8. Sebuah Luka

72 5 0
                                    

8.

Minggu ini terlihat begitu sendu. Biasanya jalan-jalan mengelilingi taman kota, tetapi niatnya terurungkan setelah kejadian di malam sabtu semalam.

Gadis yang tengah meratapi kesendiriannya, tiba-tiba pikirannya langsung terbelesit oleh sebuah foto keluarga berbingkai cokelat tua di tumpukan buku-buku mata pelajarannya.

"Mereka tau nggak sih, kalau gue udah besar sekarang?" gumamannya membuat hati kecil terbangun lalu menyiksakan bulir-bulir air mata ikut berkalbu. Rasanya seperti orang mati yang ditinggalkan oleh ribuan orang yang begitu sayang terhadapnya—ia benar-benar tidak merasakan manisnya hidup dan juga sempurnanya kesehariannya.

"... Bahkan, mereka tau juga nggak sih kalau gue udah mau lulus sebentar lagi?" sebuah lagu Beautifull milik Crush terputar ketika ponselnya tergeletak di atas kasurnya. Perumpamaan beberapa lirik membuat otaknya memutar memori lalu dan membuatnya seperti terjun dari atas jurang.

Dulu, kesehariannya begitu manis ketika papah dan mamahnya mau mengantarkan Caca ke sekolah, tempat bimbel—maupun ke taman yang ingin ia singgahi.

Dulu, mamahnya begitu sangat rajin ketika Caca ingin dimasakin makanan kesukaannya dan juga camilan yang begitu mengenyangkan. Papahnya juga begitu sayang kepadanya ketika Caca sangat bodoh dalam belajar bersepeda di halaman depan rumah mereka.

Bahkan, sebuah keluarga kecil itu begitu harmonis ketika Caca selalu membawa pulang satu piala kebanggaannya—lalu memberikannya kepada papah dan juga mamahnya.

Tetapi disatu sisi, Caca mengingat dimana papah dan mamahnya begitu buruk terhadapnya—ketika Caca tidak sengaja menyentuh barang berbahaya yang ia sukai saat ini. Bahkan Caca selalu mengingat memori kelam itu ketika orang tuanya begitu keji terhadap apa yang ia lakukan 'dulu' begitu tidak disengaja.

"Sekarang, gue harus bersikap bagimana supaya orang lain nggak mandang gue seperti sampah?" dalam bicara pada dirinya, Caca mengambil kotak P3K dalam laci berukuran sedang di samping kasur minimalisnya.

Sebuah kapas kecil yang dibaluri oleh alkohol, Caca mulai menempelkan secara perlahan pada punggung bagian kanan. Luka yang belum sempat tertutupi dengan baik, Caca mulai mengobatinya agar luka itu segera tertutup dan tangannya bisa beraktivitas dengan normal kembali.

Mengingat malam sabtu semalam, Caca tidak bisa menebak amarah Marsel pada dirinya yang begitu egois dan sangat tidak tahu malu. Bagaimana dirinya tidak dikatakan sebagai sampah—kalau perbuatannya masih saja diulang dengan sengaja dan tidak memikirkan kedepannya.

"Satrio sama Reno gimana kabarnya ya? Gue takut mereka terluka gara-gara gue nih—emmm apa gue ke rumah mereka aja kali ya?" perlahan-lahan tapi pasti, Caca menutup luka itu dengan beberapa kapas dan juga ditimpali oleh hansaplast diatasnya.

Selesai merapihkan lukanya, Caca melihat jam dinding kamarnya menunjukkan jam 11:15 siang. "Sebentar lagi mau dzuhur, mungkin lebih baik kalau gue nanyanya nanti malem—dan atau nggak besok aja di sekolah."

Begitu sangat labil pada niatnya, alhasil Caca bangkit ke arah meja belajarnya dan memeriksa tugas sekolah yang harus ia kerjakan. Belum lagi besok hari senin, dimana hari sial bagi Caca dan juga hari sungguh menyebalkan jika Caca harus menerima takdir buruknya.

"Kalau gitu, mendingan gue kerjain pr abis itu gue sembahyang—dan abis itu gue tidur siang. Oke deh!" katanya yang langsung membuka buku catatan sekolah dan juga menghidupkan laptop di hadapannya.

🎬


"Lo ngelakuin apa aja semalem sama Caca, Sel?" Rama yang tengah mengumpulkan kertas-kertas printing, ia bertanya pada Marsel yang tengah menatap lurus pada komputer miliknya. Rama begitu yakin pada laki-laki itu telah berbuat buruk kepada teman kecilnya.

THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang