30. jati diri sandi

150 36 8
                                    

Wah, tau-tau udah chapter tiga puluh aja o_o

***

Ruang makan yang besar nan mewah itu terasa sangat hening. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu saja yang beradu, memeriahkan suasana meja makan yang tampak kosong melompong.

Seorang remaja lelaki yang duduk di sisi kanan meja makan tersebut memakan nasinya dengan pelan-pelan. Matanya terkadang melirik ke arah ujung meja, di mana seorang wanita paruh bayah tengah menyuap buburnya dengan anggun.

Remaja lelaki itu... Sandi.

Sandi berdeham. Cowok itu tampak lebih fresh dengan balutan kemeja garis-garis warna birunya, jeans hitam, serta rambutnya yang ditata rapih. 

Namun, bedanya kini Sandi tampak sedang waspada. Hal itu dapat terlihat jelas saat Sandi mencoba melirik-lirik wanita paruh bayah yang di sampingnya itu.

"Bi Rani," ucap wanita paruh bayah itu---yang tampak sangat anggun dengan kebaya brukat berwarna merahnya dengan riasan rambut yang disanggul khas dandanan tradisional Indonesia.

Dandanan itu pun tak pelak sangat cocok dilengkapi oleh wajah wanita paruh bayah tersebut yang sangat terlihat elegan. Hidungnya mancung dan kecil, wajahnya yang keriput itu justru memancarkan kecantikan yang unik.

"Ya, Bu Anjani."

"Ada menu lain selain ini semua?"

"Eh?" Bi Rani yang mengenakan kebaya berwarna cokelat itu mendadak terkejut. "Ada apa Bu? Menunya tidak enak?"

"Bukan begitu." Wanita paruh bayah yang diketahui bernama Anjani itu menggeleng pelan. Ia pun mengalihkan tatapannya pada Sandi. "Apakah ada menu yang lebih modern? Saya pikir cucu tercinta saya ini tidak menyukai menu makan malam ini."

"Ah..." Bi Rani tersenyum, seolah-olah kekhawatirannya itu langsung sirna. "Tentu saja ada Bu. Hamburger, spagetti, sampai tteokbokki pun ada."

"Kamu mau yang mana, Sandi?" tanya Anjani pada Sandi yang sudah terkaget-kaget.

Menu modern?

Jadi... itu semua disebut dengan 'menu modern'? 

Oh, astaga. Bukan hal itu yang harus jadi fokus Sandi!

Sandi kini merasa tak enak. Ia pasti dikira tidak mau makan karena lauk di hadapannya ini memang lauk pauk yang sangat tradisional.

Ada sayur pucung, gudeg, hingga ketoprak. Entahlah. Apakah Nenek Sandi ini setiap hari memakan makanan dari seluruh daerah di Indonesia? 

"Nggak, Nek." Sandi buru-buru menjawab setelah Bi Rani beranjak menjauh dari ruang makan. Sandi tersenyum canggung, makin canggung begitu Anjani memiringkan kepalanya sambil tersenyum hangat.

"Ada apa, Cu?"

"Saya bukannya gak mau makan..."

"Ah, kamu ingin tahu mengapa Ayahmu mengirimu ke rumah Nenek?" tanya Nenek Anjani, seolah-olah sudah membaca pikiran Sandi itu.

Sandi terkejut. Tentunya. Dia bahkan membulatkan matanya sambil berpikir keras bagaimana bisa Neneknya itu seperti cenayang ini.

"Nenek yang memintanya," jawab Anjani. "Nenek meminta Ayahmu untuk mendatangimu ke rumah Nenek."

"..."

"Mengapa, Cu? Kamu tidak betah tinggal di sini?"

"Nggak kok, Nek." Sandi berseru. Cowok itu pun menggeleng kuat. "Cuma... Kenapa?"---kenapa Ayahnya itu mau mendengarkannya?

Sweet Trinity ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang