Dua jam berlalu... Rara dan Dizar masih berada di atap sekolah ini. Satu meja lebar atau yang biasa disebut sebagai bale lantas menjadi sesuatu yang membuat keduanya betah meski cuaca siang sangat panas.
Berbekal bantal dari buku-buku yang ada di atap sekolah ini, Dizar maupun Rara yang sebenarnya hantu itu tidur celentang di bale tersebut.
Dizar yang pikirannya berkecamuk, mengalasi kepalaya dengan lengan kirinya sambil memandang langit biru yang terus bergerak dan menghasilkan gambar yang dinamis.
Rasanya...
Damai.
Yah, selain games dan mengambil informasi negara, Dizar juga suka sama awan di waktu siang. Beda dengan Sandi yang suka sekali sunrise, cowok itu malah suka cuaca pada jam 12 siang.
Well, bukankah siang menjadi waktu damai setiap orang? Berdagang, bekerja, bahkan sekolah, pada waktu siang otomatis menjadi waktu 'istirahat' bagi beberapa orang.
Tuhan memang memberi waktu malam sebagai waktu istirahat manusia sepanjang bekerja di pagi hingga sore.
Namun, siang lebih berharga karena siang adalah waktu 'emas' yang bisa didapatkan beberapa orang di tengah-tengah hectic-nya kehidupan dunia.
Dizar menghela napas. Tubuhnya yang terasa pegal itu membuatnya berbalik ke kiri. Betapa kagetnya Dizar saat ia bertatapan dengan Rara yang juga berposisi sama dengannya.
Rara tersenyum tipis. "Abis ngebayangin yang jorok-jorok, ya?" tuduh cewek itu langsung.
Lagi-lagi, Rara mampu mengundang emosi Dizar. Cowok itu enggan membalas, ia pun beranjak dari posisi tidurnya dan duduk.
Rara mengikutinya dan tersenyum jenaka. "Ayo, ngaku! Keliatan dari muka lo," ucapnya.
"Mana ada," balas Dizar mengelak.
"Kenapa sih? Lo udah kayak orang yang utangnya berjuta-juta, banyak pikiran."
"Kadar kepo lo udah kuadrat, ya?"
"Gak gitu, Aldizar Sharga... gue cuma bosan. Selama ini gue dilanda kebosanan, tau?"
"Terus?"
"Nah, lo bisa mengusir rasa bosan gue dengan curhat. Lo tau? Gue adalah pendengar yang baik. That's why gue sama Jelita bisa jadi sahabat meski usia kita jauh."
"Sayangnya, gue bukan Jelita."
"Yeee, siapa juga yang mau lo jadi sahabat gue?!"
Dizar hanya terkekeh mendengar balasan rutukan Rara padanya. Cewek itu sekarang sudah menaruh dagunya di atas lutut dengan bibir mencebik sambil memandang ke hectic-nya jalan di bawah sana.
"Lo... beneran pendengar yang baik?"
"Gue gak minta lo buat percaya tuh."
Dizar lantas terdiam. Dia mulai menimbang-nimbang apakah ini hal yang bisa ia lontarkan kepada orang lain? Selama ini rahasia besarnya itu hanya diketahui oleh Reyes dan Sandi saja.
Kedua sahabatnya itu punya respon yang sesuai harapan Dizar. Tidak menghakimi, memaklumi, meski kadang masih sering meledek...
"Rahasia besar banget?" tanya Rara penasaran.
"Gue mau tanya aja. Apa yang lo lakuin kalo lo punya kembaran yang mati?"
Pertanyaan yang dilontarkan Dizar sontak membuat Rara mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Pandangan cewek itu juga tidak lagi jenaka seperti beberapa menit yang lalu.
Matanya mendadak menatap Dizar teramat serius sekarang.
"Lo... punya kembaran?"
Dizar hanya mengangguk kecil sambil tersenyum kecil. "Ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Trinity ✓
أدب الهواةReyes, Sandi, dan Dizar membuktikan kalau sahabat adalah orang yang dapat dipercaya. Tapi, bagaimana kalau suatu keadaan membuat mereka terpaksa saling mengkhianati? warning! °°mental health issues, harsh words, drugs, alcohol, etc. ©tanbaebaes, 20...