Zea berdiri di halaman belakang rumah Black bersama dengan Mad-Eye Moody dan Tonks. Setelah keputusannya semalam, Moody langsung memutuskan untuk menggembleng gadis itu dengan latihan yang keras. Zea tidak menolak, meskipun dengan bermandi peluh, gadis itu tetap melanjutkan latihannya untuk menukar kematian."Fokus Xavore! Fokus!" Ucap Moody.
Zea menatap seekor burung mati yang tergeletak di depannya dengan putus asa. Ia sudah mencoba fokus, menawarkan jari kelingkingnya kepada penguasa kematian untuk membawa burung ini kembali hidup. Namun nihil, burung tersebut tidak bisa bergerak. Moody terlihat mendesah. Agaknya lelaki itu berekspektasi agak lebih tinggi pada Zea.
"Tonks!" Moody berteriak begitu saja kepada muridnya tersebut. "Cari burung baru. Burung ini sudah telalu lama mati. Sudah lebih dari tiga jam." Ucapnya. Tonks langsung bergegas, mencari buruan burung baru. Zea menggunakan kesempatan ini untuk beristirahat. Ia mengelap peluh di dahinya menggunakan lengan.
"Sedang apa kau? Tidak ada istirahat! Cepat kembali latihan. Serang aku!" Ucap Moody dengan garang. Zea bangkit, bergegas mengambil tongkat sihir miliknya.
"Expelliarmus!"
"Lebih cepat Xavore. Kau tidak akan bisa menyentuh musuh dengan kecepatan itu."
"Reducto!"
"Oppugno!"
"Confringo!"
"Stupefy! "
Zea terus menerus melemparkan mantra ke arah Moody. Sedangkan lelaki itu dengan gerakan cepat namun halus, menghindar begitu saja. Dengan mata elang miliknya, Zea mencoba membaca gerakan Moody dengan terus melemparkan mantra-mantra secara brutal. Pupil hitamnya menangkap sesuatu, jika diamati Moody memiliki pola gerakan hexagon. Gadis itu terus menerus melemparkan serangan pengecoh dan mengamati, hingga ia merasa waktu yang tepat untuk melancarkan serangan sesungguhnya.
"Expelliarmus!!"
Ctashh..
Tongkat Moody terlempar beberapa meter ke belakang. Zea memekik senang, sedangkan Moody tersenyum simpul.
"Bagus. Bagus Xavore. Sekarang, tanpa tongkat!"
Zea meletakkan tongkatnya di tanah. Ia memfokuskan pikiran dan energinya di ujung tangan. Sihir tanpa tongkat tidak semudah kelihatannya. Namun dengan rasa percaya diri akibat berhasil menjatuhkan tongkat Moody, sang mantan auror legendaris, Zea kembali melewati latihan kerasnya dengan penuh semangat.
Hari-hari berlalu, Zea dianggap sudah menguasai sihir tanpa tongkat, begitu pula dengan taktik penyerangan. Hanya saja kekuatan dan kontrol atas penukaran kematian yang harus ia lakukan belum menemui kemajuan yang signifikan. Kemarin Zea berhasil merasakan kesemutan di jari kelingkingnya, namun hari ini ia belum berhasil merasakannya lagi.
Hari sudah gelap. Matahari berganti taburan bintang saat Zea terus menerus menekan burung demi burung menggunakan telapak tangannya. Gadis itu terus menerus berkeringat. Menukar kematian bukan hal yang mudah rupanya. Gadis itu juga merasakan perutnya semakin lapar.
"Bukan kah sudah waktunya istirahat Moody?" Remus muncul begitu saja dari pintu belakang, membuat Zea berjingkat senang. Ia berpikir bahwa penderitaannya hari ini selama latihan akan segera berakhir.
"Tidak ada istirahat sebelum dia menghidupkannya, Remus. Aku mengajarinya menggunakan metode yang sama saat aku mengajari murid-murid ku yang lain." Ucap Moody.
"Dia bukan auror, Moody." Ucap Remus. Sedangkan Moody tetap denial pada keputusannya.
"Dia akan menghadapi hal yang mungkin lebih mengerikan dari pada para auror, Remus! Kau! Kenapa berhenti? Lanjutkan!"
![](https://img.wattpad.com/cover/270617642-288-k701192.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Descendant
FanfictionZeannes Jade Xavore. Seorang animagus yang mengambil wujud elang berekor emas. Dirinya tentu bukan sengaja menjadikan tubuhnya sebagai animagus, melainkan memang sudah menjadi kemampuan spesial yang turun menurun dari keluarganya. Saat dirinya berus...