Alur mundur.
Hutan selatan, merupakan bagian hutan yang paling jarang terjamah oleh penyihir manapun. Hal tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa hutan selatan merupakan rumah bagi para raksasa, penyihir kriminal yang melarikan diri, hingga magic creatures yang belum teridentifikasi, setidaknya itulah yang diketahui oleh dunia luar tentang hutan tersebut.
Namun sebenarnya, keadaan hutan selatan tidaklah semenyeramkan itu. Masih ada koloni penyihir yang menghuninya, menyebabkan terbentuknya perkampungan penyihir yang menempati hutan tersebut. Terdapat beberapa pondok yang berdiri di tengah tanah lapang, diantara sungai dan sebuah pohon ek yang sangat besar. Pondok-pondok itulah yang diketahui sebagai tempat tinggal para Xavore, salah satu penyihir berdarah murni tertua.
Seorang gadis kecil dengan rambut coklat bergelombang berlari-lari mengejar seekor kupu-kupu dengan sayap yang indah. Usianya mungkin sekitar 3 tahun. Gadis kecil tersebut terkekeh-kekeh sambil mengejar kupu-kupu yang terbang semakin tinggi meninggalkannya.
“Kupu-kupu jangan terbang!"
Tangan kecilnya menggapai udara, berusaha menangkap kupu-kupu yang nampak acuh. Menyadari hal tersebut, gadis kecil tersebut melompat-lompat demi mempertinggi jangkauan tangannya. Sayangnya dia tidak memperhatikan pijakan kakinya dan menginjak sebuah batu yang membuatnya tergelincir.
Bughh.
“Huaaaaa, Father…”
Menyadari tangisan nyaring tersebut, seorang laki-laki dengan tubuh tegap dan bersurai hitam berkilau langsung berlari menghampiri asal suara. Disana, gadis kecil tersebut terduduk dengan lutut penuh darah. Tangannya yang dipenuhi tanah, bergerak mengusap air mata di pipinya yang membuat penampilannya menjadi kacau.
“Father, sakit. Hikks,” keluh gadis kecil tersebut sambil terisak. Sementara laki-laki tersebut hanya membalas dengan senyuman sambil bergerak mengangkat tubuh gadis kecilnya dengan tangan yang kekar.
“Father selalu mengingatkan agar Zea hati-hati saat bermain, kan?” ucapnya dengan suara berat namun dengan nada yang sangat lembut.
“Yes, father,” jawab gadis kecil bernama Zea tersebut. Masih sambil terisak.
“Lalu kenapa bisa jatuh? Apa alas kakimu bergerak sendiri lagi seperti saat terakhir kali kau terperosok di dekat sungai, gadis kecil?”
“Tidak father. Sepertinya kupu-kupu tadi menyihir diriku sehingga aku terjatuh,” balas Zea. Tangisnya mulai mereda saat itu.
Laki-laki bernama Azka tersebut tersenyum. Putri kecilnya tersebut memang selalu membuat alasan agar tidak dimarahi saat dirinya terluka saat bermain. Padahal faktanya tidak ada yang memarahi Zea, dirinya hanya akan memperingatkan gadis kecilnya tersebut untuk berhati-hati lain kali.
“Sepertinya tidak. Kupu-kupu tidak bisa menyihir, Zea.”
“Siapa tahu bisa. Kita kan juga elang father, tapi kita bisa menyihir. Aku bahkan bisa mengangkat sebuah batu besar tanpa menyentuhnya,” sombongnya.
Azka tersenyum sambil menghembuskan nafas. Dirinya kini telah sampai di serambi pondok miliknya dan mendudukan Zea kecil di sebuah kursi. Menjadi ayah dari seorang Zea memang bukan pekerjaan mudah rupanya. Gadis tersebut rasanya terlalu cerdik, yah sebenarnya cenderung nakal.
“Tidak. Itu berbeda, Zea. Kau sudah tau bukan bahwa kita bukan sepenuhnya seekor elang. Dan kalau kau melakukan kesalahan, jangan terbiasa untuk mengelak dan menyalahkan hal-hal lain di sekitarmu. Itu tidak bijak, gadis kecil,” ucapnya sambil melihat luka di lutut putrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Descendant
FanficZeannes Jade Xavore. Seorang animagus yang mengambil wujud elang berekor emas. Dirinya tentu bukan sengaja menjadikan tubuhnya sebagai animagus, melainkan memang sudah menjadi kemampuan spesial yang turun menurun dari keluarganya. Saat dirinya berus...