XXXIII. Wands Up

177 37 6
                                    

Playlist : Arcade Slow Version - Duncan Laurence

Kini Zea bisa merasakan dinginnya lantai dan debu-debu yang mengotori separuh tubuhnya yang tergeletak miring. Gadis itu juga dapat dengan jelas mencium bau anyir darah yang merembes dari belakang kepalanya yang berdenyut sangat nyeri. Ia berjuang sekuat tenaga untuk mengumpulkan kesadaran, tongkat miliknya tergeletak begitu saja tak jauh dari tubuhnya yang terlihat menyedihkan.

"Ayolah, ini pekerjaan mudah. Kau tidak boleh lemah, Zea! Kau anggota orde!" Bisiknya pada diri sendiri.

Suara langkah yang berderap-derap riuh membuat gadis itu menghentikan usahanya sejenak. Ia mendengarkan dengan seksama. Gadis itu yakin benar jika suara-suara itu datang dari balik dinding, bergerak mendekat dengan cepat.

"Hogwarts, akhirnya." Ucap sebuah suara yang Zea yakini milik seorang perempuan.

"Ayo cepat! Kita tidak punya banyak waktu." suara bariton khas laki-laki dewasa menyahut setelahnya.

"Siapa dia?" Suara si perempuan kembali menyahut. Zea merasa kakinya ditendang agak keras.

"Bukan siapa-siapa. Ayo Bella, kita disini bukan untuk berpiknik."

Setelahnya, suara gesekan sol sepatu beradu dengan lantai batu yang keras menggema begitu saja memenuhi lorong. Zea membuka penuh kedua matanya, menatap beberapa orang menggunakan pakaian serba hitam melangkah begitu saja setelah melangkahi tubuhnya.

"Ayolah bangun, bodoh!"

Zea meruntuk, memaksa tubuhnya bangun. Dengan sekuat tenaga, gadis itu meraih tongkat dan berdiri terhuyung. Beruntung dinding di belakangnya menahan tubuhnya agak tidak limbung. Zea mengernyit ngeri pada darah yang tercecer di lantai. Ia memegang bagian kepalanya yang terluka, agaknya memang parah. Pantas saja sangat nyeri, batinnya.

Gadis itu berjalan tertatih-tatih dengan kaki yang bergetar. Kepalanya benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama. Benturan yang ia alami tentu saja bukan main-main kerasnya. Semua orang tahu daya tahan tubuhnya lebih bagus daripada penyihir lain seusianya. Agaknya Draco memang berniat menyerangnya, atau skenario terparah : membunuhnya.

"Sial. Mereka tidak terlihat lagi!" Gadis itu kembali meruntuk.

Dengan langkah gontai dan berpegang pada lorong-lorong Hogwarts yang dingin, Zea berjalan begitu saja menyusuri setiap jalan yang mungkin bisa menuntunnya pada titik terang.

Hingga tepat beberapa meter di bawah tingginya tangga menara Astronomi, Zea melihat sebuah bayangan berkelebat. Tanpa berpikir panjang, ia lantas mengikuti bayangan itu. Mengacuhkan darah yang membasahi sebagian baju belakang miliknya. Gadis itu hanya berharap bahwa bayangan itu bukan lah milik murid yang iseng untuk menyelinap seperti yang biasa ia lakukan.

Luka di kepalanya tentu menghambat langkah gadis tersebut. Di samping itu, Zea tidak boleh berlaku gegabah. Ia harus menyimpan energi. Tak pernah ada yang tahu kan apa yang menunggumu di depan sana?

Ia memekik tertahan. Di atas sana, beberapa anak tangga lagi menuju tempat orang-orang berbaju hitam tersebut berdiri, terdapat Draco, Profesor Dumbledore, dan beberapa orang aneh yang tidak ia kenal, saling berbicara. Zea tak yakin, karena nampaknya itu bukanlah pertemuan yang ramah.

Baru selangkah ia hendak naik, sebuah tangan membekap mulutnya dan menarik tubuh itu beberapa langkah ke belakang. Gadis itu membulatkan mata saat menemukan Harry di sana, mengisyaratkan agar Zea tidak menimbulkan suara.

"Kenapa kepalamu?" Tanya Harry sambil berbisik.

"Cerita panjang, Harry. Siapa mereka?" Balas Zea. Mulutnya bergerak tanpa menimbulkan suara sama sekali.

Last DescendantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang