XXXIX. Happily Ever After

631 44 11
                                    


Sepasang suami istri menangis tersedu-sedu di depan sebuah pusara berlapis batuan granit yang mengkilat. Mereka masih belum beranjak dari sana bahkan sejak pemakaman selesai beberapa jam yang lalu.

Si suami berkali-kali meraung. Lelaki itu tak sanggup melihat nama cantik itu terukir di batu nisan yang mengubur tubuhnya yang tak lagi dapat ia dekap.

"Kenapa kau melakukan ini?" Raungnya.

Air mata tak berhenti membasahi wajahnya yang terlihat mulai menua. Sang istri mengelus punggung suaminya dengan sabar. Wanita itu berkali-kali mengusap air matanya sendiri dengan kasar.

Bunga-bunga segar hampir menutupi seluruh pusara tersebut. Menandakan bahwa banyak sekali dari mereka yang kehilangan sosoknya yang begitu istimewa. Masing-masing menempatkan nama itu di ruang spesial di dalam hatinya. Sebagai teman, kekasih, sahabat, anak, dan juga sebagai seseorang yang dicinta.

"Pulanglah. Anak kalian mencari." Ucap seorang lelaki paruh baya. Kedua suami istri tersebut menoleh, mengusap air matanya dengan asal menggunakan lengan baju.

"Berhentilah menangis. Dia sudah hidup dengan sangat berani selama 17 tahun. Jangan menangisi pilihannya sendiri. Dia sudah dewasa untuk memilih apa yang paling baik untuknya." Kingsley menasehati sepasang suami istri tersebut sebelum beranjak pergi.

"Mari kita pulang. Biarkan dia beristirahat dengan tenang."

Sang istri dengan sabar menuntun sang suami untuk pulang. Lelaki itu dengan langkah gontai dan hati yang berat, melangkah menjauh dari pusara. Meninggalkan gadisnya di dalam sana, beristirahat dalam kegelapan yang abadi.

***

"Disini ramai sekali," Ucap seorang gadis. Matanya bergerak2 mengikuti gerakan anak-anak kelas satu yang buta arah.

"Jelas saja. Tahun pelajaran baru, Darling. Memang seharusnya seperti ini." Ucap seorang lelaki berambut jahe. Laki-laki itu berdiri di sampingnya.

"Aku bersyukur Hogwarts sudah kembali aman. Melihat anak-anak itu rasanya seperti deja vu. Seperti baru kemarin aku meminum ramuan Prof Snape agar tubuhku terlihat dan aku bisa sekolah." Kata gadis itu sambil menerawang.

"Yah, memang belum terlalu lama ku rasa."

"Kau bercanda? Tentu saja sudah lama, Jahe. Sudah 19 tahun sejak perang Hogwarts." Gadis itu terkekeh di akhir.

"Aku tidak sabar melihat anak dari teman-teman kita," Sambungnya.

"Ya pasti mereka sangat menggemaskan. Lalu suatu saat ketika mereka sampai di sini, mereka akan memandang kita dengan kagum."

Sedikit mendecih, gadis itu menjawab, "Kagum? Apa yang bisa dikagumi dari laki-laki kurus jangkung sepertimu."

"Hey aku ini tampan tahuuu."

"Teruslah bermimpi, Fred."

"Jangan mengelak, kau bahkan mencintaiku hingga saat ini, Zea," Ucap lelaki itu.

"Ya aku tidak akan membantah itu, sih. Mungkin amortentia mu terlalu kuat."

"Haha itu tidak benar, bocah."

"Hey!!" Zea memekik. Selalu merasa tidak suka dipanggil demikian.

"Apa?" Fred menanggapi dengan santai.

"Secara teknis umurku sudah 34 tahun harusnya."

"Harusnya..." Fred menanggapi dengan lemah.

"Apa yang membuatmu memutuskan untuk menyusul ku?"

"Janji pernikahan kita, Fred. Aku tidak mau kau berakhir menjadi lelaki yang tidak bisa menepati janji. Maka aku menyusulmu, membuat cerita bahagia versi diri kita sendiri." Jawab gadis itu. Fred menatap gadisnya sendu.

"Kau bisa hidup lebih lama, menemukan lelaki baru dan memulai hidup baru."

"Lalu aku akan tersiksa lagi seumur hidupku karena kehilanganmu dan kehilangan orang-orang yang aku cintai? Tidak Fred. Aku sudah cukup menderita seumur hidupku." Jawab gadis itu.

"Kenapa kau memutuskan untuk menukar nyawamu dengan Remus dan Tonks?"

"Sekedar berterimakasih. Aku tidak memiliki apapun untuk membayar segala yang mereka berikan padaku, Fred. Aku hanya menggenggam nyawaku saja saat itu."

Zea menatap jauh. Fred tersenyum di sampingnya, turut mengikuti arah pandang gadis itu.

"Kau terjebak di potret ini bersamaku selamanya. Kau tidak menyesal?" Tanya laki-laki itu.

"Tidak akan pernah." Zea menatap netra coklat itu dengan mantap.

"Oh lihat anak-anak itu! Mereka memandangi kita! " Pekik Zea sambil menunjuk sekerumun anak kelas satu, memandangi dinding itu dengan takjub.

Di dinding tersebut tertulis :

Para pahlawan Hogwarts yang telah gugur. Kehormatan tertinggi bagi mereka.

Fred tersenyum memandang Zea.

"Aku mencintaimu, Zea. Selalu."

Zea menoleh, memandang wajah di sampingnya dengan tatapan teduh.

"Selalu."

***

END beneran. Jadi ini Sad Ending atau Happy Ending?

Last DescendantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang