61. Netral

24 2 1
                                    

61.

Duduk termenung menatap ke atas, sembari menyisir keindahan setelah turun hujan. Baginya, kesendirian itu adalah kebebasan yang paling baik. Namun bukan berarti itu semua dibuat untuk semata-mata bertahan pada keadaan.

Berbeda dengan yang sebelumnya, satu hal yang menurutnya tenang dan selalu mengadu pada semesta, disini tempatnya. Tempat Pemakaman Umum, Tanah Kusir.

Sudah lama tidak berkunjung, menaburkan bunga yang dibarengi air mawar untuk membersihkan papan nama yang tertera di atas pusara. Papah dan mamah yang dulu menjadi kebanggaan sekarang tinggal kenangan.

Kaftan hitam dengan kerudung senada menjadi perwakilan. Kacamata hitam yang bertengger pada hidung mancung juga menjadi perhiasan. Tangannya mengusap papan nama di antara kedua sisinya.

"Assalamu'alaikum, pah, mah..." ucapnya yang melantunkan suara kerinduan. "Sekarang Caca udah bisa lihat papah dan mamah. Do'ain Caca ya pah, mah, supaya Caca bisa berdiri tegak seperti papah dan mamah."

Lalu, dua bouquet bunga lily ia simpan diatas pusara kedua orang tuanya. Kedua tangan yang saling menyatu merapal-kan sebuah doa, interupsi bibirnya sudah menetralkan niatnya dalam hati.

Sempat tidak disangka dengan satu titik air mata jatuh ke pusara. Tangannya masih lebar menghantarkan do'a, hingga satu titik air yang jatuh menjadi bulir-bulir yang deras dan begitu nyata. Gadis ini menangis dalam diamnya.

"Caca minta maaf karena masih takut gelap. Caca minta maaf kalau belum bisa berenang... dan Caca minta maaf kalau sekarang Caca nggak bisa ajak Marsel kesini."

"Maafin Caca pah... maafin Caca kalau kenyataannya Caca nggak bisa jagain Marsel lagi."

Seperti menyesal pada apa yang telah di perbuat, perilakunya menyiratkan bahwa gadis ini telah melakukan kesalahan yang paling besar. Dulu, sejak usianya masih duduk di bangku taman kanak-kanak, ia sering kali berjanji pada seluruh anggota keluarga untuk bertahan menjaga putra berharga dari marga Pamungkas.

Sekarang sudah tidak bisa lagi. Namun dalam pengawasan yang sering ia lakukan, Denira masih berusaha sebisa mungkin bahwa namanya benar-benar terbuka luas untuk bisa menjaga Marsel dari segi apapun.

Semenjak kepergian papah dan mamahnya untuk selama-lamanya, gadis ini seperti telah berhutang besar dengan selalu menyalahkan dirinya karena tidak bisa lagi menjaga putra kebanggaan Pamungkas, Marsel Ardhani.

Tangannya mengepal rerumputan yang menghiasi pusara papahnya. Tangis yang pecah membuat dirinya semakin menjadi, ketika bibirnya begitu gemetar untuk mengatakan kalimat lagi.

"Caca kangen papah sama mamah... Caca juga kangen sama Marsel pah."

Hingga tangan yang semula mengusap pusara, kini sudah menggeser sebuah air mata yang terus saja jatuh berkali-kali. Dalam hati yang selalu merapal kan doa untuk semua, Denira mulai bertekad penuh bahwa ada yang musti ia luruskan kedepannya.

Kerudung yang terlepas dari puncak kepalanya, ia kaitkan lagi agar menutupi rambut serta membenarkan kacamata hitam yang menjepit tulang hidungnya.

"Titip rindu Caca buat Marsel sama kalian berdua ya. Kali ini Caca akan percaya pada takdir, kalau misalnya Caca nggak berjodoh sama Marsel, seenggaknya Caca bisa ketemu sama seseorang yang direstui dari atas sana."

"—Caca pulang dulu ya, mah... pah. Kalau ada waktu banyak, Caca bakal cerita semuanya sama kalian. Assalamu'alaikum, Caca pamit."

Usai berdoa, langkah kakinya pergi meninggalkan pemakaman umum yang ia singgahi kali ini. Dengan berat hati meninggalkan kedua orang tuanya yang sudah bebas untuk beristirahat, matanya kembali ke belakang melihat kedua pusara papah dan mamahnya.

THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang