sudah lama tidak ada jarak, tidak merasakan kehidupan—lalu terus redup cahaya yang datang untuk menyinari keseharian. Kadang, rasa yang mewakili hati, tidak mampu untuk diminta pertanggung jawaban bagaimana yang terjadi untuk kedepannya.
Sekarang bukan waktunya untuk mengeluh. Potongan hari-hari lalu sudah saatnya untuk membenarkan jawaban untuk pengisian soal yang belum sempat terisi dengan baik. Seperti ulat yang menjadi kepompong, lalu harus menetas keluar untuk mengepakkan sayap menjadi kupu-kupu yang cantik. Itu semua butuh waktu yang lama untuk menjadi yang lebih baik.
"Sebenernya, lo nggak kepaksa buat ngelupain dia kan?"
"Lagian ya, kalau misalnya lo gampang lupa dan gampang buat pake hati ke orang lain, nggak mungkin lupa kalau lo sendiri tuh—"
"Ndi... tolong banget deh, gue nggak mau dengerin lo cerewet kayak gini. Sumpah yaaa, gue telpon jauh-jauh dari Jogja bukan mau dengerin lo—"
"Gue matiin dulu ya, ada tamu nih. Nanti gue sambung lagi kalau masih telponan."
"Yah Leni nggak asik. Kan belum denger kalau Denira itu udah moveon atau—"
"Ndi, Ma? Sori nih kalau gue potong. Sori juga kalau gue daritadi nggak ngomong apa-apa dan nggak cerita lagi sama kalian. Tapi gue mohon ya, kasih gue waktu untuk ceritain semua masalah kemarin dan... gue janji bakal cerita sama kalian. Sekarang, gue tutup dulu ya. Bye..."
Hujan terus mengguyur seisi bumi di Jakarta. Awan yang gemuruh juga dengan sedikit hembusan angin yang kencang, gadis ini menyempatkan diri mengulurkan tangan ke luar jendela lalu menikmati tetesan hujan di telapak tangannya.
Ada yang menarik kalau melihat hujan yang turun, lalu sekelebat memori mulai bermunculan sedikit demi sedikit. Ia masih membenci hujan. Gadis ini tidak tahu sedang apa dia disana—bahkan, ia ingin sekali mengetahui apakah dia masih phobia dengan hujan, atau tidak.
Jujur, tidak terasa sudah satu bulan. Dalam penghitungan kalender yang ia bulatkan sejak tanggal kejadian, ini kali pertama ia harus menerima kenyataan. Kejadian itu sudah satu bulan. Ucapan yang begitu terjadi dengan gampangnya, ia sendiri, jujur, belum mengerti sama sekali bagaimana masalah itu datang—walaupun hari sebelum kejadian itu, masih baik-baik saja.
Tok, tok, tok...
Gadis ini menoleh. Melihat pintu disana terketuk, lalu menarik tangannya masuk ke dalam. Tangannya masih basah karena tetesan hujan yang sengaja ia ulurkan keluar. Bangkit dari kenyamanan yang ada, ia terguntai menginjakkan kaki menyentuh lantai yang begitu dingin.
Tok, tok, tok...
"Iya sebentar," ucapnya sambil memutar kunci lalu menyentuh handle pintu kamarnya.
"Assalamualaikum, Ra? Apa kabar?" suara salam menyertai ruang kamar gadis ini. Seulas senyuman yang sudah lama tidak terlihat, kini terpampang jelas begitu nyata dan tidak kabur sama sekali.
Mereka sudah lama tidak datang. Bukan tidak datang, lebih tepatnya mengosongkan jadwal untuk mengisi waktu luang dan memberikan kesempatan untuk gadis ini benar-benar ingin waktu sendirian.
"Ra? Sehat kan?" mereka selalu begitu. Namun, gadis ini masih tidak percaya bahwa mereka masih tetap mau datang walaupun kondisinya selalu buruk seperti ini.
Gadis ini mengulas sederet senyumannya. Tangannya mengusap satu persatu pipi mereka yang masih menggemaskan untuk dicubit begitu lama. "Waalaikumsalam, sehat ko sehat. Kalian, gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021
FanfictionSemisal begini, "Jangan berlebihan, kita ini cuma sekedar teman," lantas, apa yang harus dikatakan pada hati? Tetapi, tunggu, lebih baik mengucapkan selamat datang atau selamat tinggal? pilih yang mana? atau, lebih baik sekedar berteman atau dia...